Aku, Salman, dan Pak Achmad Noe’man

pa noeman dan aku

“Drrr…drrr…drrr…”

Handphone jadul yang saya kelola sesekali bergetar. Sepenggal pesan dari nomor singkat yang tak asing masuk, dari Ir. Achmad Noe’man.

Pesan-pesan yang sangat membangun dari seorang pembaca, sekaligus saat itu Dewan Pembina Yayasan Sinergi Foundation  (SF), penerbit Tabloid Alhikmah, tempat saya menjadi belajar jadi jurnalis beberapa tahun lalu .

Pesan sederhana seperti,’ besar huruf perhatikan’ hingga usulan tema yang kerap kali masuk ke hotline. Perhatiannya kepada dakwah begitu besar, sampai-sampai saya sendiri diundang untung berbincang beberapa kali, salah satunya membincang tentang kaligrafi.

Di senjakala usia, bicaranya masih sangat jelas. Dengan wajah cerah dan penuh semangat, sesekali berbahasa Sunda, beliau menyampaikan keinginannya kepada kami, yang denganku usianya bertaut lebih dari 60 tahun.

Achmad Noeman
Ir. Achmad Noe’man sedang menunjukkan contoh kaligrafi yang beliau buat (foto: rizkilesus)

Bavi ingin ada rubrik Kaligrafi, tebak surat kaligrafi yang Bavi bikin,” kata Ir. Achmad Noe’man sambil membopong tumpukan buku yang bersampul depan kaligrafi yang beliau buat.

Bavi merupakan panggilan karib beliau.

“Kalau anak-anak dan yang sudah akrab dengan beliau biasa panggilnya itu bavi bukan bapak, dan ibu kita panggil endot. Sedekat itulah kami bergaul dengan mereka, akrab tidak hanya sebagai orang tua tapi juga layaknya seorang sahabat,” kenang putera ke-2 Ir. H. Achmad Noe’man, kang Nazar Noe’man di Bandung.

Ceritanya, anak bertama Ir. Achmad Noe’man, (alm) Irfan Noe’man yang justru tidak bisa mengeja huruf ‘P’. Irfan pun memanggil ayahnya dengan panggiln fafi (papi). “Karena biar keren, maka dijadikan bavi saja sekalian,”tambahnya. Maka, panggilan bavi menjadi panggilan akrab Ir. Achmad Noe’man.

Dan saat itu, Bavi dengan wajah cerah mengeluarkan rancangan kaligrafi-kaligrafi yang bergenre Kufi untuk diusulkan menjadi rubrik kaligrafi.

“Saya ingin pembaca Alhikmah menebak kaligrafi ini dan dapat hadiah,” kata sang maestro.

Continue reading “Aku, Salman, dan Pak Achmad Noe’man”

Di Tempat Itu

suasana kamar
Di tempat itu, kami pernah mengayuh sepeda, sekaligus mengayuh mimpi

Di tempat itu, kami pernah
melabukan raga, sekaligus melabuhkan asa

Di tempat itu, kami pernah tidur berbantal tumpukan buku, berselimut rindu

Di tempat itu, kami kembali menemukan arti cinta sekaligus duka secara bersamaan.

Seringai tawa yang kian nyaring

Semilir angin senja di temani sepiring ketan dan segelas susu

Segenggam rindu dan doa mereka yang terus terlafal nun jauh di kampung halaman

Suara nyaring yang kian redup hingga sunyinya

Wajah mereka yang melekat hingga sirnanya

Lelah
Letih
Jenuh
Jemu

Teruslah mendengar, hingga lelah itu lelah mengejarmu

Teruslah membaca, hingga letih itu jenuh mengejarmu

Teruslah menulis, hingga jenuh itu jenuh mengejarmu

Teruslah berbicara, hingga jemu itu jemu mengejarmu

Kejarlah mimpi, sebagaimana dahulu kita tak pernah takut untuk bermimpi

Bukankah ketika kita menginjakkan kaki di tempat itu, mereka menaruh harapan?

