Seribu Bulan

Suara itu kian mendekat. Sayup-sayup dari kejauhan. Nafasnya terasa hingga ke sini. Desahnya mengingatkan kita akan suasana. Tapi suasana apakah itu..

Terdengar ia memanggil. Ia bak telaga ditengah sana. Masih jauh memang, tapi rasa haus kita sudah terasa. Telaga itu, memberikan kesegaran bagi siapa yang mendekatnya.  Bagi siapa yang mereguk dinginnya.

Masih ingat dalam diri ita, ingatan-ingatan masa lalu kita. Saat kita  begitu gembira menyambutnya. Kita mengikuti arus menglilingi desa dengan menambuh beduk. Saudara –saudara kita di sudut lain menyalakan obor. Saudara kita yang lain, menonton acara-acara religi di rumahnya.

Menyusuri  gang-demi gang. Berteriak manja, meneriakan takbir. Kehadirannya begitu di tunggu-tunggu. Sehari sebelumnya, menyaksikan tontonan dan pengumuman. Berjubel orang memasuki Mesjid sampai ke luar-luar, setelah sorenya ibu-ibu menaruh sajadah sebagai ‘daerah kekuasaanya’.

Tempat itu menjadi hidup kembali. Lampunya tak pernah padam. Suara paraunya menyeruak menjelang langit gelap. Subuh pun ia muncul kembali.

Pelbagai mahluk bergembira menyambutnya, kata Bimbo. Semua bercengkrama. Dulu, Ia dalah bulanyang dinanti-nanti. Ia selalu tersenyum untuk kita, namun kita belum tentu tersenyum untuknya.

Ayat demi ayat kita begitu semangat mengkajinya. Bibir basah seusai shalat dengan kalimat suci. Niat awalnya akan rutin, tapi termakan arus zaman modern juga. Tapi masih bagus, bisa basah bibir ini.

Dulu, bacaan itu begitu syahdu, waktu yang tepat untuk menikmatinya. Tidurnya saja pahala, kata ustadz di kampung sana. Seusai magrib, suara itu mengalir deras. Kadang, diselingi lawakan khas menemani sajian khas kolak plus kurma.

Dulu, dalam waktu sebelum fajar, Setelah bangun, segera kita hirup segarnya air dengan  2 rakaat shalat. Tangan terangkat,  sambil menahan kantuk dilewati dengan nikmat. Setelah itu menikmati mie rebus dengan telur putih mengkilap bak pualam.

Kita lakukan dengan canda  tawa  ditemani ‘Sahur kita’. Dulu, rasanya waktu sangat  lama berlalu, bersama-sama keluarga, melangkahkan kaki dengan sarung ke Mesjid saat gelap. Bersapa salam di tengah jalan, menggenggam erat lengan mereka. Ada makna di sana..

Berbaris rapi kita didalam Mesjid dekat rumah kita, auranya terasa. Menikmati alunan panjang ayat dibacakan, terkadang gemas karena tidak beres-beres. Pagi Saat cahaya itu mulai naik, anak-anak semakin bersemangat menendang bola.

Bapak-bapak tidur kembali, setelah sebelumnya menonton jejak sejarah rasul di masa lalu. Ibu-ibu beristirahat, di atas hamparan sajadah menyelesaikan juz demi juz tanpa terasa sudah terang saat itu.

Waktu libur itu digunakan untuk bermain. Jalan-jalan dan bermain bola sudah biasa dilakukan melulu  saat lapangan gelap pekat. Begitu ia kental terasa. Nafasnya meninggalkan jejak. Jejak yang terekam tak pudar tak pernah padam.

Anak-anak  duduk di beranda  Mesjid, menikmat udara sejuk. Membereskan  karpet, bersiap menemani ibu ke pasar. Siang mengeja ayat-demi ayat. Mempelajari artinya. Memberikan waktu untuk berdialog denganRabb-nya.

Malam mencatat ‘kultum’ sebelum witir, Seusai witir, tertib  mengantri dengan wajah memelas mengharap ‘paraf’ sang khatib agar laporannya  dipercaya oleh guru agamanya di sekolah.

Pun terik hari, terdengar panggilan khusyuk. Ketika suara itu terdengar, segera ia tinggalkan aktivitasnya. Ia segera menuju panggilan kemenangan itu. Seolah mengulang  kisah Rabi bin Khaitsaim ketika ditanya“Wahai kawanku, bukankah engkau lumpuh? Mengapa engkau ingin ke Mesjid, padahal ada udzur bagimu?”

Rabi menjawab, “ Benar, tapi apak bila ada panggilan Mari menuju kemenagan, bukankah Engkau akan mendatanginya?”

Tapi, zaman ini mungkin makna kemenangan sudah berubah. Kemenangan adalah dengan sibuk dan mendapat gelar dari orang lain bagi dirinya. Terkadang, kita lupa panggilan kemenangan itu.

Senja cerah menyiapkan ‘monopoli’, mengetuk kawan satu persatu. Terkadang bermain di suatu tempat. ‘Ngabuburit’ kata orang-orang dulu. Membeli kurma dan di taruh ke Mesjid, teringat “Barangsiapa yang mebukakan orang berpuasa, ia akan mendapat pahala dari orang itu tanpa mengurangi pahalanya

Sang anak wanita, membantu ibu memasak mie gleser di dapur. Kadang membawakan belajaan kolang-kaling di pasar. Mencari –cari buah yang murah. Menyetel lagu ‘Bimbo’ dan ‘Opick’. Atau malah iklan di TV berlomba-lomba lebih religi..

