Kesederhanaan Pemilik Bilik – Bilik yang Mulia

Di sampaikan oleh ustdz Ibnu Hasan At Thabari

Rumah Nabi kita yang mulia Muhammad shallallahu alaihi wa sallam jauh sama sekali dari kesan megah atau mewah, padahal beliau adalah kekasih Allah, manusia yang paling mulia disisiNya.

Jangan tanya bagaimana makananya, beliau makan seadanya, kamar atau lebih tepatnya bilik, pakaian dan alas tidurnya sangat sederhana kalau tidak ingin kita menyebutkan sangat menyedihkan. Bilik tempat tinggal istri-istri beliau berdiri dipinggiran masjid, semua berjumlah sembilan, empat diantaranya berfondasi batu bata dan selebihnya dari batu gunung, atap yang paling bawah terbuat dari pelepah kurma dan bisa dijangkau dengan tangan orang yang berdiri dibawahnya, bayangkan begitu rendahnya.

Hasan Al-Bashri ulamanya generasi tabi`in anak dari seorang budak milik ummul mu`minin ummu salamah radhiyallahu anha berkata :” tanganku dapat menyentuk atap bilik Nabi shallallahu alaihi wa sallam”

Setiap bilik terbuat dari rakitan kayu yang diikat, beralaskan tanah tanpa di ubin apalagi dipasangi marmer, alas tidurnya adalah tikar kasar yang sempit atau kecil. Dengarlah penuturan salah seorang istri beliau sayyidah Aisyah radhiyallau anha :” aku tidur didepan Rasulullah dengan dua kaki menjulur diarah kiblatnya, bila beliau mau sujud, beliau menyentuhku lalu ku tekuk kakiku, bila beliau berdiri aku lonjorkan lagi kakiku.

Saat itu rumah belum berlampu, pintu rumahpun tidak ada belnya hanya bisa diketuk dengan tangan.

Rasulullah tidak membangun bilik istri-istrinya kecuali setelah membangun masjid, awalnya dua bilik untuk sayyidah Saudah dan satu lagi untuk sayyidah Aisyah radhiyallahu anhuma.

Di bilik-bilik inilah istri-istri Nabi yang mulia bertempat tinggal, jauh dari berbagai bentuk aksesoris kemewahan, di bilik ini pula wahyu Allah turun kepada Nabi, di bilik-bilik ini juga beliau menghabiskan malam-malamnya dengan beribadah kepada Allah, inilah bilik-bilik yang sangat-sangat sederhana tapi mulia disisi Allah karenanya Allah menjadikan bilik-bilik ini menjadi nama salah satu surah didalam kitab suciNya yang abadi yaitu surah al-hujuraat.

Bila merasa lelah, Nabi yang sederhana ini merebahkan diri diatas tikar yang terbuat dari daun kurma, tikar kasar yang menorehkan bekas di lambungnya yang mulia, begitu teriris perasaan para sahabat yang masuk ke bilik beliau dan melihat bekas torehan tikar kerasa ditubuh manusi paling agung ini.

Suatu kali sahabat yang mulia Abdullah ibn Mas`ud radhiyallahu anhu masuk ke bilik Nabi, melihat kondisi beliau, bersedih Ibnu Mas`ud seraya berkata :” Ya Rasulallah, bagaimana jika aku buatkan sesuatu untuk alas tidurmu agar tubuhmu terlindur dari goresan tikar kasar itu?”

Putra Abdullah yang mulia ini menjawab :” dunia tak ada apa-apanya bagiku, aku dan dunia laksana seorang musafir yang berteduh dibawah pohon yang sebentar lagi akan berlalu dari pohon tersebut”.

Pernah sahabat yang mulia Umar ibnul khattab radhiyallahu anhu membandingkan kehidupan yang sangat bersahaja Rasulullah dikediamannya yang sempit dengan kehidupan hewan peliharaan tetangganya yang termasuk aparat negara di zamannya. Umar sedih melihat kandang hewan hewan itu dibangun begitu megah.

Suatu hari seorang wanita anshariyah berkunjung ke bilik Aisyah, begitu pandangannya jatuh ke alas tidur Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang keras, ia merasa iba, segera pulang dan mengirimkan alas tidur wol tapi setelah terlihat oleh Nabi, beliau menganggapnya sangat mewah dan menyuruh Aisyah untuk mengembalikannya kepada pemilinya sembari bersabda :” kembalikan itu, Demi Allah jika aku mau Allah pasti memberiku bergunung emas dan perak”.

