Aku, Salman, dan Pak Achmad Noe’man

pa noeman dan aku

“Drrr…drrr…drrr…”

Handphone jadul yang saya kelola sesekali bergetar. Sepenggal pesan dari nomor singkat yang tak asing masuk, dari Ir. Achmad Noe’man.

Pesan-pesan yang sangat membangun dari seorang pembaca, sekaligus saat itu Dewan Pembina Yayasan Sinergi Foundation  (SF), penerbit Tabloid Alhikmah, tempat saya menjadi belajar jadi jurnalis beberapa tahun lalu .

Pesan sederhana seperti,’ besar huruf perhatikan’ hingga usulan tema yang kerap kali masuk ke hotline. Perhatiannya kepada dakwah begitu besar, sampai-sampai saya sendiri diundang untung berbincang beberapa kali, salah satunya membincang tentang kaligrafi.

Di senjakala usia, bicaranya masih sangat jelas. Dengan wajah cerah dan penuh semangat, sesekali berbahasa Sunda, beliau menyampaikan keinginannya kepada kami, yang denganku usianya bertaut lebih dari 60 tahun.

Achmad Noeman
Ir. Achmad Noe’man sedang menunjukkan contoh kaligrafi yang beliau buat (foto: rizkilesus)

Bavi ingin ada rubrik Kaligrafi, tebak surat kaligrafi yang Bavi bikin,” kata Ir. Achmad Noe’man sambil membopong tumpukan buku yang bersampul depan kaligrafi yang beliau buat.

Bavi merupakan panggilan karib beliau.

“Kalau anak-anak dan yang sudah akrab dengan beliau biasa panggilnya itu bavi bukan bapak, dan ibu kita panggil endot. Sedekat itulah kami bergaul dengan mereka, akrab tidak hanya sebagai orang tua tapi juga layaknya seorang sahabat,” kenang putera ke-2 Ir. H. Achmad Noe’man, kang Nazar Noe’man di Bandung.

Ceritanya, anak bertama Ir. Achmad Noe’man, (alm) Irfan Noe’man yang justru tidak bisa mengeja huruf ‘P’. Irfan pun memanggil ayahnya dengan panggiln fafi (papi). “Karena biar keren, maka dijadikan bavi saja sekalian,”tambahnya. Maka, panggilan bavi menjadi panggilan akrab Ir. Achmad Noe’man.

Dan saat itu, Bavi dengan wajah cerah mengeluarkan rancangan kaligrafi-kaligrafi yang bergenre Kufi untuk diusulkan menjadi rubrik kaligrafi.

“Saya ingin pembaca Alhikmah menebak kaligrafi ini dan dapat hadiah,” kata sang maestro.

Continue reading “Aku, Salman, dan Pak Achmad Noe’man”

Sibuk

Beberapa hari ini saya berkesempatan nugas ngeliput di Ibu Kota RI, setelah sebelumnya kunjungan ke enam kota besar di macem-macem provinsi. Saat itu, saya sedang menaiki commuter line, ke arah Bogor. Saya membandingkan kota-kota yang saya kunjungi sebelumnya. Ternyata nggak berbeda jauh!. Kota-kota itu semakin ‘mendekati’ Jakarta.

Sorry ini jam sibuk bung!”teriak seseorang di tepi pintu kereta, sambil menahan orang luar yang mau masuk. Kereta terlalu penuh. Memang, suasana di dalam commuter sangat padat sampai-sampai orang di luar saja nggak bisa masuk. Saya membayangkan bagaimana kalau dengan kereta ekonomi kalau di sini saja seperti ini? “Mengerikan!”

Ungkapan “Ini jam sibuk” membuat banyak orang bertanya-tanya apakah itu sibuk? Apa yang membuat ribuan orang berkumpul pada tempat sama jam yang sama? Jim Dwiyyer menggambarkan keadaan Newyork dalam, bukunya ‘Subway Loves 24 hours in the Life of The Newyork City Subyway’. Saya pikir, ungkapan orang yang berterak tadi masuk akal. Jakarta semakin mendekati Newyork!

Itulah sibuk!. Semua melaju. Russel Leigh dan Cheryl Harris menguatkan pendapat Dwiyyer dengan bukunya ‘NIGHT SHIFT NYC’. Mereka bilang seperti curhatan teman saya. Katanya “Saya sering kejebak macet di Jakarta tiap pagi, sama pulang ngantor malam, kadang-kadang macet total”

Belum lagi senin kemarin (5/6) saat saya ke Ciputat jam enam pagi saja sudah macet. Jam sibuk semakin maju. Setiap saat menjadi waktu yang sibuk!. “Busy” istilah YM (Yahoo Messenger)-nya. “Nggak mau di ganggu pokoknya!”. Ia menjadi cenderung individualis kata Bauman. Padahal Morgan Freeman dalam Filmnya bilang ‘Get busy living, get busy dying”. Bisa jadi ia benar.

Di Indonesa, ‘Busy’ menjadi kawannya Bising. Latin-nya festinare, maksudnya ‘actively or fully engaged, occipided. Crowded with characterized by activity.’ Singkatnya penuh agenda, full kegiatan!. Makanya “ business” ngambil akarnya dari busy. Kereta bisnis yang saya naiki ini, keretanya orang-orang ’sibuk.’
Banyak sekali yang dikerjakan. Dari bangun pagi, hingga pulang dan tidur semua ia kerjakan. Lama-lama busy sudah menjadi gaya hidup (lifestyles). Semua orang mencari kesibukan-nya masing-masing. Lagi-lagi Peter Berger bilang ini gara-gara zaman. Katanya zaman telah berubah. Apakah pernah membayangkan orang-orang zaman dulu ‘sibuk’ seperti sekarang?.

