Bu Risma


Bu Risma

Bulir-bulir bening itu mengalir tiada henti. Jutaan pasang mata itu kian berkaca-kaca. Tak terasa, air mata itu mengalir di pipinya. Disekanya pelan-pelan air mata yang meleleh itu, ia menangis. Setelah tenang, ia melanjutkan.

“Saya selama ini sudah berikan yang terbaik untuk warga Surabaya. Semua yang saya miliki sudah saya berikan. Saya sudah tak punya apa-apa lagi, semua sudah saya berikan, ilmu saya, pikiran saya, bahkan kadang anak saya pun tidak  saya urusi. Tapi, saya percaya, kalau saya urusi warga Surabaya, anak saya diurusi Tuhan. Saya sudah berikan semuanya, jadi saya mohon maaf,” dalam ruang haru dalam sebuah tayangan bernama Mata Najwa medio Februari 2014.

Air mata kecintaan Tri Rismaharini, Walikota Surabaya yang bening, seolah ingin menampakkan kebeningan hatinya. Apa yang ingin disampaikan Bu Risma tak terasa membuat jutaan pasang mata itu tak dapat menahan bulir bening yang sudah berkumpul di sudut matanya. “Bu Risma, seorang pemimpin yang mencintai rakyatnya.” guman para penonton sambil larut dalam haru.

“Saya ingin memimpin seperti Umar Ibn Khattab,” katanya, seperti diungkapkan dalam Catatan Kaki Jodhi Yudono  Kompas.com (17/2/2014). Bu Risma ingin memimpin melewati sekat-sekat fisik sebuah kota, dan mulai menyentuh persoalan kemanusiaan. Beberapa waktu lalu, saya pernah membaca tulisan ‘Walikota yang Siap Mati Demi Ditutupnya Prostitusi’ di pelbagai media. Kesiapannya dan keikhalasan untuk mati ia kisahkan kembali di Mata Najwa dengan air mata yang tertahan, kesiapan melawan sebuah “kekuatan besar.”

Image

(sumber gambar:article.wn.com)

Kelihatannya, ia tak hanya ingin sekadar menata kota (city design), tapi ia ingin masuk ke sekat menata ‘kota’ – dalam arti lebih luas: budaya- (urban design), bahkan lebih dari itu, semoga Sarjana Arsitektur ini telah melewati ruang-ruang fisik, dan melangkah pada menata kota yang menjadi dasar peradaban (civilization), seperti yang diungkapkan Sosiolog kesohor, Louis Wirth dalam bukunya “The City as a Symbol of Civilization”. Itulah yang dilakukan idolanya, Umar Ibn Al Khattab, melanjutkan tradisi mebangun kota (madinah) yang menjadi peradaban (tamaddun).

Sebagai alumnus Arsitektur, saya kira Bu Risma akan membangun city dan Urban (keduanya diartikan ‘kota’) sekaligus,  laiknya Walikota kesohor lain yang juga arsitek, Ridwan Kamil yang mulai mempercantik Kota Bandung, dengan jalur pedestrian, jalan-jalan yang mulus, tempat sampah, biopori, dan sebagainya. Bu Risma pun saya yakin akan memulai dari tampilan fisik kota (city), dan itu mungkin bisa dirasakan warga Surabaya.

Saya berkesempatan menikmati Surabaya baru dengan sentuhan bu Risma setahun lalu. Menikmati senja dengan berjalan kaki, menaiki becak, menaiki angkot hingga Jembatan Suramadu, menyusuri jalur pedestrian. Belakangan, beliau menaikkan pajak Billboard, karena dianggap merusak tampilan kota. Walau masih banyak kekurangan, perbaikannya perlu kita aspresiasi.

Mungkin dengan beberapa ‘manuver’ walikota Surabaya ini,  ia “dimakzulkan”. Hal ini wajar, karena dalam kuliah-kuliah Arsitektur, ide menaikkan pajak reklame, biaya parkir, pajak kendaraan pribadi yang ditinggikan menjadi bagian dari ikhtiar perbaikan kota hingga menjadikan kota penuh dengan pejalan kaki, dan minimnya kendaraan pribadai pasti menjadi prioritas seorang penggiat Arsitektur seperti Bu Risma.