Secara lahiriyah kehidupan dibalik bilik-bilik itu terlihat begitu keras kalau tidak ingin disebut kefakiran, ini wajar karena Rasul dan Nabi yang mulia ini tidak menyukai kekayaan, doa yang sering beliau panjatkan kepada Rabbnya adalah ucapan :” Ya Allah jadikanlah rizki keluarga Muhammad sekadar mencukupi kebutuhan”.

Suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam menatap gunung uhud, lalu beliau bersabda :” andai gunung uhud ini menjadi emas untuk untuk keluarga Muhammad, pasti akan aku infakkan di jalan Allah sampai tersisa dua dinar untuk jaga-jaga kalau aku punya hutang”.

Sebagai pemimpin ummat Nabi kita yang mulia ini tidak pernah merasa tenang selama diri beliau menyaksikan kaum muslimin hidup susah, tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan harus mati-matian bertahan hidup karena itu jika beliau memperoleh kelebihan rizki banyak atau sedikit, beliau segera membagikannya, sementara beliau sendiri kelaparan.

Apa yang dimakan oleh penghuni bilik ini adalah makanan kasar, boleh dikatakan tak pernah mencicipi makanan enak karena memang tidak ada. Dengar kesaksian Aisyah :” demi Zat yang mengutus Muhammad dengan haq, belum pernah Rasulullah melihat ayakan, mencicipi roti yang di ayak sejak beliau diutus sampai meninggal dunia”

Sahabat yang mulia Nu`man ibn Basyir radhiyallahu anhu berkata :” demi Allah pernah aku saksikan Nabi kalian tak mendapatkan sebutir kurma yang paling jelek sekalipun untuk mengganjal perutnya yang lapar” [HR Muslim]

Bahkan sampai tiga kali hilal lewat diatas bilik mereka belum terlihat ada asap mengepul dari dapur mereka [bukhari muslim]

Diwaktu yang lain Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata dari atas mimbar :” setiap sore, tidak ada satu sha` makanan dalam keluarga Muhammad untuk kesembilan biliknya”

Tentu Nabi berkata demikian bukan bermaksud mengecilkan pemberian Allah tapi agar umatnya meneladani beliau dalam kesederhanaan dan bersifat qanaah

Sahabat yang mulia Abdullah ibn Abbas radhiyallahu anhuma berkata :” selama beberapa malam berturut-turut Rasulullah tudur dalam kondisi kelaparan, begitupun dengan keluarga beliau, mereka tidak memiliki makan malam, roti yang paling sering mereka makan adalah roti kasar”.

Pernah satu saat putri beliau sayyidah Fathimah radhiyallahu anha datang membawa sekerat roti.

Nabi bertanya :” apa ini hai anakku?”

“ini sekerat roti yang ku buat sendiri ayah, tak puas rasanya jika aku tidak berbagi dengan ayah”. Jawab anak beliau yang disebut dengan ummu abiiha ini.

“oh ya? Bawalah kemari wahai anakku, ketahuilah inilah makanan pertama yang masuk ke perut ayahmu sejak tiga hari ini”

[menetes air mata, Allahumma Shalli wa Sallim wa Baarik alaihi wa `alaa aalihi wa Shahaabatih]

Tak pernah keluarga beliau meminim susu kecuali bila diberi oleh tetangganya, biasanya keluarga yang mulia ini mencukupkan diri mereka dengan mamakan kurma karena tidak ada makanan selain itu, itupun mereka perleh dengan susah bahkan jika kurma didapat mereka meniru Nabi, memberikan kepada orang lain yang kelaparan.

