Dalam suatu diskusi dan pelatihan Jurnalistik beberapa pekan lalu, kami diminta mendeskripsikan suasana sekitar. Sebelumnya, dalam training Jurnalistik yang saya lakukan, pun sama. Metode menggambarkan adalah salah satu cara untuk menyampaikan (communicated) gagasan kita kepada orang lain.
Di situlah, saya banyak belajar dari para senior-senior dibidang penulisan. Saat itu saya mendapat masukan yang sangat berharga yang saya rasakan sampai sekarang. “Sering-sering baca novel,” katanya. Ucapannya mantap. Sejak saat itu, bukan hanya Novel Detektif saja saya lahap, tapi bertahap novel-novelpun saya nikmati.
Selain itu, saya masih ingat nasihat guru-guru kami saat kuliah di Kampus Tercinta. Seringlah jalan-jalan dan melihat-lihat. Mulai setiap hari, saya beneran ‘jalan’ menikmati indahnya kota. Sampai pelosok-pelosok. Melirik rumah yang Indah, mendatanginya dan mewawancara pemiliknya. Saat ini, walau masih terbatas melakukan perjalanan, tapi ini sungguh mengasyikan.
Hampir setiap hari melakukan perjalalan. Mulai dari reportase di sebuah pelosok di desa-desa, hingga jantung Ibu Kota. Mulai dari cerahnya pagi, hingga cerahnya sore hari waktu dihabiskan waktu menikmati indahnya Alam kota Bandung dan sekitarnya. Kadang, menikmati senja diperpustakaan-perpustakaan. Jika beruntung selesai menikmati suasana saat magrib. Saat pulang ke Rumah.
Siang terik, terkadang menikmati sejuknya udara dalam mesjid-mesjid besar. Setiap hari ada suasana berbeda. Suasana yang tak pernah sama. Perjalan jurnalistik memberikan pengalaman berharga tak ternilai.
Ia tak dapat digantikan dengan sejumlah uang. Bagaimana mewawancara wajah-wajah polos anak-anak di sudut desa karawang yang menerima THR yang tak pernah terpikirkan. Guru-guru ngaji dari berbagai wilayah yang tetap mengajar dengan tulus. Duduk bersama bercengkarama, saat wawancara.
Atau seseorang yang tersenyum puas di balik jeruji. Mengisahkan kegembiraan dibalik rezim yang menjebloskannya. Jari-jari ini kian lincah mengimbangi kecepatan fasihnya lidah menorehkan tinta pada kertas.
Tanpa alat perekam. Tanpa kamera Fotografi. Saat itu kami hanya diperkenankan mencatat. Wawancara dibalik jeruji. Buah dari keteguhan prinsip.
Belum lagi wawancara ekslusif menteri-menteri di Negeri Antah Berantah. Atau diskusi ringan dengan para entrepreuner. Diam-diam menulis sambil berguru. Membangun jaringan. Juga canda tawa para artis yang sehari-hari hanya dilihat di TV, kini ada dihadapan kita.
Bagaimana seru dan mendebarkan seorang jurnalis ber’diskusi’ dengan polisi saat katanya di’tilang’. Bagaimana mengobrol dengan seorang tukang becak dipinggir yang sampai sore belum mendapat penumpang.
Bagaimana rasanya, meliput simposium nasional dan Internasional. Bagaimana rasanya menunjukkan kartu saat pemeriksaan oleh Paspampres. Bagaimana menuliskan rasa bahagia seseorang yang sangat abstak.
Ia menjadi sangat peka. Menempatkan diri seperti objek jurnal kita. Ikut menangis karena terharu saat narasumber berkisah tentang haji. Atau senang karena kesuksesaanya. Bebas nian melangkah ke sana-kemari. Untuk sebuah liputan berharga yang tak boleh tertinggal.
Menikmati seminar motivasi yang the best, sambil meliputnya. Usainya di traktir makan oleh Narasumber sambil wawancara. Atau suatu saat dipaksa menerima amplop putih. Tentunya, etika jurnalis tak sesuatu menerima harus dipegang teguh.
Pengalaman-pengalaman yang tak terbayar. Hanya dapat dinikmati dan disyukuri. Bagaimana orang membayar kita untuk membaca, menulis , dan jalan-jalan dengan waktu yang tak terbatas.
Kisah-kisah itu sudah sangat banyak. Dapur Tempo dan Seandainya aku Wartawan Tempo sudah beredar. 35 Tahun Kompas. Atau acara ‘jazirah’nya Trans 7. Atau catatan wartawan senior saat liputan Olimpiade di London. Ia menjadi sesuatu yang renyah dan menawan untuk bercerita.
Inilah Jurnalisme kata wartawan senior Majalah Terkenal. Saya agak lupa, tapi saat mebaca Meraba Indonesia-nya Farid Gaban menegaskan bahwa dengan Jurnalisme, ia dapat mengarungi berbagai pemikiran, berbagai tempat, berbagai rasa. Bagaimana hati ini menjadi sangat peka terhadap lingkungan sekitar. Juga catatan Goenawan Mohamad dalam buku karangan Bill Kovach (9 Elemen Jurnalisme)
Ia menjadi pembelajaran berharga. Perubahan kian terjadi. Beberapa ‘penikmat’ tulisan ini member komentar. Tulisan –tulisan ini kian berubah, bergerak. Ia tak seperti dulu lagi. Karena pembelajaran terus terjadi. Selalu berubah. Dari Nampak serius hingga bahasa-bahasa ringan.
Mungkin setelah membaca novel, berlanjut kepada puisi, dan prosa. Seperti saat Dee bercerita dalam Filosofi Kopi. Bagaimana ia meramu prosa dan puisi. Lagi-lagi seorang maestro sastra besar, Goenawan Mohamad memberikan pujian yang Indah.
Mungkin, suatu saat hasil dari pelajaran ini semoga semakin indah. Apa yang dikutip kawan jurnalis Hidayatullah dan Eramuslim, Pizaro :” Jurnalis yang baik, adalah novelis” mungkin bisa jadi ia. Karena ia menjadi peka. Matanya terbuka. Semakin banyak ihwal yang bisa ia bagikan kepada orang lain.
Seperti seorang mantan jurnalis majalah terkenal, Ahmad Fuadi yang sekarang menjadi novelis. Saat wawancara berdua dibawah bayang Menara Mesjid ia berkata “Umur manusia itu ada dua, karya tulisan kitalah yang akan terus abadi,”. Mungkin inilah mengapa ada Jurnalisme. Ia menjadi tetap hidup, terus belajar. Memberikan manfaat sampai akhir hayat. Masih banyak kisah. Suatu saat ia akan menampakkan dirinya…