Begitulah memang membangun kota (city) seperti kata Louis Wirth dalam  Life in the City bahwa  salah satu aspek dalam kota yang baik adalah penggunanya. “Demokratis” adalah  salah satu ciri ruang publik yang ideal. Tapi, pengguna kendaraan pribadi seakan-akan menjadi ‘tiran’. Nggak perlu jauh-jauh ngomongin demokratis, apakah pedestrian sudah nyaman berjalan di  trotoar? Bu Risma sedang berikhtiar ke arah sana, salah satunya dengan ‘mengharamkan’ jalan tol –yang didominasi kendaraan pribadi- masuk kota, yang ‘mungkin’ membuat geram beberapa pihak.

Jika saja Bu Risma, dizinkan membereskan kota Surabaya, bisa jadi dalam tampilan fisik, semoga  laiknya walikota Erdogan (kini sudah jadi Presiden) membuat kami dapat menikmati Istanbul. Menikmati trem-trem ke sana kemari dengan biaya murah. Atau kami dapat membeli dilahan khusus ‘PKL’ yang tertata rapi di Grand Bazzaar sambil menikmati ruang-ruang demokratis dalam trotoar, atau menikmati bus tanpa macet, menaiki subway, juga menikmati taman-taman kota yang tetap kian ramai oleh masyarakat.

Image

(sumber;dok.pribadi)

Inilah mungkin sekat pertama, tentang city, tampilan fisik kota yang nyamanLihatlah ketika Umar Ibn Al Khattab menangis, karena takut ada seekor kambing yang terperosok karena lubang, jalanan yang rusak di wilayah yang ia pimpin, dan semakin menjadi-jadi tangisannya karena “Akan menjawab apa Umar ketika menghadap TuhanNya.”

Untuk hewan saja, begitu takutnya Umar, apalagi urusan manusia. Inilah seperti yang dikisahkan seorang kompasianer, dalam “Bu Risma: Walikota Termiskin di Dunia”, sekat kedua menembus kemanusiaan, penghuni kota dengan coraknya (urban), tak hanya fisik bangunan kota saja. Bagaimana Bu Risma mendatangai satu per satu warga miskin, berjumpa dengan lurah, camat dan berpesan “Jika masih ada yang tidak terdata, maka saat di akhirat nanti ketika menghadap Allah dan ditanya mengapa masih ada orang miskin yang tidak terbantu di Surabaya, maka saya akan panggil kalian semua untuk mempertanggungjawabkan.” lirihnya.

Sekat kedua ini yang berabad silam membuat Umar membopong sendiri sekarung makanan karena menemukan warganya yang merebus batu.Umar memang dikenal sebagai pemimpin yang suka ‘blusukan’ walau tanpa jurnalis yang siap menemani. “Ya, Bu Risma memang ingin meniru Umar bin Khatab sebagai seorang pemimpin. Yakni pemimpin yang tahu persoalan rakyatnya, terutama mereka yang  miskin dan papa…” Tulis Editor Kompas Jodhi Yudono dalam tulisannya Sebab Kami Menyayangi Ibu Tri Rismaharini’ (Kompas.com,17/2/2014)

Bu Risma, tak memang tak salah memilih idola pemimpinnya, Lihatlah ketika Umar dengan sepotong pakaiannya ketika memukul perutnya sendiri sambil berguman, “Aku tidak akan puas makan dan minum selama masih ada rakyatku yang kelaparan.”. Dan ketika Paceklik melanda, Umar bersumpah hanya akan makan minyak dan roti kering dan berguman,”Wahai perut, engkau tak akan merasakan selain makanan ini.” Sambil menusuk perutnya.