Pernah seorang wanita miskin berkunjung ke bilik Aisyah bersama anaknya yang masih kecil, tidak ada apapun yang dapat diberikan oleh bunda Aisyah selain sebutir kurma, begitu kurma diberikan, wanita itu lalu membelahnya menjadi dua bagian, sebelah untuk anaknya sebelah lagi untuk dirinya.. subhanallah

Ketika lapar, Nabi bertanya kepada istrinya, apa yang mereka punya. Pernah beliau meminta kuwah, tapi istri beliau menjawab : ga ada, yang ada Cuma cuka”. Beliau memintanya dan dan mencelupka irisan roti kasar kedalamnya seraya berkata :” kuwah ternikmat adalah cuka, kuwah ternikat adalah cuka”. [muslim]

Allah menawarkan kepada Nabi kekayaan atau kecukupan, beliau memilih lapar disertai kenyang, seraya berkata : “ saat aku lapar aku meminta kepadaMu jika aku kenyang aku bersyukur kepadaMu”

Suatu hari pernah Rasulullah didera lapar yang sangat, beliau terpaksa keluar rumah untuk mencari makanan, di jalan beliau berjumpa dengan dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar yang juga kelaparan, padahal inilah tiga manusia terbaik di muka bumi. Bertiga mereka datang ke rumah salah seorang sahabat anshar, mereka pun disambut dengan menyembelih seekor kambing. Usai menyantap hidangan Rasulullah bersabda :” sungguh kita akan ditanya atas nikmat ini kelak di hari kiamat”

Sahabat yang mulia Anas ibn Malik yang pernah menjadi pelayan Rasulullah selama 10 tahun berkata :” tak penah sekalipun ku lihat Nabi makan diatas piring, tak ada roti empuk, tak ada daging sampai beliau menghadap Rabbnya, beliau juga tidak pernah makan diatas meja makan”. [bukhari]

Masih banyak riwayat yang melukiskan kepada kita kehidupan di balik bilik yang mulia ini, pola hidup seperti ini terus berlangsung hingga hari terakhir kehidupan beliau, padahal seluruh pintu-pintu dunia dibuka oleh Allah untuk beliau dan harta yang datang kepada beliau melimpah ruah, jangankan mengubah gaya hidup layaknya sebagai pemimpin atau penguasa, mengubah rumahpun yang bilik itu tidak beliau lakukan. Setelah fathu makkah, Rasulullah tetap dengan gaya hidup apa adanya, Ummu Hani, putri Abu Thalib ketika mengunjungi Nabi menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beliau mandi sementara putri beliau Fathimah menabiri beliau dengan selembar kain, padahal saat itu beliau berada di puncak karisma dan kekuasaan sempurna.

Rasulullah teladan kita, Rasulullah junjungan kita
Rasulullah uswah manusia, paling bahagia hidupnya

Allahumma shalli wa sallim wa baarik alaihi wa alaa aalihi wa shahbihi ajma`in

Keluarga Penuh Berkah

Oleh: Ibnu Hasan At thabari

Suatu hari sahabat Ali ibn Abi Thalib, menantu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada istrinya Fathimah putri Rasulullah : “adakah makanan yang bisa aku santap wahai Fathimah?”

” tidak ada, Demi Dzat yang memuliakan ayahku dengan keNabi-an, aku berpagi hari dalam kondisi tidak memiliki makanan antukmu, kami juga belum makan, sudah dua hari ini tidak ada makanan yang aku bisa berikan padamu, juga kepada perutku dan kedua anak kita ini”. Sahut Fathimah

“wahai istriku, tidakkah engkau menyuruhku untuk mencari makanan?”. Tanya Ali

“aku malu kepada Allah untuk meminta sesuatu yang engkau tidak bisa melakukannya,” jawab Fathimah.

Sejenak kemudian, Ali keluar dari rumahnya, dengan penuh keyakinan kepada Allah dan husnuzhon kepada-Nya, meminjam sekedar satu dinar uang.

Ketika dinar telah ada di tangan, dan ia bermaksud untuk membeli sesuatu yang dapat meringankan beban keluarganya, tiba-tiba terlihat Miqdad, ia berjalan atas pasir yang membara dibawah terik matahari yang membakar, tatkala Ali melihatnya, ia menghindar.

“hai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu saat ini?” tanya Ali

“hai Abul Hasan, jangan ganggu aku, jangan bertanya apapun padaku”.

“wahai keponakanku, tidak boleh engkau menyembunyikan keadaanmu padaku”. Kata Ali

Miqdad berkata :” jika engkau memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan keNabian, tidak ada yang menggelisahkanku selain beban yang berat, aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan, ketika aku mendengar tangis mereka bumipun tak kuat memikulku, aku pun pergi dengan kehilangan mukaku, inilah kondisiku”.