Sibuk sudah menjadi ‘makanan keseharian’. Istilahnya David Chaney ”Life styles”. Orang yang nggak ‘sibuk’, nggak modern. Nggak baik!. Kabarnya, Cina sudah ketularan virus ‘sibuk’. Belum lagi Jepang, dan negara-negara lain. Semua mencari kesibukan. Malah, ekstremnya kata para ahli sosiologi, orang-yang hidup di kota-kota itu, Busy-ness City, mendapat tingkat “stress” tertinggi!

“Grrrr” geram orang sebelah saya itu sambil melirik berkali-kali ke pergelangan tangan kirinya, ia terlihat frustasi. Saat itu bus melaju pagi buta sekali di jalan tol. Jalan tol macet!. Semua orang sibuk!. Lucu memang, jalan tol yang katanya bebas hambatan, malah benar-benar bebas menghambat!. “Stress” sudah menjadi budaya Kota Besar. Ia terus melaju 24 jam.
Belum lama beberapa konsultan “Happiness”, mengadakan survey kecil-kecilan. Semua sepakat , termasuk para trainer, motivator, dll bahwa kebahagiaan dan ketenangan (lawannya stress) datangnya dari dalam diri. “Uang dan ke’sibuk’kan nggak bisa membuat saya bertahan, mendingan saya kerja di Bandung lagi,” kata teman saya yang sempat beberapa bulan hidup di Kota ‘Busy-ness.’ Akhirnya ia keluar dari kantornya di Ibu Kota.

Tetap, Ia harus belajar ’berhenti’ dari siklus ke’sibuk’an itu. Ia harus menyediakan waktu untuk diri sendiri. “Ah sibuk” gak sempet!”. Pikirnya, semakin sibuk semakin sukses. Semakin berbunga-bunga, semakin ‘mulia’. Sampai-sampai ia berteriak “We are too busy to be happy.”

Ia terus mencari kesenangan, kebahagiaan. Tiap akhir pekan, uang hasil ‘sibuk’nya digunakan untuk kongkow-kongkow di Café, Warung, Plaza, atau sekadar hangout di pusat-pusat kota. Menikmati hidup hanya di akhir pekan. Karena kalau hari –hari biasa ‘sibuk’ katanya.

Steve Bayley (1991) dalam ‘Taste: The Secret Meaning of Things’, mengemukakan “Cita rasa adalah sebuah agama baru dengan upacara-upacara yang di rayakan di pusat-pusat perbelanjaan dan meuseum, dua lembaga yang asal-usulnya terletak persis periode yang menyaksiskan ledakan konsumsi popular.” Periode apakah itu?

Inilah yang kata William Weber ‘Masyarakt modern’. Sibuk semua. Berdiri di dalam commuter line melaju bersama waktu pagi dan petang. Mengklakson, menginjak kopling, rem, mengklakson, sambil menggerutui ‘macet’. Featherstobe, nggak terlalu kaget, katanya “Ini karena perkembangan kapitalistik.”

A lyric Poet in The Era of High Capitalism” tambah Benjamin—Pusat keramaian (Crowd) merupakan tontonan wajar, jika seseorang boleh menerapkan istilah terhadap kondisi sosial. Sebuah jalan, suatu kebarakaran besar, kecelakaan lalulintas, pertunjukan mengumpulkan orang. Mereka hadir dengan sendirinya sebagai kesamaan konkret, yakni dalam kepentingan-kepentingan pribadi (p.2)

Uang gajian di habiskan di pusat-pusat keramaian. Hasil sibuk seminggu harus di rapel dalam akhir pekan! Berking and Neckel tahun 1993 sampai –sampai membuat buku “Urban marathon’The staging of individualityas an urbant event.” Kehidupan yang serba sibuk menjadi hidup ini seperti marathon, selalu dikejar aktivitas, sampai-sampai waktu-waktu tertentu saja menikmati kebahagiaan.

Tiba-tiba orang-orang di gunung itu berkata “Kami tidak perlu menunggu akhir pekan!”. Setiap hari kami bisa menikmati udara segar, tanpa bunyi klakson. Orang-orang kota-pun nggak mau kalah berujar, kamipun setiap hari merasakan kenikmatan di sini, setelah sejenak kami ‘berhenti’ dari kesibukannya. Berhenti dari kesibukan malah semakin baik katanya.

Nyatanya M Shumaker yang pembalap itu, harus berhenti sejenak di pit-stop untuk persiapan dan perbaikan ke depan.”Kalau melaju terus, mesin bisa rusak!” kata tim Ferrari. “Less is More: Spirituality for Busy Lives” tulis Brian Drapper. ‘Spirituality for busy people’ sedang berkembang di Amerika. Di Buku lain “The Practiceof Every day Life”, di kisahkan hidup itu nggak sekadar fisik bung! Ia butuh permainan, cerita, spritualitas!.

Orang-orang Barat mulai mencari makna spiritualitas. Lash and Urry melanjutkan bukunya “The End of Organized Capitalism”. Ternyata orang kota itu, awalnya ia penasaran. Sesekali ia memenuhi panggilan Tuhan untuk berhenti dari ‘kesibukan’. Setelah itu iseng ia buka kembali kitab sucinya , dengan wajah merah dan malu-malu ia menemukan ayat dan membaca dengan pelan kalimat “Setiap saat Dia (Allah) dalam kesibukan”.