Ia bersama masyarakat, datangi satu persatu dan menanyakan kondisinya., “Semoga Allah membalas kebaikanmu hai anak muda, sungguh engkau lebih pantas menjadi pemimpin daripada Umar..” kata seorang wanita tua yang dibantu Umar yang memanggul barangnya. Umar, seorang pemimpin besar, penakluk Imperium Romawi dan Persia, yang tidur hanya dalam gundukan jerami, atau pasir, dan menerima utusan di bawah pohon kurma yang rindang.

 Tapi lihatlah kesederhanannya, ia mengenakan jubah yang tambalannya tidak kurang dari 21 buah, tangan kirinya memegang tinta, tangan kananya memegang kertas dan pena. Diketuknya pintu-pintu rumah warganya dan dimintanya kepada para istri yang suaminya sedang berada digaris depan medan perang atau berada diperbatasan negeri agar mereka duduk dibalik pintu dan mendiktekan kepadanya isi surat dan pesan kepada suami-suami mereka karena petugas pos sudah siap berangkat.. 

Umar juga mengetuk pintu-pintu mereka seraya berkata,” Sebutlah kebutuhan-kebutuhan anda, siapa yang akan membeli sesuatu ke pasar katakan kepadaku atau kirimkanlah pembantu dan saya akan pergi ke pasar bersamanya, sebab saya khawatir mereka tertipu sewaktu berbelanja”. Kemudian beliau pergi ke pasar dengan serombongan pembatu, setibanya di pasar beliau sendiri yang berbelanja dan membeli semua kebutuhan yang sudah dipesan kemudian memasukkannya kedalam keranjang dengan tangannya sendiri.

 Atau ketika seorang wanita tua mengadukan keluh kesahnya saat Umar sedang ‘blusukan’ dan wanita tua itu tak tahu bahwa dihadapannya itu Umar, dan Umar pun menangis hingga membeli kezaliman Umar dari wanita tua itu. Wanita tua itupun kaget, ternyata pria di hadapannya adalah Umar.

Dan kini, lihatlah ikhtiar Tri Rismaharini mengunjungi satu per satu orang miskin di kampung-kampung kota. Memasuki lorong-lorong kota, walau wartawan yang menyertainya tak seramai gemerlah Ibu Kota. Di carinya anak-anak miskin agar bisa sekolah, hingga Sarjana, Master, bahkan hingga Doktor, dari pendidikan cahaya itu mewarnai peradaban. Walau tak sanggup memanggul beras sendiri, tapi di mobil innovanya yang sederhana, beras itu siap tersedia, Dinas sosial kini penuh menampung warga yang kesulitan.

 Dan lihatlah, ketika dalam tayangan Mata Najwa, ia datangi satu per satu warga. Dengan lembut, ia undangan para ‘penggiat’ pelacuran di Surabaya. Ia berbincang lama dengan para korban dan pelaku prostitusi. Ia curahkan emosi keibuan dalam dirinya, hingga air mata itu membuncah di hadapan para penonton. Ia mulai masuk ke sekat ketiga, yaitu kota sebagai awal peradaban, seperti kata Wirth, The City as Symbol Civilization.

 Peradaban macam apa yang ingin dibangun, ketika seorang wanita berusia 60 tahun, masih melayani anak SD dalam kegiatan prostitusinya? Jawaban yang membuat lidah ini begitu kelu, hati meringis, hingga air mata meleleh.  Wanita ini dapat menemukan persoalan yang tersembunyi ihwal kemanusiaan. Membuat mata ini selalu berkaca. Ini yang membuat Wirth geleng-geleng kepala, “Padahal kota adalah simbol peradaban” katanya dalam bukunya.

 Bu Risma, menyentuh sekat ini, yaitu nurani manusia itu sendiri sepeti ungkapan Arnold Toynbee, pakar sejarah itu bilang,” yang mengisi peradaban adalah orang-orang yang ada di dalamnya”

 Pakar-pakar pemikiran dan peradaban seperti Thomas F Wall, Ninian S, hingga Prof. Al Attas semua sepakat, bahwa membangun peradaban mulai dari orang yang beradab, orang-orang baik.

