Diplomasi Kemanusiaan Indonesia : Kehadiran yang Begitu Bermakna

rohingyaAkhir Oktober 2017, saya diminta salah satu NGO di Indonesia, untuk meliput para pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar Bangladesh dan perbatasan Myanmar, sekaligus menjadi penerjemah bahasa Inggris untuk stakeholder setempat. Beberapa kawan-kawan para pegiat kemanusiaan yang saya kenal, juga sudah berada di sana beberapa waktu lalu.

Para NGO Indonesia sendiri secara resmi, menyalurkan bantuan ke Rakhine berkolaborasi bersama pemerintah dalam wadah yang bernama Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Indonesia, sejak zaman old sampai zaman now memang dikenal salah satu negara yang aktif terlibat dalam aksi-aksi diplomasi (kemanusiaan, politik, dll) ataupun pengiriman pasukan perdamaian.

Agaknya, salah satu penyebab kepedulian Indonesia, bisa dilacak dari akar sejarah yang panjang, semenjak Kolonialisme fisik mampir di negeri ini selama berabad-abad. Dalam buku Perjuangan yang Dilupakan (2017), dikisahkan bagaimana ketika Indonesia masih berumur seumur jagung, saat Indonesia masih sendiri, saat itu pula datanglah bantuan baik dari segi support, diplomasi, hingga akhirnya Indonesia diakui menjadi negara yang berdaulat.

Pertautan ini, kata Presiden Soekarno berawal dari persahabatan, persaudaraan, dan khususnya nilai-nilai agama yang kuat (Lihat Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia – Mesir. Ed. AM Fachir: 2010, hal. 49). Continue reading “Diplomasi Kemanusiaan Indonesia : Kehadiran yang Begitu Bermakna”

Catatan Haji (1) : Arafah yang Syahdu, Arafah yang Dirindu

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar….Lailaha Ilallahu Allahu Akbar…Allahu Akbar Walillahilhamdu…

“al-hajju ‘arafatun,” kata sang Nabi, bahwa Haji adalah Arafah.
Maka, kita mulai catatan perjalanan haji ini dari Arafah, sebagaimana perjalanan hidup manusia. Dari Arafah ini, pertemuan nan dirindu itu berawal. Dari Arafah, nasab kita tersambung padanya.

Mengapa? Karena, di Arafahlah Adam dan Hawa bersua. Dari Arafah, akhirnya cerita tentang kita bermula, dengan berjuta kisah dan makna. Di Arafah pula, sang kekasih Allah, Ibrahim, merenungi perjalanan hidupnya.

Dan di Arafahlah, sang Nabi menyampaikan khutbah haji pertama, sekaligus terakhirnya. Khutbah yang begitu menyentuh, yang gemanya terus diwariskan berabad-abad, hingga kini, dan masa yang akan datang.

”Ala Falyuballigh al-Syahidz Minkum al-Ghaib,” kata Rasulullah. Bahwa orang-orang yang hadir di hadapan sang Nabi hendaknya menyampaikan apa yang disampaikan Rasulullah ke orang-orang yang tidak hadir. Dan Arafah tetap menjadi tempat nan dirindu hingga akhir zaman!

Lautan manusia. Berjuta hamba bersimpuh di hadapan sang Maha. Menangis haru, dengan suasana sangat syahdu. Sebab, “Haji itu Arafah,” kata sang Nabi. Berkumpullah seluruh jamaah haji pada satu waktu, satu tempat, satu tujuan: menunaikan rukun Islam kelima!

Maka, izinkan saya menulis pengalaman berhaji pada tahun 1347 (2016), dimulai dari Arafah. Sebuah kenikmatan luar biasa, saat saya diberikan kesempatan untuk menunaikan rukun Islam ke-5 ini dalam usia yang bisa dibilang cukup muda, kira-kira seperempat abad, hehe. Continue reading “Catatan Haji (1) : Arafah yang Syahdu, Arafah yang Dirindu”

Hamparan Sajadah di atas Mavi Marmara

Kumandang adzan subuh membelah langit Laut Marmara. Para relawan kemanusiaan itu dalam hening dan syahdu, bertakbir, tahmid, tasbih dalam berdiri, rukuk, dan sujudnya. Dalam hening, sang Fajar masih belum menyingsing, asyik berselimut kegelapan. Sunyi, hanya ditemani desiran ombak hitam, membelai lembut Kapal Mavi Marmara.