Buru-buru ia sucikan diri, dengan bangga ia menghadap Dzat yang Super sibuk. Senang sekali rasanya orang itu ketemuan sama yang ‘sibuk beneran’. Yang selalu sempat di temui, selalu siap di ingat. Ia malu, ternyata selama ini ia sok sibuk. “Baru ‘sibuk’ saja sudah nggak mau ketemu sama yang Super sibuk!”. sadarnya

‘Sibuk’nya sudah berubah menjadi sibuk. Kata De Certau, Michman, Moers, sekarang ia sudah bisa me-manage ke’sibuk’anya dengan hal-hal yang baik. Berdiri di commuter line ia isi sambil mengingat Tuhan-Nya. Bibirnya Nampak basah. Tidak ada lagi gerutu di sana.

Tidak ada lagi menunggu akhir pekan, tidak ada lagi menunggu malam, kebahagiaan ia rasakan setiap saat, setiap detik. Tidak adalagi uang nya ia habiskan sia-sia, tidak adalagi ‘stress’di sana. We are too busy to be happy.” Berubah, every time, every where, I’am busy in happy. Ya, sama-sama sibuk, tapi nilainya sangat berbeda. Orang seperti ini nggak perlu ditanya sibuk ngapain sekarang?

Pedestrian

Yang kamu perlu hanya kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,” gumannya mengutip perkataan sebuah  buku berjudul – 5Cm -. Lalu  tiba- tiba terucap dari mulutnya, ” Sayangnya, zaman ini kita mau jalan kaki sudah susah!”.

Perkataan dalam novel ini mungkin cocok di Barat.  Celotehannya teman saya itu cocok di sini. Nyatanya, beberapa waktu lalu kawan-kawan saya yang lain  protes. Mengapa saat dia berjalan kaki di ‘pedestrian’ malah di klaksonin motor dari belakang.

“Bukan pedestrian!” Sanggah dosen saya di suatu kelas. “Tapi”, dengan pelan dosen saya  melanjutkan “Yang benar itu adalah Jalur Pedestrian”. Ternyata ungkapan  teman saya berjalan di pedestrian itu ngaco. Pedestrian  itu  “ is a person traveling on foot, whether walking or running,” Kata Kamus-Kamus Inggris.

”Masih aja ada  yang bilang Pemkot bangun Pedestrian,” greget dosen saya itu. Pedestrian adalah, ya pejalan kaki itu sendiri.  Kalau tempat jalan kaki, namanya adalah jalur pedestrian. Ia makin  gregetran ketika ada yang menyamakan pedestrian dan trotoar.

Pedos, (Yunani) maksudnya kaki. Makanya KBBI bilang pedestrian adalah pejalan kaki. Jadi amat sangat error jika bilang “berjalanlah di pedestrian”. Menurut bahasa saja tidak sah, apalagi menurut terminologi?

Saat kuliah dulu,  berkali-kali,  saya diingatkan dosen saya untuk memperhatikan pedestrian jika  kami merancang suatu kawasan. Dalam bukunya “Life in the City”, Louis Wirth,  menyimpuylkan salah satu aspek dalam Kota yang baik adalah penggunanya. “Demokratis” adalah  salah satu ciri ruang publik yang ideal. Tapi, pengguna kendaraan seakan-akan menjadi ‘tiran’. Nggak perlu jauh-jauh ngomongin demokratis, apakah pedestrian sudah nyaman berjalan di  trotoar?

Oleh karena itu, waktu kuliah, kami ditugaskan meneliti kawasan yang jalur pedestrian-nya bagus biar nanti bisa praktek langsung.  “Istilah arsitekturnya, node (plaza) dan path(koridor)” kata dosen itu.  Kita lihat pada Plaza Maria di Jerman. Kita bisa menikmati duduk – duduk santai di Jalanan. Melihat anak-anak memberikan makanan pada burung. Sambil  menikmati alunan musik  karya Mozart dengan gesekan biola yang menyentuh kalbu. Belum lagi plaza-plaza yang lain. Barcelona, London, Brussel, Prancis, dll.

“Ah  itu kan Eropa! Di sini panas,”  kata orang-orang pesimis sambil mencibir.”Ah nggak juga,”  ungkap Jokowi, saat seminar Internasional Emerging Bandung. Kita lihat di Malaysia,dan Singapura  bung!. Orchard Road buktinya. Di sana kita bisa lihat node dan path bersatu. Pedestrian di hargai di sana.

Pengaturan koridor dan plaza juga  kita rasakan di  Water Front, Kuching, Malaysia. Kita bisa berlari-lari disana, duduk, bahkan tidur- tiduran. Kira-kira bisa ga ya kalau di sini?  Belum lama, kawan saya tour 5 negara dengan sumringah berteriak “Di Bangkok, Vietnam, dll trotoarnya segede gaban-gaban, sampai mobil bisa parkir disana!”.