Saat itu juga kedua mata Ali ibn Abi Thalib mengucurkan air mata, ia menangis hingga air mata membasahi jenggotnya, ia berkata :” Demi Dzat yang engkau bersumpah denganNya, tidaklah menggelisahkanku selain sesuatu yang menggelisahkanmu, aku telah meminjam uang satu dinar, ambillah ini, aku dahulukan engkau atas diriku”

Dinar kini telah berpindah tangan, lalu Ali-pun pulang, ia datang ke masjid Rasulullah untuk shalat zuhur, ashar lalu maghrib. Ketika usai shalat maghrib, beliau menghampiri Ali di shaf pertama, Rasulullah memberi isyarat Ali-pun mengikuti langkah beliau, ketika sampai di pintu masjid, Rasulullah bertanya :” hai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk kita makan malam?”.

Ali tersentak kaget, ia tidak bisa memberi jawaban karena malu kepada Rasulullah. Sejurus kemudian Rasullah berkata :” jika kamu berkata tidak, aku akan pergi tapi jika iya aku akan datang bersamamu”.

” Ya, Rasulallah, silakan datang ke rumahku, mari..” kata Ali

Maka Rasulullah yang mulia itu menggandeng tangan menantunya Ali ibn Abi Thalib hingga masuk menemui Fathimah di mushalla-nya, sedang dibelakangnya terlihat sebuah mangkok besar yang berasap. Ketika Fathimah mendengar suara ayahnya Rasulullah, iapun keluar menyongsongnya seraya memberi salam. Fathimah adalah orang yang paling sayang kepada Rasulullah, beliau menjawab salam putrinya lalu mengusap kepalanya dengan tangan beliau yang mulia.

“bagaimana malam ini?, siapkah kita makan malam, semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya”. Sabda Rasulullah

Maka Fathimah mengambil mangkok besar itu lalu diletakkan dihadapan ayahnya yang mulia. Ketika Ali melihatnya dan mencium aroma masakan yang lezat, ia melemparkan pandangannya kepada Fathimah dengan pandangan keheranan.

“alangkan tajamnya pandanganmu, Subhanallah.. apakah aku berbuat kesalahan padamu hingga membuatmu demikan marah?” tanya Fathimah tak kalah heran

“apakah ada dosa yang lebih besar yang kau perbuat selain dosamu hari ini? Bukankan aku menjumpaimu tadi pagi dan engkau bersumpah demi Allah bahwa engkau tidak punya makanan dan belum menyantapnya selama dua hari?”. Sahut Ali

Fathimah menengadahkan wajahnya ke arah langit sambil berkata :” Tuhan-ku Maha Tahu apa yang ada di langitNya dan apa yang ada di bumiNya, aku tidak berkata kecuali hal yang benar”.

“Lalu dari mana makanan ini, makanan yang belum pernah aku melihatnya, tidak pernah mencium aromanya dan tak pernah memakannya sebelum ini”. Tanya Ali

Ketika itu Rasulullah meletakkan tangan beliau yang penuh berkah itu di pundak Ali sembari menguncang-guncangkannya seraya berkata :” Ya Ali, inilah pahala dinar-mu, inilah balasan dinar-mu, ini dari sisi Allah yang memberi rizki kepada siapa yang Ia kehendaki”.

Sambil menangis Rasulullah yang mulia berkata :” segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkan kalian berdua dari dunia, hai Ali engkau laksana Zakariya as dan engkau Fathimah laksana Maryam. Rasulullah membacakan ayat alqur`an :

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ [آل عمران/37]

Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Kebenaran

“Semua adalah relative” (all is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaries asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa Tuhan, dan sabda tanpa nabi. Ia menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya ia doktrin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bias berkompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran daripada persahabatan.

Tidak puas dengan sekedar membenci, posmodernis lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan pseudo-teologi. Agama diadu dengan ideology. Doktrin “teologi” pluralisme agama berada di atas agama-agama. “Global Theology” dan “Transendent Unity of Religion” mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global diciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One. Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.

Bukan hanya itu. “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar,” sebab kebenaran itu relative. “Jangan terlalu lantang berbicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan,” karena kebenaran adalah relatif. “Benar bagi Anda belum tentu benar bagi kami,” semua adalah relatif. Kalau Anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan Anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kalimat bijak Abraham Lincoln “No one has the right to choose to do what is wrong” tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith nabi Idhaa ra’aa min kum munkaran… dan seterusnya bukan hanya dikategorikan salah oleh kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal. Jadi merasa benar menjadi semacam “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram.”

Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati.” Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men-“dakwah”- kan ayat-ayat syetan Nietzsche, tokoh posmodernisme dan nihilisme. “Kalau Anda mengklaim sesuatu itu benar, orang lain juga berhak mengklaim itu salah.” Kalau Anda merasa agama Anda benar, orang lain berhak mengatakan agama Anda salah.

Para cendekiawan muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan masih terlalu luas kalau hanya untuk umat Islam,” kata mereka, seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.

Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Di Sana tidak ada kebenaran mutlak (There exists no Absolute Truth).” Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau Anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan Anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “di Sana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “di Sana tidak ada kebenaran mutlak.” Tapi ini self-contradictory yang absurd.

Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% penganut Kristen missionaries dan 27% penganut atheis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga negara dewasanya percaya pada kebenaran mutlak (seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin posmo pun berubah: “Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan Anda pada orang lain.” Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Nah, tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.

Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “yang absolut hanyalah Tuhan.” Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif (mumkin al-wujud). Namun ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi. Al-Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa manusia (Arab), Hadith yang disabdakan Nabi, ijtihad ulama dan sebagainya adalah relatif belaka. Tidak absolute. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman al-Haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada di sini, di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Jadi, yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak.

Thomas F Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem, menyatakan, percaya pada Tuhan yang mutlak, berarti percaya bahwa nilai-nilai moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan (hal 60). Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan manusia, …..tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firman-Nya yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah para hukama’, “al-Naas a’daa’ maa jahiluu,”manusia itu benci terhadap apa yang tak diketahuinya.

[seri Pemikiran Islam : Dr. Hamid Fahmy Zakarsy (Direktur INSIST)]

Hikmah

Sila keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hikmat ini tentu bukan personal, bukan Presiden atau ketua DPR atau MPR. Hikmat adalah suatu kondisi kejiwaan dan dalam sila ini dikatikan dengan sikap dalam bermusyawarah dan menentukan kebijakan. Artinya sistim permusyawaratan dan perwakilan dalam bernegara di Indonesai ini mestinya dipimpin oleh moralitas yang tinggi.

Dalam bahasa umum hikmah difahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana. Dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk berdakwah dengan bijaksana (bi al-hikmah). Maka orang yang memutuskan perkara demi menegakkan keadilan disebut hakim. Hikmah juga berkaitan dengan berfikir yang logis dan mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menterjemahkan “hikmah” dengan filsafat dan hakim dengan filosof. Lalu apa sebenarnya makna “hikmah”itu?

Istilah itu asli dari al-Qur’an dan disebut sebanyak 20 kali. Namun para ulama mengembangkannya menjadi berbagai makna. Ada hikmah ilahiyah, hikmah khuluqiyah, hikmah tabi’iyyah, hikmah amaliyyah dsb. Namun dalam konteks kehidupan individu dalam berbangsa pendapat para filosof dan sufi menarik dicermati.

Menurut al-Ghazzali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia selain keberanian, kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu bukan sekedar berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap berani menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak zalim.

Agar memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan diperlukan ilmu. Sebab berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat. Orang berilmu yang tidak jujur, ilmunya tidak manfaat. Demikian pula kekuatan dan manfaat ilmu dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara kejujuran dan kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk. Jadi hikmah menurut al-Ghazzali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya III, hal.54). Ibn Arabi dalam Futuhat juga berpendapat sama.

Lisan al-Din al-Khatib, ulama abad ke 14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif memahami hikmah seperti keadilan, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Syaratnya, harus memahami letak-letak segala sesuatu. Tapi meletakkan sesuatu pada tempat bukanlah kerja mudah. Menurut Naqsyabandi, dalam kitab Jami al-Usul, hikmah itu adalah ilmu tentang segala sesuatu, sifat-sifatnya, kekhususannya, hukum-hukumnya, hubungan sebab-akibat dan mengamalkan sesuai yang dibutuhkan.

Ikhwanussafa menjelaskan orang yang memiliki hikmah atau “al-hakim” adalah yang perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan; kerjanya tekun, perkataannya benar, moralnya baik, pendapatnya betul, amalnya bersih dan ilmunya benar, yaitu ilmu tentang segala sesuatu.

al-Ghazzali menambahkan al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun) dalam soal keimanan, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak mulia.