Karenanya, air mata itu kian tumpah. Ia siap mati, demi membangun sebuah peradaban yang baik, karena Bu Risma sadar, bahwa ruang-ruang nurani manusia yang ia tembus. Dan membuat saya baru sadar, mengapa dalam ada mata kuliah Urban Design, bukannya City Design. Karena, yang dirancang tak hanya fisik, tetapi juga manusianya.

 Dan memang, Bu Risma tak salah memilih idolanya. Bagaiman Umar Ibn Al Khattab berabad silam saat sidak mengunjungi wilayahnya di Syam, berjumpa dengan pengumpul kas negara, dan mendata fakir miskin, seketika raut muka Umar berubah. “Fulan, fulan, fulan, dan Said Ibn Amir.” Umar bertanya, “Said Ibn Amir?” dan disambut jawaban,”Benar, Gubernur kami.” Air mata Umar pun bercucuran.

 Bagaimana mungkin seorang pejabat korupsi, jika seluruh gajinya ia berikan pada rakyat yang tak mampu, bahkan dirinya termasuk orang yang fakir. Diberikannya uang sekantung oleh Umar, dan dengan gemetar Said tak bisa tidur. Ia sedekahkan seluruh hartanya, hingga ia bisa tidur nyenyak. Warga pun sangat mencintai pemimpinnya, sekat inilah yang yang jarang tersentuh, ruang-ruang kemanusiaan.

Lihatlah bagaimana Umar mengunjungi salah seorang Pemimpin  di Syam, Abu Ubaidah Al Jarrah, yang membuat Umar menangis. Rumahnya kosong melompong, hanya ada tempat minum dan piring kusut.  Bagaimana ketika Umar meminta Gubernur Umair Ibn Saad, Gubernur yang datang berjalan kaki karena tak ada kendaraan dinas, dan membuat Umar menangis karena kebijakannya mensejahterakan rakyatnya. Umair meminta berhenti, dan setelah turun, hartanya ternyata tak ada.. 

Bagaimana Umar mengutus seorang Gubernur di Madain, seorang Salman Al Farisi. Seorang yang menghabiskan gajinya untuk rakyat. Gubernur yng diminta menjadi ‘kuli’ di Pasar. Yang rumahnya ketika berdiri, kepalanya membentur langit-langitnya, dan ketika tidur kaki dan kepalanya membentur dinding anyaman bambu. Yang duduk di pinggiran sambil menganyam bambu, guna kebutuhannya. 30 dirham hasilnya, 10 dirham sedekah, 10 dirham kebutuhannya, 10 dirham sebagai modal kembali.

 Sisi-sisi manusia dalam sejarah yang membentuk sebuah mimpi besar. Orang-orang yang mengisi ruang-ruang kota, hingga kota itu menjadi hidup. Peradaban itu, kata Dr. Hamid Fahmy, laiknya pohon yang akarnya kuat menghujam (tauhid), ia tinggi dan berbuah bermanfaat bagi manusia (QS: Ibahim:14). Itulah peradaban yang dibangun Umar dan orang-orang yang bersamanya. Walau akhirnya, Umar pun syahid, tak semua orang suka dengan narasi besarnya ia siap mati dengan idealismenya.

 “Saya sudah ikhlas kalau itu terjadi pada saya. Semua hanya titipan, tinggal Tuhan kapan ambilnya. Itu rahasia Ilahi” kata Bu Risma, dan beliau  memang tak salah memilih idola. Kini, mungkin ikhtiar  rakyatnya, manusia dalam Ibu Kota itu dapat meminta pemimpinnya agar tetap melanjutkan kerja besarnya, niat tulus berusaha meneladani Pemimpin Sederhana berbaju tambal sulam itu. Ataupun doa yang terselip, sekuat keyakinan Bu Risma akan TuhanNya.

One thought on “Bu Risma

Leave a comment