Mereka yang menaruh asa
Yang lama tak bersua
Yang dalam sunyinya malam teringat kita

Tempat itu, di dalam riuhnya, selalu menyimpan ruang sempit untuk hati ini

Untuk kembali memaknai kehidupan

Bahwa kita berada di sana bukanlah belaka kebetulan

Every cloud has silver a lining

@rizkilesus, 8 safar 1441

Dalam safar malam di atas kereta menuju Ibu Kota, ditemani lagu “tunggu aku di Jakarta”

Membersamai Palestina

2Ramadhan 1435 H, sepenggal 2014, Gaza kembali memanas setelah serangan Israel membunuh ribuan warga sipil termasuk anak-anak. Aksi solidaritas dan penggalangan dana kemanusiaan digelar di penjuru negeri.

Saat itu, saya diminta Bu Elidawati, owner Elzata Hijab bertemu untuk membincang persiapan keberangkatan kami untuk penyaluran bantuan kemanusiaan dari masyarakat Indonesia ke Gaza. Visa Mesir kami dikabarkan sudah keluar, dan surat rekomendasi memasuki gerbang Rafah (perbatasan Mesir – Gaza) sedang diproses bersama para relawan seperti BSMI, ACT, KNRP, Sinergi Foundation, dll.

Mengapa setiap ada berita memilukan ihwal Palestina rakyat Indonesia yang masih memiliki sedikit rasa kemanusiaannya bergolak hatinya? “Ada rasa yang sangat sulit diungkapkan, ini urusan hati,” kata Bu El, sapaan akrab Bu Elidawati saat itu sambil membahas program-program kemanusiaan apa yang bisa meringankan penderitaan rakyat Palestina, ikhtiar untuk membersamai Palestina.

Kebersamaan Indonesia dan Palestina memang sudah terjalin lama, jauh sebelum kini (Desember 2017) Indonesia memprotes pengakuan sepihak Presiden Amerika Donald Trump atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Bahkan, sebelum Indonesia merdeka, para pendiri negeri ini sudah membersamai Palestina. Dalam buku Perjuangan yang Dilupakan (2017), mengenangkan mereka dan Palestina, saya teringat akan cita-cita founding fathers kita dalam judul ‘Degup Cita Para Pendiri Bangsa untuk Palestina’, yang akan saya kutip beberapa kisahnya.

Continue reading “Membersamai Palestina”

Rezeki Itu Tak Pernah Terduga

“Bila kita masih bisa menebak rejeki yang datang kepada kita secara akurat, itu berarti kita perlu segera meng-upgrade keimanan kita.”

Berapa penghasilan Anda bulan ini? Berapa penghasilan Anda bulan depan? Apakah Anda bisa menebaknya secara akurat?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut mengingatkan saya saat menunaikan ibadah haji pada tahun 2006. Tepatnya, ketika pembimbing haji kami Profesor  Didin Hafidhuddin berkata, “Orang-orang yang imannya kuat rejekinya akan datang dari arah yang tak terduga-duga. Jadi bila kita masih bisa menebak rejeki yang datang kepada kita secara akurat, itu berarti kita perlu segera meng-upgrade keimanan kita.”

Ingatlah rejeki itu misteri, yang tahu persis cara kerjanya tentu hanya Sang Mahapemberi Rejeki. Dia memberi tahu melalui kitabnya bahwa rejeki akan datang berlimpah justeru ketika kita banyak memberi.

Sekarang coba Anda jawab pertanyaan ini, “Sebutkan tiga pengeluaran utama dari penghasilan Anda?” Adakah alokasi  memberi untuk orang lain yang benar-benar membutuhkan? Atau semua digunakan untuk memuaskan keinginan pribadi?

Mungkin sebagian Anda ada yang berkata, “Untuk diri sendiri saja susah kok harus ngasih orang lain.” Ya, itu logika kita. Padahal rejeki datang dan perginya sering tidak pakai logika. Maka tak usah heran bila ada tukang becak bisa menyekolahkan anaknya hingga menjadi dokter di Jogyakarta. Tetapi banyak juga kita temui orang yang sudah bekerja ngos-ngosan hasilnya hanya pas-pasan dan sibuk membayar berbagai tagihan.