Mavi, orang – orang sini menyebutnya biru. Biru, laut Marmara itu selalu membiru, membentang, secerah biru di atas langit sepanjang cakrawala. Suasana begitu tenang, saat kapal itu mengangkut anak-anaknya, para relawan kemanusiaan merentas seberang, menembus blokade Isarel, berharap berjumpa Gaza, Palestina jauh di hadapan, menunaikan amanat umat.

Mavi Marmara, ialah kisah yang tak kan terlupa, di penghujung Desember tiga tahun silam. Dalam sunyi itu, suara angin berkelebat, deru pesawat tiba menghampiri, tali bergelayut, sinar-sinar bersorot ke sana ke mari. Panik? Dalam sekejap saja, suara tembakan membelah kesunyian langit. Satu..dua..darah mengucur deras.

Tentara-tentara itu berdatangan, kukuh dalam blokadenya. Tak seorang pun boleh masuk ke dalam Gaza. “Kalian membawa senjata,” teriaknya, sembari mengangkat barang bukti berupa kain, obat-obatan, makanan,  selimut, pakaian, dan kitab suci, dan itulah senjata yang dituduhkan, yang membuat mereka bergetar. Marmara, laut biru berkelebat, tiga tahun kemudian.

***

Di atas Laut Biru Marmara

Kumandang adzan membelah birunya langit Marmara yang hendak berganti dengan kilaunya keemasan.  Burung –burung camar berputar-putar, mendekat, menjauh, melayang, suaranya riang. Angin menderu hebat, dinginnya musim dingin menusuk kulit. Teringat, apa yang terjadi tiga tahun silam di sini, di laut nan biru ini. Mata ini terkenang, mengingat, apa yang kami lakukan, tak jauh dari mereka. Saya di sini sebagai seorang wartawan, jurnalis, yang bergabung dalam tim kemanusiaan.

 

Shalat di atas laut
Shalat di atas laut

 

Dalam berdiri, rukuk, dan sujud bersama, di kemuning senja Mavi Marmara, di atas kapal feri ini air mata mengalir, tak tertahankan. Sebuah kesempatan yang sangat berharga, menikmati syahdunya senja di Mavi (Laut Biru)  Marmara. “Rukuk dan sujudlah kamu bersama,” ayat yang begitu terngiang.

DSC_0194

Di atas laut Marmara nan biru, sejumput syukur terlafal, di atas hamparan sajadah di atas Laut Biru Marmara. Kaus kaki tebal tak dapat menahan dingin yang terus melaju, menembus pori-pori. Satu hingga enam derajat Celcius, begitu tertulis pada termometer digital dalam bus, sejenak sebelum kami masuk ke Darmaga, melintasi laut Marmara.

Jamaah  sholat Jamak Takhir itu hening dalam rukuk dan sujudnya. Di atas hamparan sajadah, di atas laut biru Marmara, semua teringat peristiwa di masa silam. Kisah yang menghentak dunia kemanusiaan, mengoyak hati, menyisakan kenangan, 9 orang syuhada di atas kapal, tempat kini kami berpijak.

DSC_0272

Langit membiru, berganti kemuning senja perlahan. Angin membuat ujung syal di leher ini menari merdu. Jaket tebal, tak hanya sesaat menahan dinginnya angin laut di musim dingin. Di atas selasar kapal, di luar, beratapkan langit, semua tunduk dalam khusyuk, mengingat RabbNya, yang sangat jarang sekali dilakukan manusia, kecuali dalam lima waktu ini.

Salam terlafal, semoga kami dalam keadaan selamat, melihat misi kemanusiaan ke depan ini sangat berbahaya. Bom-bom menggelegar, birmil, mortar hingga tajamnya peluru siap menembus dada. Tiga tahun lalu, di atas laut biru ini, ancaman itu bukan sekedar cerita dari mulut, tapi sudah terjadi, dan kini seorang saksi, pemimpin rombongan kemanusiaan ini duduk terpekur di atas bangku kapal yang bergoyang, mengikuti alunan ombak.

Pak Mus, kami menyapa pria asal Malasyia, ketua NGO MASSA. Orang yang dulu berada dalam kapal Mavi Marmara itu, kini sedang termenung, mengingat masa silam. Ditulisnya sebait dua bait syair Marmara. Dibacanya sedikit berbisik dengan penuh khidmat.

 

IMG_9710

Marmara yang Indah

 

Di senja ini aku terpaku di bangku Kapal Feri

Merenung sejauh-jauhnya lautan biru tua yang terhampar

Burung Camar berterbangan rendah menyapa

Bersama deru angin dingin yang meresap ke rongga

Angin Marmara memberi makna persahabatan, kekuatan, ketegasan dan keindahan

Oh Marmara

Aku jatuh cinta PadaMu

Dan dapat meningkatkan cintaku pada Penciptamu

Indahnya Marmara membuat ku membuka mata fakta

Di sini dulu, Perahu dan kapal besar Sultan-sultan dari Khilafah Utsmaniyyah merentasinya

Dan melakukan operasi tentera sehingga ketika Muhammad Al Fatih akhirnya menawan Istanbul atau Konstantinopel..!