Sinetron pencari tuhan di sore hari makin laris. Malamnya, kisah – kisah tobat seseorang menjadi banyak. Media seketika berubah. Subuh dengan tafsir, malam dengan shalat khusyuk. Konser-konser menyambutnya di gelar…

Menjelang maghrib, atas nama ta’jil  setiap orang berburu di lorong-lorong kota. Nafsu melahap habis semua makanan menyeruak. Keinginan yang tak tertahan memucah dari dalam dada. Menuju mejsid-mesjid, Mengincar makan gratis ala mahsiswa.

Dulu, begitu bersemangat. Mengincar berdiri lama sebelas rakaat. Trauma cepatnya jika terlalu banyak rakaat. Malamnya, target satu juz terlampaui. Sepuluh hari terakhir makin bersemangat. Ia akan meninggalkannya.

Ia lafadzkan zakat kepada para amil di Mesjid. Tangannya sangat cepat. Tak pernah terpikir berapa uang yang ia keluarkan. Mangkok penuh kolak itu ia berikan kepada tetangganya. Keberkahannya terasa sampai di sini.

Nikmatnya berbagi sangat terasa. Terkadang sahur di jalanan bak anak muda. Silaturahim terjalin erat. Pertemuan-pertemuan menyantap ta’jil bersama-sama dia lewati. Buka ini buka itu agenda rutin menjelang akhir…

Ia semakin berlalu, menuju titik akhirnya. Setiap orang berburu malam keutamaanya. Malam – malam ganjil, kadang tanpa tidur ia lewati. Manusia-manusia itu duduk didalam mesjid dengan khusyuk.

Tidur?…Mungkin  tidak, kapan lagi akan bertemu dia yang datang menyapa hanya sebulan dalam satu tahun.

Sekarang, pilihan itu terbuka lebar. Mau sibuk di kantor, di kampus, di pasar, di mall, di Mesjid, di rumah? Mau memulai sedikit demi sedikit membuka lembar suci yang sudah lama tersimpan rapi di rak. Atau tetap membiarkannya berdebu.

Sekarang, pilihan itu terbuka lebar. Berdiri dalam keheningan malam, atau mungkin menunggu tahun depan lagi jika masih bertemu. Ia begitu cepat tiba.

Atau saat ini mungkin kita terkaget-kaget mengapa ia begitu cepat menyapa. Tidak ada persiapan berati untuk menyambutnya. Ia akan seperti halnya hari ini. Tidak ada kata terlambat kata guru-guru kita.

Aromanya sudah tercium, kita persiapkan piring, gelas, dan sendok. Tapi lupa mempersiapka isi perut kita. Ia sanggup menerimanya? Kita lupa persiapkan hati kita, ia merasa butuh? Mulai saat ini, dirinya mulai melakukan persiapan

Semoga pilihan yang baik yang kita pilih….Marhaban Ya Ramadhan..

 

//

.

Saat itu di Palestina, Gaza hamil tua kata Goenawan Moehamad dalam Caping ‘Etnokrasi’. Ia terpacu terus menerus tanpa lelah, tiada jeda. Ia ingin memuntahkan sesuatu, tapi tertahan karena udzur.

Di balik intipan  tembok zionis yang mengelilinginya, para pejuang tak hentinya menggemakan Takbir.  Setiap saat riuh gemuruh, setiap orang menjemput mautnya dalam senyum. Ia harus  melaju, siang malam tiada henti.

Namun, derita Gaza harus berakhir. Tidak bisa selamanya ia hamil tua. Tapi bagaimana ia harus berakhir?

Kata para ahli bahasa, sebuah titik-lah yang mengakhiri sesuatu. Ada kalanya, koma-koma itu harus diakhiri sebuah titik, ungkapnya. Semua  yang melaju terhenti oleh sebuah titik.

Tanpa titik, kata-kata itu menjadi tidak bermakna. Ia hanya rangkaian huruf tak berarti. Akan ada masanya sampai suatu titik. Gaza, akan menjadi indah dengan sebuah titik. Tidak hanya Gaza, tetapi juga kota-kota lainnya. Ia bagaikan rangkaian kata, menebak-nebak arah kalimat. Kemanakan ia akan dibawa?

Mungkin, ia akan dibawa ke kehidupan kita. Setiap pagi, manusia berjuang, berdesakkan dalam kereta. Menahan geraman saat macet. Berangkat dini hari. Memanaskan motor dipagi hari. Menunggu angkot.

Membawa bekal  nasi uduk dan gorengan.  Semuanya adalah kisah, semuanya adalah cerita. Setiap orang berbeda-beda. Kalau di Newyork, Orang-orang  sibuk ini akan  berkumpul di  Central Park.

Central Park  telah menjadi ‘titik’. Kata Peter J.M dalam ‘Cities Full of Symbols’ ia mengatakan Jakarta became a ‘city without urbanism’. By placing monuments at significant intersections or places, ‘virtual urbanism’ was created”. Selain Central Park, ada juga di Jakarta yang kata Peter melahirkan beberapa  ‘titik’.

Tadinya Urban (baca tulisan saya berjudul ‘Kota’), hanya dengan ‘titik’, ia dapat berubah menjadi ‘became city without Urban’. Peter memberi contoh Monumen Nasional alias monas. Tidak hanya itu ‘Tjiliwung’(sungai ciliwung)  istilahnya Peter, pada tahun 65 itu menjadi sebuah  titik. Mungkin sekarang ciliwung tidak seindah dulu. Ia bukan lagi menjadi titik, tapi bisa jadi sudah kalimat tersendiri.