Rejeki juga akan datang tanpa diduga bila kita memperbaiki hubungan dengan sesama. Menambah sahabat dan saudara serta menyambungkan tali persaudaraan dengan saudara yang memutuskannya. Hubungan dengan sesama yang paling utama tentunya dengan orang tua kita. Perbaikilah hubungan Anda dengan mereka dan jadikan mereka sebagai prioritas untuk Anda bahagiakan.

Hubungan baik dengan orang tua bukan hanya sekedar mencium tangan dan tinggal satu rumah bersama mereka. Membuat mereka bangga memiliki anak seperti Anda juga termasuk membina hubungan baik dengan orang tua. Selalu mendoakan pada setiap kesempatan, mendengarkan dan menghormati semua pendapatnya juga wujud hormat kepada mereka.

Percayalah, mendapat rejeki dari arah yang tak diduga-duga itu mengasyikkan dan membuat hidup semakin hidup. Selamat berlomba melakukan berbagai aktivitas yang menyebabkan rejeki datang tanpa diduga-duga.

 

Disepelekan Tapi Menyelamatkan

Masih ingat kisah tentang Nabi Nuh? Saat ia menjalankan perintah Allah untuk membuat kapal banyak kaumnya yang mengolok-ngolok dan menghinanya. Ada yang berkata, “Wahai Nuh! Bukankah menurut pengakuanmu, engkau seorang Nabi dan Rasul? Mengapa engkau sekarang menjadi tukang kayu dan membuat perahu?” Ada pula yang mengejek, “Kamu pasti sudah gila membuat perahu di tempat yang jauh dari air.”

Walau diejek, dicaci dan dihina Nabi Nuh tidak mempedulikan. Dia tetap menjalankan perintah-Nya dengan penuh kesungguhan. Singkat cerita, kapal besar itu pun selesai dibuat. Tidak lama kemudian, turunlah hujan lebat selama 40 hari 40 malam. Banjir besar menenggelamkan semua orang dan hewan ternak, tidak ada yang selamat kecuali yang ikut naik di atas kapal Nabi Nuh.

Pelajaran apa yang bisa kita petik? Pertama, ide atau gagasan yang disepelekan dan dihina orang saat ini, boleh jadi itulah yang menyelamatkan hidup Anda di masa yang akan datang. Banyak ide-ide bisnis yang awalnya disepelekan beberapa tahun kemudian tumbuh menggurita menjadi bisnis kelas dunia.

Teh botol dan air mineral dalam kemasan adalah dua produk yang sering menjadi contoh. Dulu banyak yang berkata, “Harga air minum kok lebih mahal dari bensin, pasti tidak akan laku.”  Tapi coba lihat sekarang, hampir di semua toko makanan, bahkan di pinggiran jalan, selalu tersedia teh botol dan air minum dalam kemasan.

Contoh lain, sahabat saya Rangga Umara sukses mengubah paradigma tentang lele. Dulu pecel lele hanya dijual di warung tenda pinggir jalan. Sekarang, Anda bisa menikmati pecel lele di ruangan nyaman ber-AC dan disajikan dengan berbagai rasa. Saya adalah salah satu pelanggan tetapnya. Sang pemilik Pecel Lele Lela itu kini sudah memiliki puluhan outlet di berbagai tempat.

Pelajaran kedua, ikutilah perintah Allah maka Anda akan selamat. Semua orang yang mengikuti Nabi Nuh untuk masuk ke dalam kapal dia selamat. Perahu Nabi Nuh ibarat perintah-Nya, siapa yang berpegang teguh kepada-Nya maka dia akan selamat.

Sungguh ilmu dan pengetahuan kita amatlah terbatas. Banyak hal yang menurut kita baik padahal itu buruk menurut-Nya. Sebaliknya, banyak hal yang menurut kita buruk tetapi itu baik menurut-Nya. Agar kita tidak salah, berpegang teguhlah pada perintah-Nya karena Dia Yang Maha Tahu.

Jadi, teruslah mencari dan membuat ide-ide brilian dalam kehidupan. Boleh jadi saat ini orang menertawakan ide Anda. Namun bila Anda yakin dan senang melakukannya, maka lakukanlah. Hanya saja, Anda harus memastikan bahwa ide Anda tidak bertentangan dengan perintah-Nya. Dengan paradigma ini, hidup Anda akan terjaga di masa yang akan datang dan masa setelah kehidupan dunia.

