Di atas bukit ini, aku menatap negeri para raja di hadapan laut biru
Di atas bukit ini, perjalanan sang waktu seakan terus menderu
Di atas bukit ini, temaram sendu menemani rintik salju
Cerobong asap yang mengepul
Titik cahaya dari bilik tirai yang terus bergumul
Tenimbun salju yang entah sedari tadi berkumpul
Atap rumah tua dan dinding-dinding yang terus timbul
“Dooooorrrr….”
Moncong meriam yang terus berdentum
Nanar mata hingga darah yang harum
Itulah Ibu Kota Romawi, Byzantium
Di atas bukit ini, usaha nyaris satu millennium
Yang sudah tercatat berabad silam, dari lisan sang Nabi
Di atas bukit ini, dengan kuduk mengigil, memeluk jaket kami sendiri
Menyusur jalanan tua kota tua dengan temaramnya
Mendaki kecil, menapaki perjalanan waktu yang seakan terhenti di sini
Kami tercekat
Terdiam sejenak
Kami berdiri di kota dengan berjuta kenangan
Kami berdiri di atas bukit dengan sejuta harapan
Kami berdiri menatap ribuan peninggalan peradaban
Aku pun beraharap
Aku ini kembali lagi ke sini, pada saatnya
Sambil berlama-lama menikmati sajian khasnya
Berjalan-jalan menikmati hijau masjidnya
Menuliskan sebait dua bait prosa untuknya
Bursa, suatu Desember, menikmati salju pertama di Ibu Kota Pertama Turki Utsmani