Bisa di bayangkan dengan titik, kalimat ‘Kucing makan tikus mati’ dapat beragam cara kita baca. ‘Kucing makan. Tikus mati’. Atau Kucing makan Tikus. Mati’. Atau ‘Kucing makan tikus mati’. Sebuah titik lah yang membuat semuanya menjadi jelas. Berhenti sejenak, melihat apakah kita sudah menapaki kalimat yang benar?

Di balik ke’soksibukan kita sehari-hari, ada kalanya, titik itu mengakhiri siklus. Berhenti sejenak, mempersiapkan kalimat-kalimat selanjutnya. Merangkai kata demi kata, huruf demi huruf, hingga menghasilkan makna. Makna dari sebuah langkah.

Kata orang bijak, berilah ruang-ruang kosong itu. Waktu-waktu kosong itu. Waktu bersama keluarga, waktu bersama masyarakat, waktu bersama kawan, waktu bersama orang-orang yang dicintai. Merangkai titik-titik di sana. Semua bermakna karena nilai sebuah titik.

Lihat saja, Central Park Newyork. Wajah-wajah sumringah dari pelbagai jenis makhluk berkumpul di sana. Teduhnya wajah pepohonan membayangi kita ketika beraktivitas di bawahnya. Nafas dedaunan menghasilkan Oksigen di tengah ‘Kepadatan 24 jam Newyork’ kata Jim Dwiyyer, because ‘We Loves 24 hours in The Life’.

Kota saja perlu diatur  menurut Richard T.T Forman. Ia menjelaskan berbagai ‘titik’ dalam sebuah kesibukan luar biasa di tengah kota. Di London, titik itu bisa dilihat di Tower Bridge, Westminster, Thames River, Slough,Windsor Castle,  Luton, Heathrow. Weston-on-the-Sea, dll.

Di Rusia  bisa dilihat di Obninsk, Moskva River,  Sergiev Posad, Stupino, Klin. Pokrov, Elektostal, Losiny Ostrov National Park, dll. Setiap tempat yang dirancang, akan menghasilkan titik-titik yang merangkai makna. Indah memang, kota – kota tersebut. Mungkin suatu saat Gaza bisa tersenyum lebar.

Tapi, ia tidak perlu menunggu nanti. Benihnya telah hadir saat ini, tinggal suatu saat panen akan mereka petik.  Dalam kisah-kisah heroiknya, ia melahirkan para pahlawan yang tersenyum saat  titik itu menjadi titik terakhirnya. Ada rasa bangga yang lahir darinya.

Dalam hari-harinya, ia merangkai kalimat indah. Malamnya, ia gunakan titik-titik itu untuk berdua dengan Tuhannya. Siangnya, ia berikan waktu untuk menafkahi keluarganya. Berjuang membela tanah airnya kata chanel Natgeo Adventure yang beberapa waktu lalu saya tonton. Semuanya menuju titik terakhir, sehingga menjadikan sebuah kisah yang indah.

Saat itu, ia sudah sadar, ceritanya akan berakhir. Semoga akhir kisahnya adalah akhir yang baik (khusnul khatimah). Rupanya ia tidak hanya sendiri. Kisah Gaza kisah kita juga. Ia di sana, tapi kita di sini. Kita sangat sadar, bahwa suatu saat kita akan sampai ke titik itu.

Titik di mana tidak ada lagi pengulangan kata. Tidak ada lagi pengulangan kalimat. Tidak ada lagi. Tidak ada lagi ejaan ulang. Tidak ada lagi merencakan kisah. Sampai saat itu tiba, kita diberi kebebasan merangkai cerita indah. Akhir dari perjalanan kita, agar kita tersenyum seperti mereka, para pahlawan.

//

Dr

“Buktikan kalau pernyataan saya ini salah,” kata dosen penguji  saya  yang Ph. D (Philosphy of Doctor). Ia tidak sendiri. Di sana ada tiga orang Doktor. Saya harus membuktikan pernyataan Doktor ini salah, wah berabe juge!.

Seorang yang ingin mendapatkan gelar Ir/sarjana (s1), Master (s2), Doktor (s3) harus mempertahankan argumennya di depan para Doktor. Di depan saya itu ada seorang Dr-Ing (Jerman), Dr-Eng (Jepang), dan Ph. D (Amerika,dll). Lengkap sudah saya dihabisi dalam kotak 6x6m itu.

Bukan kebetulan, saya mengambil tema ‘Islamic Architecture’ dan dibimbing oleh seorang Doktor yang bergerak di sana. Memang, banyak sekali manfaat yang di dapat dari sidang itu. Saya pikir, para Doktor itu dulunya seperti kebanyakan kita. Dengan kesungguhannya, mereka menjadi seperti sekarang ini. Mengajar kami-kami, sebab dasarnya, Doctoren terjemahan latinnya artinya dia adalah ‘guru’.

“Sudah lulus mau ngapain?” Tanya saya kepada teman saya selepas disidang oleh para Doktor itu. “Saya mau lanjut S2,” ungkapnya. Lalu habis S2 mau ngapain? Bisa jadi orang-orang itu akan melanjutkan ke S3. Lalu, habis S3 mau ngapain?

Mentok, kata para akademisi. Karena, Doktor itu adalah “A person who has earned the highest academic degree awarded by a college or university in a specified discipline”. Secara akademik sudah selesai.  Bang wiki bilang “Gelar akademik tingkat tertinggi yang diberikan kepada lulusan program pendidikan doktor (S-3)”. Secara harfiah ia akan menjadi Doktor alias guru, alias ‘dosen’.

Tapi, kenyataanya tidak mentok. Presiden Indonesia adalah seorang Doktor. Obama merupakan seorang Doktor di Harvard University. Belum lagi Presiden Mesir terbaru, ia adalah seorang Doktor.