Beberapa bulan lalu, saya bermain ke Solo. Seperti biasa, saya berjalan-jalan menikmati senja. Yang cerah di Jalan Slamet Riadi. Ia sudah tidak seperti dulu, ada yang berubah. Jalan kaki nggak terasa, tiba-tiba sudah sampai alun-alun (plaza). Bener juga kata Jokowi yang sekrang walikotanya , ‘Ah nggak juga”

Kira-kira dua tahun lalu, saya pernah riset keci-kecilan di mall  Ciwalk Bandung. Jika di desain dengan baik, maka pedestrian akan terpuaskan.  “Dilarang masuk kendaraan” kata Ciwalk.  Sang Legenda Urban Design, Prof Danisworo  pernah  nulis dalam “I-Arch”   tentang superblock. “Sorry, kendaraan pribadi minggir dulu. Semua harus  jalan kaki”. Inilah kota Ideal, Superblock!

Tapi yang terjadi kebalikannya.”Sorry , Anda minggir dulu, motor mau lewat!”  . “Brrmmm,” motor dipacu. Minggirlah para pedestrian di Ibu Kota. Ia menjadi termarginalkan. Semua pindah ke kendaraan pribadi berpolusi. Hilang sudah orang bersepeda. Jalurnya di makan sama mobil dan motor. “Orang-orang kampungan itu hanya dari kosan yang berjarak kira-kira 2 -3 km itu naik mobil” sergah kawan saya. “Belum lagi cuman 1 km, pake naek motor segala!” tambahnya gerah.

“Bisa saja aman dari mobil dan motor, kalian  tidak akan aman dari kami” ancam PKL. Pedestrian semakin terpojok. PKL yang tadinya 5 langkah dari trotoar, sekarang menjadi melangkah bersama pedestrian.  Era ini sudah merubah arti dan juga makna. Mungkin kata pedestrian di hilangkan saja. Tidak ada lagi orang yang  berjalan kaki, menikmati indahnya mentari di sore hari. Semua terjebak dalam siklus ‘stress’ di dalam besi-besi tua yang bergerak itu

Nikmatnya Menghirup udara pagi sudah tergantikan, dengan tergesa-gesanya memakai kemeja, menuju kantor, mencari secercah ‘uang;. Semua sibuk urusannya masing-masing. Pedestrian harus mengalah, eh,, bukan. Bahkan, ternyata bisa jadi perkataan teman saya itu benar dan  Dosen saya malah salah!

Pedestrian zaman ini adalah tempat orang berjalan. Bukan lagi pejalan itu sendiri. “Iya juga ya”, sebab, sekarang, sudah tidak ada lagi pedestrian. Ia telah mati kecuali bagi sebagian orang….Ia masih tetap hidup, menikmati indahnya Alam, mengirup udara segar, menikmati kebahagiaan,  dengan hati yang tunduk.

Arsitek

God Is an Architect”. Tulisan itu berwarna merah pekat datas kain putih. Seorang mahasiswa jurusan Arsitektur mengenakannya. Ia bergerak lincah. Orang-orang melongo, apakah memang benar Tuhan itu adalah arsitek.

Mungkin perlu diskusi lebih lanjut. Karena, kata dosen-dosen saya di ITB, definisi Arsitektur ini banyak sekali. Nyatanya, nggak ada kesepakatan sampai sekarang. Bisa saja seorang programmer menulis ‘Architecture Software’. Tapi, akar katanya bisa kita lacak.

Archi = kepala, dan techton = tukang, Latin. Mungkin maksudnya architecture adalah karya kepala tukang. “Arsitek itu pemimpin proyek!” Kata Dosen yang memang setiap harinya berkutat dalam profesi di lapangan. Saya lihat ia mengambil kapur putih, dan menorehkan tulisan “Semua hal yang berhubungan dengan perancangan bangunan.”

Tapi, kalau kata Dosen Sejarah dan Teori Kritik itu lain. Arsitektur itu nggak bebas nilai. Selalu ada kata yang mendampinginya.”Arsitektur apa?” Tanya dosen pengampu mata kuliah Arsitektur modern.

Sebelumnya, yang bisa ikut mata kuliah Arsitektur Modern dipastikan lulus mata kuliah Arsitektur Pra-modern. Tapi, Ada juga Arsitektur Nusantara. Bahkan, ada mata kuliah Arsitektur Islam. Makanya, kalau ngomongin Arsitektur, Arsitektur yang mana dulu?

Polemik ini membuat Paul Shepheard yang dari MIT itu bikin buku, ia nge-list satu-satu arti arsitektur menurut para ahli lewat judul bukunya “What is Architecture”. Akhirnya ia galau sendiri, katanya “architecture is not everything, Ia mengatakan, “So when I say architecture is not everything. I mean that there are other things in life and simultaneously. I mean that there are things that are not architecture, but which fit round it so closely that they help to show it is

Karena bingung, lagi-lagi dosen saya itu membeberkan teori dari mulai Vitruvius sampai Derrida. Klasik sampai Postmo? Wow. Ternyata belajar Arsitektur itu tidak hanya belajar bangunan, tapi juga Filsafat Barat.

Mulai dari Yunani sampai Postmodern. Nggak aneh dalam Arsitektur, perkembangannya sama dengan perkembangan peradaban masyarakat di Barat. Tapi tunggu, masih ada Arsitektur Nusantara, Arsitektur Islam, Arsitektur Timur. Ujungnya, belajar sejarah juga, nggak saklek harus membahas bahas ‘bangun membangun’.

Ada Arsitektur Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, Rennaissance, Modern, Pascamodern. Percis akar-akar peradaban Barat. Oh, ternyata cukup luas juga cakupannya. Belum lagi ada kuliah tentang kota, ekonomi, lingkungan, seni, manusia, masyarakat, berhitung, dan masih banyak sekali.