Aku belajar sesuatu tentang gelora perjuangan dan semangat jihad penguasamu

Penguasa yang baik sehingga mengharumkan Islam dan jiwa kemanusiaan

Rakyat merasa terbela dan izzah meeka  melonjak naik ke langit

Insan biasa menjadi hamba Allah yang tunduk mengatur sepenuhnya menurut Islam

Oh..Marmara

Terima kasih atas kesempatan ini

Semoga akan kembali lagi sehingga kegemilangan hidayah di bumi ini kembali

IMG_9712

***

Di atas sajadah di atas laut Marmara itu, doa-doa terselip. Di seberang sana, bumi Syam yang kami tuju, anak-anak kecil itu mati membeku. Di sini, atas sajadah di atas laut Marmara, kami berlapis pakaian musim dingin, sedangkan mereka di sana, hanya kaos tipis, beratap tenda, menanti badai salju segera mereda.

Di atas sajadah di atas laut Marmara, berduyun-duyun kami berganti, bersaf-saf, menghadap sang Pencipta dengan berdiri, rukuk, dan sujud. Langit biru Marmara, kini berganti menjadi kemuning keemasan. Sambil bersender, memandangi mentari di geladak kiri, burung-burung camar merendah, menghampir, medekat.

Memandang sejenak ke belakang, di sana, tempat ratusan elang laut dan camar itu bertengger, di penghujung dermaga, kota kenangan yang Pak Mus sebut-sebut. Di balik punggung ini, Instanbul, kota tua Konstantinopel yang selalu mengingatkan. Teringat saat diri ini berdiri di bawah benteng tua itu, memandang gerbang besar berlafadzkan kalimat tauhid.

DSC_0331

Menyusur gerbang, lebih masuk ke dalamnya, berguman pelan, disinilah dulu, kota yang dinubuatkan nabi. Di bawah kaki ini, tanah yang mengundang para pemimpin besar datang untuk membebaskannya. Sejauh mata memandang, ke seberang  selat Bosporus sana, di ujung sana, rumah-rumah kecil menyemut, dan di sanalah kapal-kapal itu mendentumkan meriam.

Di sana, di Asia sana pasukan Muhammad Al Fatih berjibaku, berminggu-minggu untuk mencapai tempat ini berdiri, bumi Eropa, ibu Kota Imperium Romawi yang namanya membuat gentar, Konstantinopel. Di sanalah,  Laut Hitam dan Laut Marmara dipisahkan selat Bosporus yang dihalangi rantai-rantai besar, pasukan Al Fatih tertahan.

Kini, di atas hamparan sajadah di atas laut Marmara, memori itu mulai terketuk. Kapal-kapal besar melewati kami, menuju selat Bosporus di belakang sana. 400-an Kapal-kapal dengan meriam dan layar terkembang, melaju, melawan arus kami 600 tahun silam. Kami laiknya kapal yang melarikan diri, menuju Bursa, Kota kemunculan Utsmaniyyah.

1453, saat Al Fatih muda menggelorakan para pasukan terbaiknya, menarik jangkar-jangkar, mengembangkan layar, memutar bidik teropong, melihat dari kejauhan, benteng –benteng konstantinopel itu berdiri tegak. Di belakang sana, benteng-benteng itu berdiri kokoh, benteng Al Fatih, saksi akan kegemilangan Islam di masa silam.

Kini, di atas hamparan sajadah di atas laut Marmara, semua bersiap. Hamparan sajadah itu kembali dimasukkan ke dalam tas besar, bersiap, Bursa, Ibu Kota Utsmaniyyah sebelum Konstantinopel itu menanti. Kota tua dengan benteng-benteng dan  gemerlap cahaya sepanjang malam.

DSC_0231

Mentari bulat sempurna menemani perjalanan nan dingin di Laut Marmara. Senja semakin menguning berkawan camar yang berputar membelah angkasa. Langit semakin gelap. Mentari perlahan turun ke peraduannya. Senja itu, semua berharap, semoga misi kemanusiaan ini kelak berhasil. Mengabarkan bahwa masih ada harapan, akan kedamaian yang terjadi di Bumi Para Nabi, Syam, Suriah, Palestina, Yordania, Lebanon. Insya Allah.