Maka “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” menggambarkan nilai sebuah sistim yang dikusai oleh semangat hikmat. Artinya sistim kenegaraan kita Indonesia harus berada ditangan orang-orang yang “hakim”. Yaitu orang yang berilmu hikmah, yang pasti tahu kebenaran yang berkata benar; yang tahu dan berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar; yang tahu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya; tidak akan pernah meletakkan kepentingan dirinya diatas kepentingan rakyat atau umat; tidak meletakkan perbuatan dosa atau maksiat dalam dirinya yang fitri dan seterusnya.

Walhasil, jika sistim permusyawaratan dinegeri ini dikontrol oleh akal pikiran dan jiwa yang demikian itu maka tidak akan ada kebijakan yang salah dinegeri ini. Tidak akan ada korupsi di pemerintahan dan tidak akan ada kebohongan publik. Negeri ini pasti akan menjadi makmur dan sejahatera karena semua berjalan diatas jiwa-jiwa yang penuh hikmah alias hakim. Sebab al-Qur’an sendiri menjamin “Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….” (a-Qur’an 2:269)

[Oleh Direktur INSIST- Dr. Hamid Fahmy Zakarsyi , Jurnal ISLAMIA, Republika]

Melahirkan Pemimpin

Oleh: Asep Sobari, Lc (pemateri diskusi sabtuan INSIST, Jakarta)

Setelah tiga tahun memusatkan dakwah kepada orang-orang terdekat dan terbatas, Rasulullah saw. membuat terobosan besar. Dakwah harus menjangkau masyarakat yang lebih luas dan gemanya harus lepas menembus batas-batas primordial. Inilah permulaan fase dakwah yang sering disebut dalam literatur-literatur sejarah sebagai dakwah terbuka. Fase ini ditandai dengan seruan Allah swt., “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat terdekatmu”. (QS. asy-Syu`ara’: 214).

Selain memuat perintah agung ini, surah asy-Syu`ara’ sebelumnya juga mengajarkan kepada Rasulullah saw. dan generasi muslim yang dibangunnya, hikmah-hikmah besar dari perjalanan panjang para Nabi dalam menyampaikan dakwah mereka. Dan, kisah Musa as. bersama Bani Isra’il adalah salah satunya.

Musa as. adalah salah seorang nabi terbesar yang diutus Allah swt. dengan misi yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan tiran terbesar sepanjang masa, Fir`aun. Misi ini semakin berat karena Musa as. juga harus menghadapi masyarakat yang telah kehilangan jati diri, inferior, pragamatis dan hanya tahu bagaimana cara mengiyakan retorika sang tuan besar dan menyenangkannya, seperti dijelaskan Al-Qur’an, “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya –dengan perkataan itu—lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. az-Zukhruf: 54).

Kekuasaan Fir`aun akhirnya berhasil diruntuhkan. Fir`aun sendiri tenggelam dan mati ditelan gulungan ombak raksasa bersama seluruh bala tentaranya. Keruntuhan ini tidak lepas dari rangkaian mukjizat yang ‘pertunjukannya’ lebih didominasi aksi individu Musa as. di depan khalayak, terutama Bani Isra’il. Akan tetapi, menghancurkan Fir`aun hanyalah sebuah mukadimah dari misi berikutnya yang jauh lebih penting, yaitu membangun kembali puing-puing peradaban risalah Ibrahim as. di Palestina.

Membangun masyarakat atau peradaban, adalah karya kolektif yang menuntut pengorbanan bersama dan tidak dapat mengandalkan kehebatan aksi individu. Jika hal ini diabaikan maka cita-cita bersama masyarakat tersebut akan gagal. Inilah yang berlaku pada Bani Isra’il. Mental inferior yang diwarisi dari lingkungan masyarakat Fir`aun dan cara pandang yang salah tentang hakikat mukjizat, membuat mereka enggan berjuang dan malah mengandalkan ‘kehebatan individu’ Musa as. untuk kembali menghadiahkan kemenangan. “Hai Musa, kami tidak akan pernah memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di sana, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” (QS. al-Ma’idah: 24).