Lagi-lagi kita temukan ‘Arsitektur’ sangat luas secara makna. Istilahnya Nietsze “Mengarungi lautan tak bertepi”

Misal, Arsitektur Rennaissance saja kita belajar tentang teori Plato, Pytagoras, hitung menghitung, dan lain-lain. Kata Plato keindahan alami muncul melalui adanya garis, lingkaran, dan permukaan yang menghasilkan bentuk dan volume geometris yang absolut. Belum lagi kalau denger Aristoteles, Pytagoras,dan lain-lain yang memengaruhi pemikiran ‘Arsitek’ abad renaissance seperti Angelo, Da Vinci,dll.

“The revival of classical influences in the art and literature and the beginning of modern science in Europe in 14th – 17th centuries, also movement or period of vigorous artistic and intelctual activity,” kata Webster.

Kalau kita List mungkin nggak beres-beres pembahasannya. Kata Le Corbusier ”architecture is the masterly, correct and magnificient play of masses seen in light. Architecture with a capital A was an emotional and aesthetic experience.” Ini pemikiran yang kena worldview modern.

Senada dengan Mies van De Rohe, Luis Sullivan, Frank Loyld Wright, dan kawan-kawan barisan Arsitektur Modern. Sebelumnya, aktivis Arsitektur Rennaissane tidak begitu jelas mendefinsikan arsitektur. Lihat saja,. Micheal Angelo, Leonardo Da Vinci, apa bisa disebut arsitek?

Arsitek lantas menjadi figur penting dan dijuluki sebagai “master”. Lalu menjadi gerakan masal, istilah akademiknya “International Style”. Jadi, istilah “arsitek”, sepertinya muncul di abad modern, di cirikan berdirinya Bauhaus. Sekolah Arsitek. Orang yang mau jadi Arsitek harus sekolah dulu, muncullah Arsitek terkenal abad modern.

Kata Mies, itu karena keinginan zaman!. Tapi, tesisnya Mies di habisi oleh pendapatnya sendiri. Sekarang Era Postmodern!!. Pakem-pakem modern “Less is more,” diganti dengan enaknya ”Less is bore”. Bikin bangunan terserah!. Dekosntruksi Derrida berkembang. Semua pakem di habisi, rumah itu harus beratap, kalau di postmo, tidak harus beratap!. “All Deconstrcution,”teriak Derida. Tidak bermakna.

Tapi orang-orang marah. Mereka merasa bahwa arsitektur bukanlah perburuan filosofi atau estetika secara perorangan, melainkan haruslah mempertimbangkan kebutuhan manusia sehari-hari dan mengunakan teknologi untuk mewujudkan lingkungan yang dapat dihuni.

Postmo harus minggir. Sekarang eranya “Green Architecture!”. Arsitektur yang baik adalah yang ramah lingkungan dan hemat energi, kata seorang dosen dalam kuliah yang lain.

Tapi sepertinya, masyarakat kita dulu tidak perlu di ajari untuk ramah lingkungan urusan Arsitektur. “Rumah kita sudah ramah lingkungan,” kata masyarakat tradisional sebuah suku di daerah terpencil. Jadi, ‘Green Architecture’, telat!. Kampung-kampung sudah menerapkan sustainable arsitektur.Tapi, apa bisa pencetusnya disebut “Arsitek” tanpa lewat sekolah ’modern’nya Arsitektur?

“Tolong buatkan rumah yang bagus”, atau “Desain yang murah dan indah!” kata klien kepada ‘Arsitek’. Definisi masyarakat, sama kaya Oxford “art and science of building; design or style of building(s).” Yang penting rumah bagus, terdesain oleh yang disebut ‘Arsitek’ walau F. Sillaban waktu bikin Istiqlal, nggak pernah sekolah di “Departement Architecture”. Begitupun pembuat bangunan-bangunan zaman dulu itu, atau bahkan rumah-rumah adat di Indonesia.

Istilah para kritikus arsitektur itu ‘Arsitek arsitokratik’. Jadi Arsitek zaman ini itu harus di bayar klien, dan sekolah Arsitektur. “Arsitek itu hanya melayani klien yang bayar,” teriak seorang alumnus sekolahan Arsitektur geram. Efek modernisasi Beaux Arts di Prancis. Kalau nggak di bayar, sama sekolah nggak bisa disebut Arsitek.

Berjubel orang masuk kuliah bercita –cita ingin menjadi ‘Arsitek Aristokrat’. Vitruvius sudah wanti-wanti “Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar”. Sejatinya, dalam proses belajar, mengantarkan pada ‘Arsitek’ yang sesungguhnya.

Istilahnya teman saya saat kuliah “Pola Pikir Arsitektural”. Apa pula ini?. Maksudnya, Arsitek tidak hanya melulu tentang klien, bayaran, bangunan, desain tapi juga berpikir holistik. Semua terpikir!. Ekonomi, perilaku, seni, filosofis, fungsi, tata letak, kota, pengaruh, suhu, strukutur, rapi, lingkungan, dst.

Itulah mungkin kenapa ada tulisan “God Is an Architect,” cerdas memang. Sambil tersenyum, saya baru paham kenapa Tuhan disebut Arsitek, walau Tuhan nggak pernah mengenyam bangku sekolah dan di bayar oleh klien…

Kota

Senja yang cerah di kampus, seseorang membagikan brosur kuliah S2 di ruang seminar gedung Arsitektur bertuliskan “Rancang Kota”. Sejenak saya berpikir, apakah kota harus di rancang?. Ternyata, dalam bahasa Inggris, rancang kota artinya “Urban Design”. Kenapa tidak ‘city design’? . Kata dosen saya, dalam kuliah Arsitektur Kota, City sama Urban itu beda. Loh kok bisa? Artinya sama-sama kota.