Karenanya,  dosen saya yang lain, Ir. Budi Faisal, MAUD, MLA, Ph. D menyarankan saya ,”Kamu lanjut saja kuliah bidang yang kamu suka di Luar S2 – S3”. Diam-diam ternyata ia pun punya keinginan nambah  Post-Doc nya di bidang yang sama.

“Sejatinya, pendidikan formal seseorang tidak berhenti pada pendidakan S3,” kata  Prof. Dr. Mustafa Ali Yaqub waktu saya kunjungan ke rumahnya, Ciputat.  Makanya bisa jadi orang bisa ‘kecanduan’ studi.

Dua hari lalu (24/6/2012), saya ngobrol sambil menikmati indahnya sawah yang menghampar  dengan  Dr. Syamsudin Arief, Ph. D, sudah Doktor, Ph. D pula.  Jerman dan Malaysia.

Saya berkesimpulan  kalau ada waktu, beliau akan kuliah lagi. Total bisa 3 gelar Doktor ia sabet. Tapi ia bilang, “Murid Doktor saya banyak” Ternyata sesusai fitrah istilah dan makna bahwa Doctor itu adalah  ‘guru’.

Kalau kita lacak akarnya pada abad 19, memang aslinya  Doktor itu adalah guru!.  Universitas Friedrich Wilhelm mulai memberi sebutan Doctor bagi yang akan mengajar di sana.  Kemudian tahun 1861 merambat ke Yale University, dan lanjut ke UK (1921), dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Ph. D adalah sebutan resmi bagi yang akan menjadi guru.

Memang  para Doktor ini memang sakti. Karena murid-muridnya juga Doktor. Saya terinspirasi kegigihan menuntut ilmu dari mereka.  Inilah makna Doktor yang sesungguhnya, ia adalah guru. Seorang pendidik. Yang akan menyalurkan ilmunya ke pada anak didiknya.

Tapi, masih terdengar selentingan dari masyarakat, Ia hanya menjadi gelar akademik (title). Kata Max Waber status sosial sudah berubah. Yang tadinya dari i Raden Kanjeng Mas (warisan gelar)  menjadi sebutan –sebutan (akademik) seperti ; ST, SE, S.Pd, S.Si, S.Ds, MA, MBA, M. Arch, Dr, D.B, Ph. D, dsb.

Ada saja orang-orang yang berkata “Yang penting bisa merakih gelar dengan cara apapun,”. Dibukalah jasa-jasa pembuatan ijazah ilegal. Belum lagi penyedia gelar sarjana, Master, Doktor menjamur. Semua berlomba –lomba menghasilkan lulusannya. Karena memang teori modern begitu. Kalau semakin dapat gelar semakin baik.

“Lulus sini gampang nyari kerja” kata iklannya. Kalau kerja untuk apa?  Untuk makan dan hidup.  Makan dan hidup untuk  apa? Untuk kerja. Begitu seterusnya. Dipampang  syarat masuk perusahaan adalah S1. Jutaan orang ngantri untuk masuk sana –  masuk sini. Sudah dapet kerja, berhenti ‘belajar’.

Ada sebuah kisah menarik, seorang ibu yang terkena stroke, dalam rumah baringannya di rumah sakit beliau tetap menyelesaikan tesisnya. Juga saat di rumah. Akhirnya beliau di uji oleh Doktor-doktor itu dan lulus. Keinginan belajar sejatinya memang harus terus terpatri dalam setiap orang.

Bukan gelar Doktornya, tapi keinginan untuk mengabdikan dirinya. Makanya, ada orang2 yang layak di kasih gelar Doktor (Honoris Causa) karena kegigihannya sebagai ‘guru’ bagi orang lain.

Sebut saja DR. Ciputra. Alumni Arsitektur iTB ini. Saya pernah di undang ke Jakarta dan ngobrol santai bareng beliau. Di Usia ke 80, beliau masih saja semangat menjadi ‘doctoren’ membagikan ilmu-ilmunya kepada yang lain.

Di desa-desa itu ternyata banyak para ‘Doktor’ yang tiap selesai magrib mengeja dengan ‘lidi’ kepada anak-anak tetangganya. Siang harinya, ia mengisi di simpang lampu merah. Di pelosok-pelosok sana, para ‘doktor’ bangun dini hari, mengayuh sepeda jauh-jauh menemui sekolah yang muridnya hanya beberapa saja, tanpa digaji.

Ini yang disebut oleh Dr. Nirwan Syafrin, pakar pendidikan, bahwa apa sebenarnya tujuan kita menuntut ilmu? Apakah karena keikhlasan yang menjadikan ia bergairah setiap saat untuk belajar. Atau hanya title dan kerja yang menjadikannya sebuah  tragedy. Sebab gelar yang disebut orang nanti hanya satu, yaitu  ‘Alm’.

Makna Doktor sangatlah mendalam. Ia adalah guru. Orang-orang besar dilahirkan dari rahim para  ‘Doktor’. Universitas dilahirkan oleh para ‘Doktor’. Peradaban dibentuk oleh ‘doktor.’ Itulah mengapa ada pendidikan.

Oleh karena itu, pepatah itu memang benar “Belajar setinggi-tingginya.” Maksudnya jadilah ‘Doktor’. ‘Ilmu yang bermanfaat’ tentunya kelebihan para ‘Doktor’. Tapi jika hanya mengejar gelar, maka cukup mudah caranya. Suatu saat mungkin saya akan namakan anak saya ‘Prof. Dr. Fulan, Ph. D.