Ada pesan yang sangat mahal dalam kisah ini. Sehebat apapun seorang pemimpin, mustahil dapat mencapai kejayaan bersama masyarakat yang sakit atau tidak siap. Kejayaan baru akan diraih jika masyarakat, seperti diungkapkan Malik Bennabi dalam Milad Mujtama` (Kelahiran sebuah Masyarakat), telah mampu melebur orientasi-oreintasi materialistik dalam bingkai idealisme luhur, sehingga terbentuklah lingkungan sosial yang kondusif untuk mengatasi setiap permasalahannya.

Untuk itulah, Allah swt. mengisolasi Bani Isra’il selama 40 tahun. Isolasi yang disebut Al-Qur’an sebagai at-Tiih ini bukan semata-mata hukuman bagi Bani Isra’il yang menolak berjuang, melainkan rentang masa yang dibutuhkan Musa as. untuk melahirkan masyarakat atau generasi baru di lingkungan gurun yang serba sederhana dan terbatas, tapi terbebas dari belenggu tradisi dan karakter fir`aunistik yang jelas-jelas telah membuat generasi tua mereka gagal.

Musa as. sendiri wafat di masa at-Tiih ini dan tidak sempat melihat hasil karyanya. Tapi generasi baru yang dipersiapkannya telah lahir. Dan, merekalah yang kemudian berhasil masuk ke Palestina dengan kemenangan yang gemilang dibawah pimpinan Yusya` bin Nun. Demikian dinyatakan Ibnu Katsir dalam at-Tafsir berdasarkan keterangan Ibnu Abbas ra.

Di sini, Al-Qur’an seakan hendak mengatakan kepada kita, bahwa yang kita butuhkan adalah sebuah masyarakat yang siap, bukan seorang pemimpin yang hebat. Artinya, jika ingin umat ini bangkit, maka kita harus lebih mencurahkan segenap potensi untuk menyiapkan masyarakat, karena masyarakat yang siap sudah pasti akan melahirkan pemimpin yang hebat dan sukses.

Itulah sunnatullah yang tidak pernah berubah sepanjang masa, “Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (QS. al-Ahzab: 62). Sunnatullah inilah yang saat ini sangat mendesak untuk kita pahami dan kuasai bersama, bahwa pemimpin hebat itu “dilahirkan” dari sebuah proses panjang yang menuntut konsistensi dan kesabaran, bukan “dicari” dalam siklus lima tahunan![]

Sumber: Kolom Ibroh, Majalah Islam Sabili No. 22 TH.XVI Mei 2009

Pemimpin

Ditulis Oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil

Suatu ketika Zia ul Haq (alm.) Presiden Pakistan tahun 1977-1989, me ngumpulkan para wartawan untuk berdialog dan makan siang. Disela dialog itu Zia ul Haq bertanya kepada Nizami, pimpinan redaksi koran the Nation. “Nizami menurut anda siapa yang mendirikan dan membangun negara” , tanya Zia. Nizami agak lama berfikir memahami logika Zia, dan lalu men jawab “Politisi”. Zia tersenyum mendengar jawaban itu lalu berka ta, ”Ternyata wartawan sekelas anda masih berfikir sependek itu”. Orang mengira dia akan membanggakan dirinya. Tapi akhirnya ia membuka persepsinya, ”Sebenarnya, yang mendirikan dan membangun negara itu adalah para intelektual”. Demikian seterusnya dan Zia pun terus berwacana di seputar isu itu.

Zia ul Haq berfikir induktif. Di negerinya inspirator kemerdekaan bukan politisi. Pakistan merdeka dari India berkat terutama inspirasi Mohammad Iqbal. Selain itu terdapat nama-nama seperti Abul Ala al-Maududi, Amir Ali, Sir Syed Ahmad Khan dsb. Semua itu adalah intelektual. India merdeka dari jajahan Inggris karena kekuatan inspiratif Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Jawaherul Nehru dan lain-lain. Nampaknya, dari kasus dikedua negeri itulah kesimpulan Zia tercetus.

Tapi kesimpulan Zia boleh jadi universal. Kita pasti setuju bahwa Indonesia dibangun diantaranya oleh HOS Cokroaminoto adalah guru inspiratif Soekarno dan pemimpin gerakan kebangsaan berdasarkan Islam. Dr.Wahidin Sudiro Husodo, Pencetus Gerakan Budi Utomo berwatak Jawa. Agus Salim digelari Soekarno ulamaintelek, aktor intelektual dari gerakan kemerdekaan Indonesia. KH. Ahmad Dahlan, KH.Hasyim Asy’ari, Ki Hajar Dewantoro, M. Natsir serta sejumlah Ulama dan intelektual lainnya. Mereka itu adalah intelektual yang politisi dan politisi yang intelek. Soekarno dan Hatta sendiri sebenarnya adalah intelektual. Mereka itulah the founding fathers negeri ini. Jika ini disepakati, maka Zia ul Haq adalah benar. Negeri kita juga tidak didirikan oleh para politisi, tapi para intelektual yang bervisi politik.