Alkisah ada Deklarasi Urban Planning di Harvard tahun 60-an. Awal dari Urban disitu. Tapi, akarnya kita bisa lacak sampai ke Plato. Plato sudah ngomongin kota yang ideal. Katanya dalam ‘Critias’, ada sebuah peradaban maju, itu disebut ‘kota’. Makanya muridnya, Aristoteles bilang, kota yang maju ialah yang dipimpin elitis-elitis (arsitokrasi)
Nggak cuman Plato yang ngomongin kota. Jadi, city itu, kata dosen saya itu, lebih ke fisik bangunan (noun). Contohnya Newyork City, Jakarta City, Washington City, dll. Tapi kita nggak pernah denger Bandung Urban, Newyork Urban,dll.

Ternyata, urban yang asli bahasa latin itu maksudnya ‘gaya’nya (adjective). Ia merupakan pola hidup, gaya masyarakat, kebiasaan, bahkan kata Webber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” ia sudah menjadi budaya (culture).
“Kalau ngobrol jangan ngadep BB mulu dong,” kata sahabat saya kepada temannya. Itulah Urban. Ia sudah menjadi budaya. “Kalau akhir pekan kita ke mall yu,” kata eksekutif muda. Mall sudah menjadi tempat rekreasi, bukan sekadar belanja. Inilah kehidupan di kota (urban). Manusia sibuk dengan urusannya masing-masing. Malam minggu kerjaanya hanya nongkrong sambil ngopi di kafe. Semua terpaku ke layar. Laptop, TV, HP,dll.

Urban ( budaya perrkotaan) ini kita lihat di kota (city)-kota besar. Newyork, yang katanya hidup 24 jam, ia adalah kota sekaligus urban. Tapi bisa jadi ada kota yang nggak ‘ngurban’. Tiga tahun lalu saya sempat ke Manado, seminggu lebih. Ia kota, tapi tidak urban. Nggak ada mall menjamur, orang nongkrong-nongkrong, tiap weekend belanja ngabisin duitnya, apalagi nge’alay’ di pusat-pusat perbelanjaan.

“Ini gara-gara era modern” kata Owen, Prodhon, Saint Simon. Ternyata Urban itu gaya hidup modern. “Kota yang maju adalah kota yang modern”, kata Cicero. Revolusi Prancis mencanangkan magna carta. “egalite” istilahnya, persamaan. Semua harus sama!. Semua orang harus menikmati nikmatnya kaum borjuis. Semua menuju kota. Orang –orang dari berbagai desa ke kota (urbanisasi). Jadilah berkumpul dan membentuk budaya.

Yang tadinya desa, ter’urban’kan oleh masyarakat berubah menjadi kota. Ternyata benar kata ahli sosiologi dari Chicago itu Louis Wirth “relatively large, dense, and permanent settlement of socially heterogenous individuals”. Bahkan Arnold Tonynbee yang ahli Peradaban itu bilang bahwa kota itu tergantung individu-individu yang mengisi. Tiap kota bisa beda karakternya.

Gaung Urban sudah terjadi di kota. Ia sudah ter ‘Barat’ kan, karena Urban itu betul dari Barat. “Modern itu asli peradaban Barat” kata Mies, Corbu, FLW, Gruppius, dan Barisan ‘moderner’. Semua orang bekerja. Ekonomi harus setara, kata Marx. Manusia-manusia urban berubah. Ia menjadi sebuah robot yang terus bekerja, sesuai filosifi modern, aktivitas masal!.
Bahkan Wirth (1938) bikin buku yang berjudu ‘Urbanism as a way of life’. Ia sudah menjadi ‘way of life’. Kota harus ngikut ke Barat. Kota yang nggak modern, nggak pantas disebut kota. ‘Ah Deso luh, masa kaga tau itu apa”, “Kepo luh”. Bicara kota, ternyata memang, nggak cuman bicara fisik. Buktinya ahli –ahli sepakat, bahwa kota adalah gaya hidup. Kata Webber, kota harus memenuhi kebutuhan ekonomi, fisik, gaya hidup,dst.

Di Indonesia, kota yang nggak Urban, belum jadi kota kaffah (sempurna). Sama, penduduk kota, yang ngga ikut arus modernisasi, itu minggir dulu. Lama-lama kota berubah. Jakarta yang tadinya ramah bagi pendatang, ia menjadi stress. Istilahnya Claude Levi Struss “pada saatmanusia tidak lagi mengenali batas dari kekuasaannya, maka dia cenderung untuk menghancurkan

Kota akan mencapai ambang batasnya dan bisa mati akibat arus urbanisasi. “Padahal kota adalah symbol peradaban”, geram Wirth dalam “The City as a Symbol of Civilization”. Untuk membentuk peradaban kata para ahlinya diperlukan orang-orang yang beradab. “Yang di rancang adalah pola pikir masyarakat” senada dengan teori pembentuk kota. Ninian Smart, Thomas F Wall, Prof. Arlparslan, dan para ahli peradaban sepakat, bahwa pembentuk peradaban adalah masyarkat yang tinggal di kota. Inidividu-individu yang akan mengarhkan kota ke depannya

Senja semakin muram, sepenggal lagi matahari akan terbenam. Beberapa saat kemudian sayup-sayup terdengar adzan di tengah kota. Tapi, nampak, orang tetap sibuk urusannya. Urbanisme telah menjadi way of life. Ia telah menjelma kepada setiap orang. Tidak ada lagi ejaan –ejaan membaca ayat suci setelah magrib disana. Semua sibuk mencari “kesenangan”, padahal di kampung sana, tawa anak kecil riang, disambut pelukan hangat ibunya, dan nuansa sejuk alam terbuka. Mereka senang setiap saat. Ah sudahlah, tapi setelah melihat brosur, jadi tertarik untuk merancang kota, merancang peradaban.