Migran

Saat itu Victoria Park sangat sesak, seolah-olah napasnya tersenggal-senggal. Puluhan ribu orang yang asli Indonesia itu memenuhinya. Mereka hanya sebagian dari 150.000 orang yang ada di sana. Orang-orang di sini menyebutnya TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Plaza terbesar di Hongkong itu  pada hari ahad merupakan pusat orang-orang asal Indonesia  beraktivitas, bercengkrama, melepas penat.

Tapi istilah TKI itu kurang pas! “Migran” kata Dosen saya itu saat kuliah Arsitektur Kota.  Migran adalah sebuah permasalahan pada kota-kota besar. Maksudnya adalah person who ‘migrasi’. Orang-orang yang tinggal menetap pada suatu wilayah padahal ia bukan warga asli situ.

Dari latin migr ns, ia menjadi Habitually moving from place to place”. Webster menyebutnya ‘person who moved’. Bergerak dari satu tempat dan tempat lain.  Ini sudah menjadi kegiatan setiap manusia.

’Move step by step’ istilah para trainer dan motivator. Kenapa bergerak? Seorang Kyayi asli Betawi itu  bilang, “air yang tak bergerak ia akan keruh.” Kalau kita lihat dalam sejarah, migran selalu menjadi Tokoh Utama dalam sejarah.

Arnold Toynbee, pakar sejarah dan peradaban dunia membuat belasan jilid buku yang berjudul ‘A Study of History’. Ia menjelaskan perjalanan migrants, mulai dari Mesir Kuno hingga abad Modern (abad 18).

Migrasi besar-besaran di dunia ini pernah terjadi. “American now, its not origin people in America,”geramnya. Orang –orang Amerika saat ini, nenek moyangnya adalah migran.

‘Migran itu kemestian’ ungkapnya. Bahkan Walter C Kaiser menjelaskan, dalam bible ada kemestian para nabi menjadi migran. Abraham buktinya. Ia di perintahkan pergi. Belum perintah pergi memerangi bangsa Amalek. Yesus pun tidak luput menjadi seorang migran.

Kisah Perjalanan spiritual Budha dan hijrahnya Muhammad SAW menjadi sejarah yang membekas tinta sejarah dunia. Oleh karena itu, John L Esposito, orang Oxford itu bilang, “Migrasi merupakan pangkal perubahan”.

Kalau di Tanya, apa budaya asli penduduk asal Eropa, Amerika, Asia ? Sekarang sudah sulit kita temukan budaya asli penduduk asalnya, karena ian telah berubah.

Jilli Traganou dan Miotrag Mitrasinovic dalam ‘Travel, Space, Architecture’ mengatakan “Migrant change themeselves in the relation to the newland”. Ia dapat mengganti identitas awal! Nggak heran, migran membawa budaya baru. Atau malah para migran yang terorigin-kan.

Bangsa yang tadinya jahiliyah bisa berubah jadi beradab. Bangsa bodoh menjadi pintar. Bangsa hemat menjadi boros. Bangsa ‘Ndeso’ jadi ‘Modern’.

Semua berubah. Jilli menambahkan “Mygrant are also ideal agent for culture hybridization.”. Ungkapannya mungkin benar, sebab tidak hanya fisik yang berubah, tetapi pemikiran pun bisa berubah.

Saat di Victoria Park, tidak usah heran melihat pasangan asal Indonesia yang ngikut penduduk asal Hongkong, menjadi Lesbi. Positifnya, para migran asal Indonesia di sana menjadi sering membaca. Tabloid ‘Srikandi’, merupakan oleh –oleh asli karangan para TKI (migran)  yang dibagikan kepada kami. Tabloid kami, Alhikmah 100 buah itu langsung ludes diborong para migran di Victoria Park.

Budaya saling bersilangan! Yang kuat mengalahkan yang lemah. Tapi, istilah migran saat ini sudah berubah. Istilah Webster belum selesai pada ‘person who moving’ , ia berlanjut ‘regularly in order to find work especially in harvesting crops’. Ia harus bekerja, mengumpulkan uang siang dan malam. “Especially in search of seasonal work”.

Untuk apa nyari uang sampai harus migran? “Memperbaiki keadaan dan untuk bekal pulang di kampung,” ungkap salah satu migran jujur. Saya rasa ia tidak sendiri.

Dulu, kolega saya yang  pernah kerja di Hongkong. Ia bilang “Buat bekal keluarga di kampung”. Kalau kata teman saya yang lain di Okayama “Buat orang tua dan modal nikah di Indonesia.” Bagaimanapun juga, ia tetap ingat tujuan utama , ia adalah migran.

Tetap, kampung  menjadi prioritas utama.  Betatapun lama ia tinggal di sana, orang Indonesia di Jepang pasti kumpul-kumpul  di Yoyogi park, Tokyo. Di Amerika, sambil makan, orang-orang Indonesia kumpul di  ‘Mie Ayam jakarta’ New York, orang –orang Indonesia di Hongkong, yang rindu kampung halaman, kumpul di Victoria park sepekan sekali.

Alkisah, seorang migran bekerja, mencari uang, mendapatkan banyak uang.TapI, ia hanya hidup sendiri. Ia pupuk semua kesuksesan, namun orang yang dicintainya dikapungnya ia lupakan.

Suatu saat ia teringat anak istrinya di kampung. Ia teringat keluarganya. Ia teringat sesuatu yang dicintainya. Akhirnya ia bertemu dengan orang-orang yang rindu kampung halamannya. Obrolannya seputar kerinduan kepada kampung halaman.