(Salam SuksesMulia!)

[dari Tabloid Alhikmah Edisi 71, rubri tetap mas Jamil Azzaini]

 

Berbagi Lewat Tulisan

Dalam suatu diskusi dan pelatihan Jurnalistik beberapa pekan lalu, kami diminta mendeskripsikan suasana sekitar. Sebelumnya, dalam training Jurnalistik yang saya lakukan, pun sama. Metode menggambarkan adalah salah satu cara untuk menyampaikan (communicated) gagasan kita kepada orang lain.

Di situlah, saya banyak belajar dari para senior-senior dibidang penulisan. Saat itu saya mendapat masukan yang sangat berharga yang saya rasakan sampai sekarang. “Sering-sering baca novel,” katanya. Ucapannya mantap. Sejak saat itu, bukan hanya Novel Detektif saja saya lahap, tapi bertahap novel-novelpun saya nikmati.

Selain itu, saya masih ingat nasihat guru-guru kami saat kuliah di Kampus Tercinta. Seringlah jalan-jalan dan melihat-lihat. Mulai setiap hari, saya beneran ‘jalan’ menikmati indahnya kota. Sampai pelosok-pelosok. Melirik rumah yang Indah, mendatanginya dan mewawancara pemiliknya.  Saat ini, walau masih terbatas melakukan perjalanan, tapi ini sungguh mengasyikan.

Hampir setiap hari melakukan perjalalan. Mulai dari reportase di sebuah pelosok di desa-desa, hingga jantung Ibu Kota. Mulai dari cerahnya pagi, hingga cerahnya sore hari waktu dihabiskan waktu menikmati indahnya Alam kota Bandung dan sekitarnya. Kadang, menikmati senja diperpustakaan-perpustakaan. Jika beruntung  selesai menikmati suasana saat magrib. Saat pulang ke Rumah.

Siang terik, terkadang menikmati sejuknya udara dalam mesjid-mesjid besar. Setiap hari ada suasana berbeda. Suasana yang tak pernah sama. Perjalan jurnalistik  memberikan pengalaman berharga tak ternilai.

Ia tak dapat digantikan dengan sejumlah uang. Bagaimana mewawancara wajah-wajah polos anak-anak di sudut desa karawang yang menerima THR yang tak pernah terpikirkan. Guru-guru ngaji dari berbagai wilayah yang tetap mengajar dengan tulus. Duduk bersama bercengkarama, saat wawancara.

Atau seseorang yang tersenyum puas di balik jeruji. Mengisahkan kegembiraan dibalik rezim yang menjebloskannya. Jari-jari ini kian lincah mengimbangi kecepatan fasihnya lidah menorehkan tinta pada kertas.

Tanpa alat perekam. Tanpa kamera Fotografi. Saat itu kami hanya diperkenankan mencatat. Wawancara dibalik jeruji. Buah dari keteguhan prinsip.

Belum lagi wawancara ekslusif menteri-menteri di Negeri Antah Berantah. Atau diskusi ringan dengan para entrepreuner. Diam-diam menulis sambil berguru. Membangun jaringan. Juga canda tawa para artis yang sehari-hari hanya dilihat di TV, kini ada dihadapan kita.

Bagaimana seru dan mendebarkan seorang jurnalis ber’diskusi’ dengan polisi saat katanya di’tilang’. Bagaimana mengobrol dengan seorang tukang becak dipinggir yang sampai sore belum mendapat penumpang.

Bagaimana rasanya, meliput simposium nasional dan Internasional. Bagaimana rasanya menunjukkan kartu saat pemeriksaan oleh Paspampres. Bagaimana menuliskan rasa bahagia seseorang yang sangat abstak.

Ia menjadi sangat peka. Menempatkan diri seperti objek jurnal kita. Ikut menangis karena terharu saat narasumber berkisah tentang haji. Atau senang karena kesuksesaanya. Bebas nian melangkah ke sana-kemari. Untuk sebuah liputan berharga yang tak boleh tertinggal.