Islamic Architecture atau Arsitektur Islam? (Pengantar)

Oleh: Muhammad Rizki Utama

What Is Islamic Architecture?

Saat melihat pengumuman Aga Khan Schollarship untuk Beasiswa S2 dan S3 di Harvard University dan MIT, ternyata ada jurusan yang ditawarkan yang unik  yaitu Islamic Architecture.

Ternyata di ITB, dijadikan sebuah matakuliah. Artinya, sebenarnya bahasan Islamic Architecture sangat luas. Ketika kita berbicara tentang Islamic Architecture atau Arsitektur Islami dalam kajian keilmuan Arsitektur , kita akan menemukan diskursus pada kajian keilmuan ini.

Dari kalangan cendekiawan muslim dan juga orientalis [1] telah membahas beberapa hal terkait dengan Arsitektur Islami. Dengan banyaknya pendapat , perlu dipertegas tentang definisi yang jelas pada kalimat “Islamic Architecture”. John menggunakan kata Islamic Architecture untuk pengklasifikasian Islamic Architecture pada beberapa daerah seperti Afrika, Indian, dll dan pembahasannya mencakup ciri-ciri Islamic Architecture pada tiap daerah dari tipologi, bentuk dan keteraturannya. [2]

Mahmoud Itewi membahas tentang peradaban Islam dan menyimpukan Islamic Architecture membahas tentang bangunanya seperti mesjid dengan ciri –ciri tertentu yang dimulai ketika peradaban Islam berjaya. [3].

Ernst Grube pada “from Architecture of the Islamic World” menerangkan secara jelas pembagian arsitektur Islam dengan ciri-cirinya, pada karyanya yang lain [4] , ia mengemukakan pendapat mengenai Architecture of Islam dan Islamic Architecture .

Taeko Kamiya dalam ‘Architecture of Islam‘  membahas tentang Islamic Architecture dan ia menjelasakan tentang arsitektur pada masa peradaban Islam.  Selain itu muncul juga pemikir-pemikir muslim yang membahas tentang Arsitektur Islami seperti , Ziauddin Sardar, Hassan Fathy , Al Faruqi dan lainnya.

Dari berbagai referensi dan kuliah, saya mendapat kesimpulan bahwa perlu diperjelas makna dan substansi dari pembahasan menjadi tiga istilah yaitu Architecture of Islam (Arsitektur Islam), Islamic Architecture (Arsitektur Islam), dan Architecture Muslim Community (Arsitektur Komunitas Muslim).

Ketika sudah jelas perbedaannya, maka kita dapat mengkaji sesuai dengan istilah yang digunakan. Berbicara tentang Arsitektrur Islam, maka akan arsitektur islam itu adalah jawaban dari sebuah pertanyaan ,” Arsitektur Siapa? Arsitektur Apa?” Maka akan jelas bahwa mesjid, geometri islam, bangunan –bangunan yang mencirikan Islam disebut Arsitektur Islam karena ia menjawab pertanyaan yaitu Arsitekturnya Islam.

Sedangkan Arsitektur Islami meupakan kata sifat dimana bahwa Islami disini mengacu pada nilai-nilai Islam. Arsitektur Islami membahas tentang Arsitektur yang menerapkan nilai-nilai Islam dan tidak melanggar syariat Islam yang semua yang mengacu kepada sumber hukum Islam yaitu Quran, Sunnah, dan Ijma .

Sedangkan Arsitektur Komunitas Muslim adalah Arsitektur dari umat islam untuk umat islam, dan digunakan oleh umat islam. Sehingga jelas perbedaanya bahwa Arsitektur Islam dan Komunitas muslim melihat subjek, tapi Arsitektur Islami mengacu pada objek yaitu nilai-nilai Islam pada Quran dan sunnah.

Islamic Architecture

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS 21: 107)

Islam merupaka agama yang memberi rahmat bagi semesta alam, oleh karena itu, dalam Arsitektur Islami, ketika nilai-nilai itu ada dalam suatu desain arsitektur disebut islami ketika ia menjadi manfaat bagi sekelilingnya, bagi penggunanya, bagi lingkungan sekitarnya dan mengandung nilai-nilai islam dalam Quran dan sunnah ,

Selain itu, ia tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, dalam Islamic Architecuture ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait pandangan Islam terhadap alam dan Islam terhadap manusia.

Bangunan Frank Lloyd Wright “The Falling Water” yang menggunakan konsep Organic Architecuture, memperhatikan alam, menggunakan material baik, menyatu dengan alam, desain yang terintegrasi dapat kita katakan mendekati Islamic Architecture yang memperhatikan nilai-nilai Islam terhadap alam.

