Kajian Kontekstual dalam Skala Kota dengan Aspek Sosial,Budaya,ekonomi
Kajian terhadap kontekstual dalam Arsitektur rupanya sudah ada sejak era tahun 80an.Namun baru-baru ini,melihat arah perkembangan kota-kota besar yang semakin rumit dan juga tidak teratur,makan kebijan-kebijakan kota,seperti peraturan kota,dll mulai diarahkan agar membentuk tempat beraktivitas sesuai dengan konteks sekitarnya
Kontekstual dalam arsitektur dan kota pertama kali dilontarkan oleh kelompok arsitek perancang kota di
Universitas Cornell tahun 1970-an (Sumber lain menuliskan Stuart Cohan dan Steven Hurtt-lah yang mengaku memperkenalkannya untuk pertama kalinya di Cornell pertengahan tahun 1960-an) dimuat dalam buku Collage City yang ditulis Colin Rowe dan Fred Koetter di mana dicanangkan suatu teori baru perancangan kota. Kata “kontekstual” di dalam perancangan arsitektur dan kota telah banyak disalah-artikan dalam pengertian “regionalisme”, “jati diri”, “kepribadian”, bahkan menjadi pandangan kedaerahan yang sempit.
Kontekstualisme yang sering juga disebut Urbanism lahir dari pemahaman dan pendapat bahwa gagalnya Arsitektur Modern. Berawal dari kurangnya pemahamantentang Urban konteks, mulainya desain dari dalam baru memperhatikan lingkungan sekitar, dan juga kutang dalam linkage dalam pembentukkan ruangdan tempat yang sebenarnya mempengaruhi arah pembangunan kota
Maka dari itu perlu diperhatikan kontekstual,karena pengaruhnya sangat besar terhadap desain bangunan dan juga sebaliknya.Wajah lingkungan sekitar, juga kondisi sekitar seperti social,biudaya,dan ekonomi mempengaruhi enclosure dan juga desain suatu bangunan dan tempat.Contohnya apa yang kita lihat pada kota-kota besar di Indonesia dimulai dengan sebuah proses perancangan Arsitektural. Proses perancangan kemudian dilihat sebagai strategi penyisipan dan penyelesaian (termasuk pembongkaran atau penggantian) pada tapak tertentu. Kontekstualis memusatkan perhatian pada bentuk fisik relatif terpenggal dari acuan citra arsitektur tertentu. Pendekatan tipologi seorang kontekstualis adalah pemahaman intuitif dari aneka ragam model organisasi geometri yang mungkin dapat dipakai dalam berbagai kombinasi untuk pemecahan persoalan tertentu.
Itu berbeda dengan seorang rasionalis yang memandang tipologi dan model hanya sebagai sumber bentuk fisik, di mana tipe dan bentuk dapat disusun tanpa acuan kepada arti dan aturan yang lama.
Beberapa contoh penerapan kontekstual di Indonesia di antaranya: beberapa kota di Jawa dengan struktur awal sederhana yakni sumbu linier utara-selatan dan perkembangan kemudian ada di sekitarnya. Proses terjadinya dimulai dari “karang” dan baru kemudian jalan. Perkembangan dipacu oleh keberadaan rumah-rumah bangsawan, sebagai pusat. Kawasan kota bercampur antara fungsi-fungsi kota, dan antara bagian desa dan bagian kota. Kawasan kota selalu bertransformasi ataupun berkembang secara sporadik. Kasus: Kawasan Malioboro. (Ardi Pardiman Parimin, 1989)
Kontekstualisme muncul di antara isme-isme dalam arsitektur dan perancangan kota. Stuart Cohan dan
Steven Hurtt, yang mengaku memperkenalkan kontekstualisme, menyatakan bahwa kontekstualis bermaksud memeluk spirit/jiwa bangunan-bangunan tua dengan lingkungannya yang bersejarah ke dalam rancangan baru; bukan bentuknya. Dengan demikian kontekstualisme dapat memberi tempat sekaligus membuka persoalan dengan aliran/paham lain seperti environmentalism, konservasionism, regionalism, postmodernism, dsb yang sedang berkembang.
Kontekstualisme oleh Wojciech Lesnikowski lebih disimpulkan sebagai minat dan tanggapan individu
ketimbang aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Ini berbeda dengan gerakan modern yang mewakiliseperangkat dogma, didaktik dan aturan-aturan yang universal dan jadilah hukum untuk standard praktek disain kalangan arsitek penganutnya.
Kalau di atas kontekstualisme dibaca sebagai metode, kontekstualisme dapat pula dianggap sebagai teknik disain untuk memberi jawaban atas kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, pragmatis menjadi bersifat plural dan fleksibel, serta bukan merupakan dogma rasional atau melulu berorientasi pada kaidah yang terlalu universal. Meskipun demikian harus diakui pada saat ini cukup banyak disain dengan dasar pemikiran kontekstual yang berakhir dengan kiat-kiat formal yang gersang karena dengan begitu saja mengangkat pengaruh bangunan bersejarah; bukan merupakan adaptasi sejarah yang dipikirkan masak-masak.
Dalam rancang kota, kontekstualisme memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya adalah kemampuannya secara potensial meredam lingkungan yang tidak tanggap atau liar. Kelemahannya adalah rancangan seolah-olah harus menerima keterikatan pada kondisi statis; bertentangan dengan produk-produk baru yang diinginkan yang lantas terpaksa dimanipulasi untuk menjaga selera keterkaitan. (Robi Sularto Sastrowardoyo, 1993)
Secara politik,daerah –daerah yang memperhatikan konteks akan terlihat perkembangannya.Bandungn sebuah kota besar yang dahulu dijadikan markas gubernur Hindia Belanda, maka terdapat bangunan-bangunan kenegaraan yang berada di Bandung, tata kota kota Bandung terlihat bahwa ada daerah militer yang terdapat diwilayah timur, wilayah perumahan rakyat di daerah selatan,atau kawasan perumahan elite di daerah utara (dago).Saat ini konteks dago sebagai wilayah permuahan sudah mulai bergeser. Menjamurnya FO dan juga sarana-sarana berbelanja menjadikan dago sebuah kawasan bisnis dan juga pusat perbelanjaan,Jika kita ilik fenomena ini maka berkembangnya dago menjadi sebuah wilayah komersial dikarenakan karena turis yang berasal kebanakan dari Jakarta yang sering mengunjungi Bandung sejak tol cipularang dibuka.Jadi, keadaan pada suatu tempat ternyata mempengaruhi keadaan pada tempat yang lain. Sehingga dalam taran ekonomi, social,budaya dapt menyatu dan bersinergi dan juga dapat berubah sewaktu-waktu