Menikmati seminar motivasi yang the best, sambil meliputnya. Usainya di traktir makan oleh Narasumber sambil wawancara. Atau suatu saat dipaksa menerima amplop putih. Tentunya, etika jurnalis tak sesuatu menerima harus dipegang teguh.

Pengalaman-pengalaman yang tak terbayar. Hanya dapat dinikmati dan disyukuri. Bagaimana orang membayar kita untuk membaca, menulis , dan jalan-jalan dengan waktu yang tak terbatas.

Kisah-kisah itu sudah sangat banyak. Dapur Tempo dan Seandainya aku Wartawan Tempo sudah beredar. 35 Tahun Kompas. Atau acara ‘jazirah’nya Trans 7. Atau catatan wartawan senior saat liputan Olimpiade di London. Ia menjadi sesuatu yang renyah dan menawan untuk bercerita.

Inilah Jurnalisme kata wartawan senior Majalah Terkenal. Saya agak lupa, tapi saat mebaca Meraba Indonesia-nya Farid Gaban menegaskan bahwa dengan Jurnalisme, ia dapat mengarungi berbagai pemikiran, berbagai tempat, berbagai rasa. Bagaimana hati ini menjadi sangat peka terhadap lingkungan sekitar. Juga catatan Goenawan Mohamad dalam buku karangan Bill Kovach (9 Elemen Jurnalisme)

Ia menjadi pembelajaran berharga. Perubahan kian terjadi. Beberapa ‘penikmat’ tulisan ini member komentar. Tulisan –tulisan ini kian berubah, bergerak. Ia tak seperti dulu lagi. Karena pembelajaran terus terjadi. Selalu berubah. Dari Nampak serius hingga bahasa-bahasa ringan.

Mungkin setelah membaca novel, berlanjut kepada puisi, dan prosa. Seperti saat Dee bercerita dalam Filosofi Kopi. Bagaimana ia meramu prosa dan puisi. Lagi-lagi seorang maestro sastra besar, Goenawan Mohamad memberikan pujian yang Indah.

Mungkin, suatu saat hasil dari pelajaran ini semoga semakin indah. Apa yang dikutip kawan  jurnalis Hidayatullah dan Eramuslim, Pizaro :” Jurnalis yang baik, adalah novelis” mungkin bisa jadi ia. Karena ia menjadi peka. Matanya terbuka. Semakin banyak ihwal yang bisa ia bagikan kepada orang lain.

Seperti seorang mantan jurnalis majalah terkenal, Ahmad Fuadi yang sekarang menjadi novelis. Saat wawancara berdua dibawah bayang Menara Mesjid ia berkata “Umur manusia itu ada dua, karya tulisan kitalah yang akan terus abadi,”. Mungkin inilah mengapa ada Jurnalisme. Ia menjadi tetap hidup, terus belajar. Memberikan manfaat sampai akhir hayat. Masih banyak kisah. Suatu saat ia akan menampakkan dirinya…

Saatnya berkisah

Kisah adalah Kisah. Ia menjadi kisah karena dikisahkan. Selamanya ia tetaplah kisah.
Kisah adalah kisah. Ia menjadi kisah karena berkisah. Selamanya ia tetaplah orang ketiga.
Ia bukan aku. Bukan pula Engkau. Bukan pula kita. Ia adalah Ia.
Kisah adalah Kisah. Ia tak sama dengan ku, denganmu. Ia adalah Ia.
Kisah punya dunia sendiri. Saat ia bercerita tentang dirinya. Tanpa dirimu atau diriku.
Ia selalu menarik. Menarik untuk engkau ketahui. Karena Ia dan kita berbeda.
Kita adalah kita. Nun jauh di sana, ia adalah kisah.

***

Tapi, ia bukanlah aku, engkau, atau siapapun.
Kisah adalah kisah.
Ia selalu menawan.
Karena, setiap darinya berbeda.
Ia selalu Indah.
Karena, tak ada yang serupa.
Ia selalu cantik.
Karena ia adalah ia.
Maka, biarkanlah ia bercerita.
Biarkan ia menikmatinya.
Biarkan ia berbeda.
Bukankah ia tak boleh sama.
Karena, kita sendiripun berbeda.
Setia kita memiliki dirinya.
Ia adalah kisah kita.