Air matanya tiba – tiba membasahi pipinya.  Selama  ini Ia hanya migran, yang tidak akan tinggal selama-lamanya. Senang sekali ketika ia berkumpul bersama dengan para orang yang berasal dari kampung halamannya.

Sejak saat itu, uangnya ia persiapkan untuk bekal kembali. Ilmunya ia gunakan untuk menuju kampungnya. Hidupnya menjadi bermakna. Sesuatu di kampungya sudah menunggunya.

Kini, Kampung yang  telah lama dilupakan mulai jelas dalam memorinya.  Perjalanannya masih panjang. Semoga bekalnya  cukup untuk perjalan pulang. Ia tidak tahu seperti apa kelak di sana, yang penting ia persiapkan sebaik-baiknya bekal. Ya…Kampung Akhirat.

Sibuk

Beberapa hari ini saya berkesempatan nugas ngeliput di Ibu Kota RI, setelah sebelumnya kunjungan ke enam kota besar di macem-macem provinsi. Saat itu, saya sedang menaiki commuter line, ke arah Bogor. Saya membandingkan kota-kota yang saya kunjungi sebelumnya. Ternyata nggak berbeda jauh!. Kota-kota itu semakin ‘mendekati’ Jakarta.

Sorry ini jam sibuk bung!”teriak seseorang di tepi pintu kereta, sambil menahan orang luar yang mau masuk. Kereta terlalu penuh. Memang, suasana di dalam commuter sangat padat sampai-sampai orang di luar saja nggak bisa masuk. Saya membayangkan bagaimana kalau dengan kereta ekonomi kalau di sini saja seperti ini? “Mengerikan!”

Ungkapan “Ini jam sibuk” membuat banyak orang bertanya-tanya apakah itu sibuk? Apa yang membuat ribuan orang berkumpul pada tempat sama jam yang sama? Jim Dwiyyer menggambarkan keadaan Newyork dalam, bukunya ‘Subway Loves 24 hours in the Life of The Newyork City Subyway’. Saya pikir, ungkapan orang yang berterak tadi masuk akal. Jakarta semakin mendekati Newyork!

Itulah sibuk!. Semua melaju. Russel Leigh dan Cheryl Harris menguatkan pendapat Dwiyyer dengan bukunya ‘NIGHT SHIFT NYC’. Mereka bilang seperti curhatan teman saya. Katanya “Saya sering kejebak macet di Jakarta tiap pagi, sama pulang ngantor malam, kadang-kadang macet total”

Belum lagi senin kemarin (5/6) saat saya ke Ciputat jam enam pagi saja sudah macet. Jam sibuk semakin maju. Setiap saat menjadi waktu yang sibuk!. “Busy” istilah YM (Yahoo Messenger)-nya. “Nggak mau di ganggu pokoknya!”. Ia menjadi cenderung individualis kata Bauman. Padahal Morgan Freeman dalam Filmnya bilang ‘Get busy living, get busy dying”. Bisa jadi ia benar.

Di Indonesa, ‘Busy’ menjadi kawannya Bising. Latin-nya festinare, maksudnya ‘actively or fully engaged, occipided. Crowded with characterized by activity.’ Singkatnya penuh agenda, full kegiatan!. Makanya “ business” ngambil akarnya dari busy. Kereta bisnis yang saya naiki ini, keretanya orang-orang ’sibuk.’
Banyak sekali yang dikerjakan. Dari bangun pagi, hingga pulang dan tidur semua ia kerjakan. Lama-lama busy sudah menjadi gaya hidup (lifestyles). Semua orang mencari kesibukan-nya masing-masing. Lagi-lagi Peter Berger bilang ini gara-gara zaman. Katanya zaman telah berubah. Apakah pernah membayangkan orang-orang zaman dulu ‘sibuk’ seperti sekarang?.

Sibuk sudah menjadi ‘makanan keseharian’. Istilahnya David Chaney ”Life styles”. Orang yang nggak ‘sibuk’, nggak modern. Nggak baik!. Kabarnya, Cina sudah ketularan virus ‘sibuk’. Belum lagi Jepang, dan negara-negara lain. Semua mencari kesibukan. Malah, ekstremnya kata para ahli sosiologi, orang-yang hidup di kota-kota itu, Busy-ness City, mendapat tingkat “stress” tertinggi!

“Grrrr” geram orang sebelah saya itu sambil melirik berkali-kali ke pergelangan tangan kirinya, ia terlihat frustasi. Saat itu bus melaju pagi buta sekali di jalan tol. Jalan tol macet!. Semua orang sibuk!. Lucu memang, jalan tol yang katanya bebas hambatan, malah benar-benar bebas menghambat!. “Stress” sudah menjadi budaya Kota Besar. Ia terus melaju 24 jam.
Belum lama beberapa konsultan “Happiness”, mengadakan survey kecil-kecilan. Semua sepakat , termasuk para trainer, motivator, dll bahwa kebahagiaan dan ketenangan (lawannya stress) datangnya dari dalam diri. “Uang dan ke’sibuk’kan nggak bisa membuat saya bertahan, mendingan saya kerja di Bandung lagi,” kata teman saya yang sempat beberapa bulan hidup di Kota ‘Busy-ness.’ Akhirnya ia keluar dari kantornya di Ibu Kota.

Tetap, Ia harus belajar ’berhenti’ dari siklus ke’sibuk’an itu. Ia harus menyediakan waktu untuk diri sendiri. “Ah sibuk” gak sempet!”. Pikirnya, semakin sibuk semakin sukses. Semakin berbunga-bunga, semakin ‘mulia’. Sampai-sampai ia berteriak “We are too busy to be happy.”