“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.” (QS Mulk : 4)

“yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”( QS Furqon :2)

Sehingga alam ini sangat sempurna,konsep-konsep Arsitektur yang memperhatikan alam, tidak merusak bumi (Al Qashas :77) . Gerakan sustainable development  yang muncul saat ini seperti Green Architecture  dan Sustainable Architecture memiliki nilai yang dapat dikatakan adalah Arsitektur Islami.

Nilai yang dibawa Islam adalah agar manusia memperhatikan alam, mendekatkan diri pada Rabbnya, bahwa karya arsitek yang indah ini adalah atas izin Allah. Ketika bayangan diatur oleh Allah, nyamannya konsep green ketika pohon tertata rapi, bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak pantas berbangga.

Dalam kaitannya Islam terhadap Manusia, ternyata manusia mendapat perhatian penting. Dalam hal ini hadits rasul banyak yang menjelaskan tentang nilai-nilai yang dibawa Islam pada manusia dan dapat diterapkan pada segi arsitektur.

Contohnya yaitu privasi,jangan boros, jangan bermegah-megahan, perhatikan tetangga, bangunan tidak melebihi tinggi tetangga ,dan masih banyak lagi yang dalam hadits dijelaskan.

Penerapannya pada Arsitektur Islami seperti pada kompleks perumahan, Jalan didesain tidak lurus, agar dapat menjaga pandangan (An nur 30) ,  lalu,  pintu tidak langsung berhadapan, ujung jalan dibuat buntu, agar yang datang ke kompleks tersebut orang yang dikenal, menjamin keamanan.

Selain nilai Islam dengan Alam dan manusia, ada juga nilai-nilai Islam yang universal seperti keselamatan dan kenyamanan sehingga dalam desain memperhatikan keselamatan dan kenyamanan (suhu, lokasi, dll).

Ada juga nilai kesederhanaan, kejujuran, sehingga dalam desain dapat diterapkan kesederhanaan, kejujuran struktur, material bangunan. Nilai lainnya yang tidak kalah penting adalah  kemudahan, dimana dalam Islam , khususnya Arsitektur Islami, tidak memiliki aturan yang baku sama sekali, tetapi dapat fleksibel, member manfaat, dan memberikan kemudahan dalam desain.

Bagaimana Batasan Islamic Architecture?

Ibnul Qayyim Al Jauziyah pada bukunya ‘I’lam al Muwwaqim dan Thuruq Al Hukmiyyah‘ [5] saat membahas tentang hal-hal yang tidak dijelaskan rasulullah dalam Quran dan sunnah menjelaskan

“aktifitas yang memang melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walau pun belum diatur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan wahyu Allah pun belum membicarakannya. Jika yang Anda maksud “harus sesuai syariat” adalah hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash (teks) syariat, maka itu benar.”

Yang saya simpulkan bahwa Arsitektur merupakan ranah yang tidak dijelaskan rasulullah secara detail seperti halnya ibadah mahdhah . Artinya keputusan-keputusan mengenai desain yang Islami yaitu bersesuaian dengan syariat, dan tidak bertentangan dengannya, namun hal ini dalam ranah personal (arsitek) untuk berijithad sesuai sabda Rasulullah “Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu” [HR Muslim 1366]

Disini diperlukan ijtihad (personal) untuk mengambil nilai-nilai Islam yang diterapkan pada suatu kondisi tertentu sesuai realita yang ada . Maka, dalam penjelasan kuliah , sempat membahas tentang fiqih. Dalam fiqih sangat mungkin sekali ditemukan perbedaan , karena yang dibahas merupakan bukan hal yang tsawabit (tetap) , tapi muthaghayyirat (fleksibel) sesuai dengan pertimbangan fiqih (prioritas, pertimbanga, dll)

Sehinggapada akhirnhya  banyak Arsitek Muslim dan Cendekiawan Muslim berpendapat seperti Sayyid Hosen Nasser, Gulzar Haider, Ziauddin Sardar , Hassan fathy yang membahas tentang pendekatannya terhadap Arsitektur dan nilai Islam yang mereka jelaskan dalam berbagai tulisannya secara teori.

Disisi lain Besim Selim Hakim, seorang peneliti dan penulis buku ‘Arabic-Islamic Cities; Building and Planning Principle‘ melakukan studi secara empirik terhadap hukum dari solusi-solusi pada bangunan di dalam kota Islam yang ternyata bersumber dari Al-Quran dan sunnah, terutama pada rumah tinggal.

Arsitektur Islami bukanlah suatu hal yang sifatnya ushul (pokok) seluruhnya , tapi merupakan hal yang fleksibel  dalam ranah personal – ijtihadi (arsitek). Mengikuti nilai-nilai Islam, dan tentu, pada setiap fungsi bangunan, desain , tempat, waktu, dan masa dapat berbeda pula penerapannya pada desainj. Wallahua’lam

Referensi:

[1]Jurnal MIT, Department of Architecture , Historiography of Islamic Architecture

[2] John Burton-Page (1921–2005) was lecturer in Archaeology at the School of Oriental and African Studies in London. The British scholar contributed over 120 articles to various journals and the Encyclopedia of Islam.

[3] jurnal Towards a Modern Theory of Islamic Architecture

[4]Ernest J. Grube, “What is Islamic Architecture,” in: ed. G. Michell, Architecture of

the Islamic World: Its History and Social Meaning (London, 1978), 10-14.

[5] I’lamul Muwaqi’in, 6/26, Thuruq Al Hukmiyah, Hal. 17

http://www.wikipedia.org