Gordon S Wood dalam buku The Pu blic Intellectual menganggap the founding fathers sebagai men of ideas and thought, leading intellelctual sekaligus political leaders. Tapi sejatinya mereka itu secara revolusioner bukan politisi an sich atau intelektual murni seperti dalam pengertian modern yang parsial. Mereka itu adalah intelektual yang tidak teralienasi dan pemimpin politik yang tidak terobsesi oleh pemilu. Mereka hidup dalam dunia ide dan realitas dunia politik tapi tidak utopis dan juga tidak pragmatis.

Bagi Leonard Peikoff, dalam The Ominous Parallels, The Founding Fa thers tidak hanya memiliki ide-ide revolusioner, tapi juga mampu menerjemah kannya ke dalam realitas sosio-politik. Ayn Rand dalam bukunya For the New Intellectual menjuluki mereka sebagai thinkers who were also men of action. Me nurut John Lock merekalah yang men dirikan negara sebagai institusi yang khas. Inilah yang dimaksud Zia ul Haq.

Begitu idealkah mereka? Benar, karena al-fadhlu lil mubtadi walau ahsana al-muqtadi. Pujian diberikan kepada pembuka jalan, meski sang penerus bisa lebih baik. Buktinya generasi sekarang melihat mereka bagaikan mitos, tapi historis. Mereka memuji tapi tidak bisa mengikuti. Petuah mereka digugu tapi in tegritas mereka tidak dapat ditiru. Gor don juga mengkiritik, kita terlalu ba nyak memuji tapi tidak banyak memahami. Memahami mengapa generasi za man revolusi bisa begitu, sedang generasi sekarang tidak. Mengapa idealisme dan politik tidak bisa bersatu. Mengapa politik hanya dianggap amal yang lepas dari ilmu, retorika yang tanpa logika. Mengapa politik berarti membangun kekuasaan, bukan peradaban. Padahal kekuasaan hanyalah tahta yang tak berarti tanpa ilmu, moralitas dan tujuan.

Samuel Eliot Morrison and Harold Laski, keduanya sejarawan Amerika, percaya bahwa dalam sejarah modern, tidak ada periode yang kaya dengan ideide politik yang memberi banyak kontribusi kepada teori politik Barat. Ini menurut Gordon S Wood disebabkan oleh kualitas intelektual dalam kehidupan politik masa kini yang turun drastis. Ide telah dipisahkan dari kekuasaan. Dan itu semua adalah harga yang harus dibayar oleh sistem demokrasi, tulisnya.

Kalau Gordon beragama, mungkin ia akan berkata itulah harga yang harus dibayar oleh sekularisme. Agama “tidak mesti bisa” menjadi bekal berpolitik. Prinsip “Jangan bawa agama ke ranah politik” seperti sudah menjadi konvensi. “Berpolitik tidak bisa hitam putih” berarti berpolitik tidak harus ilmiah. Benar salah dalam dunia akademik tidak menjadi ukuran. Rumusannya bisa begini, ”Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah”. Inilah sebabnya mengapa seorang profesor dan ulama tidak “mudah” mengikuti logika politik.

Singkatnya, tidak berarti penerus tidak bisa berfikir revolusioner. Dalam sejarah Islam para khalifah umumnya memiliki ghirah ilmiyyah. Umar ibn Abdul Aziz adalah khalifah penerus yang sangat revolusioner. Adh-Dhahabi menyebutnya ulama yang amilin, artinya juga alim yang amir. Ia mampu mengembangkan ekonomi dan ilmu pengetahuan sekaligus. Ia membangun politik dan juga peradaban. Rakyatnya tidak layak menerima zakat karena sejahtera lahir dan batin. Intelektualitasnya adalah dasar dari keadilannya. Ilmunya menjadi bekal amalnya. Itulah umara-ulama yang dapat menjadi cahaya (misykat) bagi umat manusia. Wallahu a’lam.