Ia terus mencari kesenangan, kebahagiaan. Tiap akhir pekan, uang hasil ‘sibuk’nya digunakan untuk kongkow-kongkow di Café, Warung, Plaza, atau sekadar hangout di pusat-pusat kota. Menikmati hidup hanya di akhir pekan. Karena kalau hari –hari biasa ‘sibuk’ katanya.

Steve Bayley (1991) dalam ‘Taste: The Secret Meaning of Things’, mengemukakan “Cita rasa adalah sebuah agama baru dengan upacara-upacara yang di rayakan di pusat-pusat perbelanjaan dan meuseum, dua lembaga yang asal-usulnya terletak persis periode yang menyaksiskan ledakan konsumsi popular.” Periode apakah itu?

Inilah yang kata William Weber ‘Masyarakt modern’. Sibuk semua. Berdiri di dalam commuter line melaju bersama waktu pagi dan petang. Mengklakson, menginjak kopling, rem, mengklakson, sambil menggerutui ‘macet’. Featherstobe, nggak terlalu kaget, katanya “Ini karena perkembangan kapitalistik.”

A lyric Poet in The Era of High Capitalism” tambah Benjamin—Pusat keramaian (Crowd) merupakan tontonan wajar, jika seseorang boleh menerapkan istilah terhadap kondisi sosial. Sebuah jalan, suatu kebarakaran besar, kecelakaan lalulintas, pertunjukan mengumpulkan orang. Mereka hadir dengan sendirinya sebagai kesamaan konkret, yakni dalam kepentingan-kepentingan pribadi (p.2)

Uang gajian di habiskan di pusat-pusat keramaian. Hasil sibuk seminggu harus di rapel dalam akhir pekan! Berking and Neckel tahun 1993 sampai –sampai membuat buku “Urban marathon’The staging of individualityas an urbant event.” Kehidupan yang serba sibuk menjadi hidup ini seperti marathon, selalu dikejar aktivitas, sampai-sampai waktu-waktu tertentu saja menikmati kebahagiaan.

Tiba-tiba orang-orang di gunung itu berkata “Kami tidak perlu menunggu akhir pekan!”. Setiap hari kami bisa menikmati udara segar, tanpa bunyi klakson. Orang-orang kota-pun nggak mau kalah berujar, kamipun setiap hari merasakan kenikmatan di sini, setelah sejenak kami ‘berhenti’ dari kesibukannya. Berhenti dari kesibukan malah semakin baik katanya.

Nyatanya M Shumaker yang pembalap itu, harus berhenti sejenak di pit-stop untuk persiapan dan perbaikan ke depan.”Kalau melaju terus, mesin bisa rusak!” kata tim Ferrari. “Less is More: Spirituality for Busy Lives” tulis Brian Drapper. ‘Spirituality for busy people’ sedang berkembang di Amerika. Di Buku lain “The Practiceof Every day Life”, di kisahkan hidup itu nggak sekadar fisik bung! Ia butuh permainan, cerita, spritualitas!.

Orang-orang Barat mulai mencari makna spiritualitas. Lash and Urry melanjutkan bukunya “The End of Organized Capitalism”. Ternyata orang kota itu, awalnya ia penasaran. Sesekali ia memenuhi panggilan Tuhan untuk berhenti dari ‘kesibukan’. Setelah itu iseng ia buka kembali kitab sucinya , dengan wajah merah dan malu-malu ia menemukan ayat dan membaca dengan pelan kalimat “Setiap saat Dia (Allah) dalam kesibukan”.

Buru-buru ia sucikan diri, dengan bangga ia menghadap Dzat yang Super sibuk. Senang sekali rasanya orang itu ketemuan sama yang ‘sibuk beneran’. Yang selalu sempat di temui, selalu siap di ingat. Ia malu, ternyata selama ini ia sok sibuk. “Baru ‘sibuk’ saja sudah nggak mau ketemu sama yang Super sibuk!”. sadarnya

‘Sibuk’nya sudah berubah menjadi sibuk. Kata De Certau, Michman, Moers, sekarang ia sudah bisa me-manage ke’sibuk’anya dengan hal-hal yang baik. Berdiri di commuter line ia isi sambil mengingat Tuhan-Nya. Bibirnya Nampak basah. Tidak ada lagi gerutu di sana.

Tidak ada lagi menunggu akhir pekan, tidak ada lagi menunggu malam, kebahagiaan ia rasakan setiap saat, setiap detik. Tidak adalagi uang nya ia habiskan sia-sia, tidak adalagi ‘stress’di sana. We are too busy to be happy.” Berubah, every time, every where, I’am busy in happy. Ya, sama-sama sibuk, tapi nilainya sangat berbeda. Orang seperti ini nggak perlu ditanya sibuk ngapain sekarang?

Pedestrian

Yang kamu perlu hanya kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,” gumannya mengutip perkataan sebuah  buku berjudul – 5Cm -. Lalu  tiba- tiba terucap dari mulutnya, ” Sayangnya, zaman ini kita mau jalan kaki sudah susah!”.

Perkataan dalam novel ini mungkin cocok di Barat.  Celotehannya teman saya itu cocok di sini. Nyatanya, beberapa waktu lalu kawan-kawan saya yang lain  protes. Mengapa saat dia berjalan kaki di ‘pedestrian’ malah di klaksonin motor dari belakang.

“Bukan pedestrian!” Sanggah dosen saya di suatu kelas. “Tapi”, dengan pelan dosen saya  melanjutkan “Yang benar itu adalah Jalur Pedestrian”. Ternyata ungkapan  teman saya berjalan di pedestrian itu ngaco. Pedestrian  itu  “ is a person traveling on foot, whether walking or running,” Kata Kamus-Kamus Inggris.

”Masih aja ada  yang bilang Pemkot bangun Pedestrian,” greget dosen saya itu. Pedestrian adalah, ya pejalan kaki itu sendiri.  Kalau tempat jalan kaki, namanya adalah jalur pedestrian. Ia makin  gregetran ketika ada yang menyamakan pedestrian dan trotoar.

Pedos, (Yunani) maksudnya kaki. Makanya KBBI bilang pedestrian adalah pejalan kaki. Jadi amat sangat error jika bilang “berjalanlah di pedestrian”. Menurut bahasa saja tidak sah, apalagi menurut terminologi?

Saat kuliah dulu,  berkali-kali,  saya diingatkan dosen saya untuk memperhatikan pedestrian jika  kami merancang suatu kawasan. Dalam bukunya “Life in the City”, Louis Wirth,  menyimpuylkan salah satu aspek dalam Kota yang baik adalah penggunanya. “Demokratis” adalah  salah satu ciri ruang publik yang ideal. Tapi, pengguna kendaraan seakan-akan menjadi ‘tiran’. Nggak perlu jauh-jauh ngomongin demokratis, apakah pedestrian sudah nyaman berjalan di  trotoar?

Oleh karena itu, waktu kuliah, kami ditugaskan meneliti kawasan yang jalur pedestrian-nya bagus biar nanti bisa praktek langsung.  “Istilah arsitekturnya, node (plaza) dan path(koridor)” kata dosen itu.  Kita lihat pada Plaza Maria di Jerman. Kita bisa menikmati duduk – duduk santai di Jalanan. Melihat anak-anak memberikan makanan pada burung. Sambil  menikmati alunan musik  karya Mozart dengan gesekan biola yang menyentuh kalbu. Belum lagi plaza-plaza yang lain. Barcelona, London, Brussel, Prancis, dll.

“Ah  itu kan Eropa! Di sini panas,”  kata orang-orang pesimis sambil mencibir.”Ah nggak juga,”  ungkap Jokowi, saat seminar Internasional Emerging Bandung. Kita lihat di Malaysia,dan Singapura  bung!. Orchard Road buktinya. Di sana kita bisa lihat node dan path bersatu. Pedestrian di hargai di sana.

Pengaturan koridor dan plaza juga  kita rasakan di  Water Front, Kuching, Malaysia. Kita bisa berlari-lari disana, duduk, bahkan tidur- tiduran. Kira-kira bisa ga ya kalau di sini?  Belum lama, kawan saya tour 5 negara dengan sumringah berteriak “Di Bangkok, Vietnam, dll trotoarnya segede gaban-gaban, sampai mobil bisa parkir disana!”.

Beberapa bulan lalu, saya bermain ke Solo. Seperti biasa, saya berjalan-jalan menikmati senja. Yang cerah di Jalan Slamet Riadi. Ia sudah tidak seperti dulu, ada yang berubah. Jalan kaki nggak terasa, tiba-tiba sudah sampai alun-alun (plaza). Bener juga kata Jokowi yang sekrang walikotanya , ‘Ah nggak juga”

Kira-kira dua tahun lalu, saya pernah riset keci-kecilan di mall  Ciwalk Bandung. Jika di desain dengan baik, maka pedestrian akan terpuaskan.  “Dilarang masuk kendaraan” kata Ciwalk.  Sang Legenda Urban Design, Prof Danisworo  pernah  nulis dalam “I-Arch”   tentang superblock. “Sorry, kendaraan pribadi minggir dulu. Semua harus  jalan kaki”. Inilah kota Ideal, Superblock!

Tapi yang terjadi kebalikannya.”Sorry , Anda minggir dulu, motor mau lewat!”  . “Brrmmm,” motor dipacu. Minggirlah para pedestrian di Ibu Kota. Ia menjadi termarginalkan. Semua pindah ke kendaraan pribadi berpolusi. Hilang sudah orang bersepeda. Jalurnya di makan sama mobil dan motor. “Orang-orang kampungan itu hanya dari kosan yang berjarak kira-kira 2 -3 km itu naik mobil” sergah kawan saya. “Belum lagi cuman 1 km, pake naek motor segala!” tambahnya gerah.

“Bisa saja aman dari mobil dan motor, kalian  tidak akan aman dari kami” ancam PKL. Pedestrian semakin terpojok. PKL yang tadinya 5 langkah dari trotoar, sekarang menjadi melangkah bersama pedestrian.  Era ini sudah merubah arti dan juga makna. Mungkin kata pedestrian di hilangkan saja. Tidak ada lagi orang yang  berjalan kaki, menikmati indahnya mentari di sore hari. Semua terjebak dalam siklus ‘stress’ di dalam besi-besi tua yang bergerak itu

Nikmatnya Menghirup udara pagi sudah tergantikan, dengan tergesa-gesanya memakai kemeja, menuju kantor, mencari secercah ‘uang;. Semua sibuk urusannya masing-masing. Pedestrian harus mengalah, eh,, bukan. Bahkan, ternyata bisa jadi perkataan teman saya itu benar dan  Dosen saya malah salah!

Pedestrian zaman ini adalah tempat orang berjalan. Bukan lagi pejalan itu sendiri. “Iya juga ya”, sebab, sekarang, sudah tidak ada lagi pedestrian. Ia telah mati kecuali bagi sebagian orang….Ia masih tetap hidup, menikmati indahnya Alam, mengirup udara segar, menikmati kebahagiaan,  dengan hati yang tunduk.