Bukit Harapan

meriam bursa

Di atas bukit ini, aku menatap negeri para raja di hadapan laut biru

Di atas bukit ini, perjalanan sang waktu seakan terus menderu

Di atas bukit ini, temaram sendu menemani rintik salju

 

Cerobong asap yang mengepul

Titik cahaya dari bilik tirai yang terus bergumul

Tenimbun salju yang entah sedari tadi berkumpul

Atap rumah tua dan dinding-dinding yang terus timbul

 

“Dooooorrrr….”

Moncong meriam yang terus berdentum

Nanar mata hingga darah yang harum

Itulah Ibu Kota Romawi, Byzantium

Di atas bukit ini, usaha nyaris satu millennium

 

Yang sudah tercatat berabad silam, dari lisan sang Nabi

Di atas bukit ini, dengan kuduk mengigil, memeluk jaket kami sendiri

Menyusur jalanan tua kota tua dengan temaramnya

Mendaki kecil, menapaki perjalanan waktu yang seakan terhenti di sini

 

Kami tercekat

Terdiam sejenak

Kami berdiri di kota dengan berjuta kenangan

Kami berdiri di atas bukit dengan sejuta harapan

Kami berdiri menatap ribuan peninggalan peradaban

 

Aku pun beraharap

Aku ini kembali lagi ke sini, pada saatnya

Sambil berlama-lama menikmati sajian khasnya

Berjalan-jalan menikmati hijau masjidnya

Menuliskan sebait dua bait prosa untuknya

 

malam d bursa

@rizkilesus

Bursa, suatu Desember, menikmati salju pertama di Ibu Kota Pertama Turki Utsmani

Lebaran di Pengungsian

“Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar…”

Tetiba suara parau itu tercekat. Terhenti sejenak. “Allahu akbar…walillahilhamd..”

Kumandang takbir kali ini terasa berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya di dusun Jorong Sembalun Bumbung Lombok Timur. Idul Adha di pengungsian menyisakan ruang kesederhanaan yang hanya bisa diungkapkan lewat tangis yang membuncah.
Tangisan tak selalu bercerita kesedihan. Ia bisa menceritakan haru, bahagia, heran, seanng, atau malah rasa yang tak bisa digambarkan bahkan ketika air mata itu tumpah. Tangis memang menjadi sangat personal.

 

Sebetulnya, Hari Raya selalu menyimpan ruang kesederhaan dalam keriuhannya. Namun ketika kami berhari raya di pengungsian, segala kegemerlapan itu tetiba tak nampak.

Tak ada kunjungan ke rumah tetangga –karena rumah sudah hancur. Tak ada opor – karena baru saja kemarinnya gempa dahsyat kembali melanda. Tak ada takbiran ramai-ramai – hanya di masing-masing tenda ditemani dingin menggigit.

Dari balik terpal itu, kumandang takbir menyejukkan itu menyeruak mengisi malam.

Suasana itu memuncak ketika semburat pagi menyapa Sembalun Bumbung. Di lapangan itu, kumandang takbir serasa berbeda. Kepasrahan seakan menyapa, menikmati setiap momen dalam kesederhanaan.

IMG_0265

Continue reading “Lebaran di Pengungsian”

Antara Arafah dan Lombok, Catatan dari Bawah Tenda

Gemuruh takbir dan tahlil memecah kesunyian Lombok. Ahad malam itu,  seakan tak ada kalimat lain yang terlafal kecuali kalimat:

“Allahu akbar..allahu akbar..” “Laailaha ilallah..”

Dari bawah  tenda- tenda pengungsian itu, teriakan lafal sang Rahman begitu bergema. Malam itu bukan saatnya takbiran, atau talbiyah haji.

Malam itu, gempa besar berkekuatan 7 SR kembali melanda Lombok – khususnya Lombok Timur. Saat itu, saya sedang terlelap tidur di posko para relawan di dusun Jorong, Desa Sembalun  Bumbung, Kecamatan Sembalun Lombok Timur.

Posko kami ini agak unik, karena posko berada di sebuah rumah kayu milik warga yang masih bisa berdiri, dikelilingi rumah warga yang sudah hancur. Ada sekitar 9 relawan yang terlelap tidur, tiba-tiba harus merasakan kepanikan luar bisa.

Dudududududu..” gemuruh gempa sangat dahsyat. Rumah tampak goyang tak karuan ke kiri dan ke kanan. Orang-orang yang tidur beringsut ke luar. Tak pernah terbayangkan, bagaimana besarnya gempa 7 SR yang baru pertama kali saya rasakan.

Sebelumnya, saya merasakan gempa besar masih di hari yang sama, Ahad 19 Agustus sekitar jam 11 siangnya – tadi-. Gempa siang itu berskala 6.5 sempat merontokkan batu-batu kaki gunung Rinjani yang saya lihat dengan mata kepala sendiri.

Malamnya, saya masih ‘nekat’ tidur di posko, karena kebetulan magrib itu, rombongan relawan Sinergi Foundation dari Aceh dan Bandung baru saja datang. Tapi gempa malam itu sungguh berbeda dengan gempa siang tadi.

Gempa 7 SR ini benar-benar sulit diungkapkan. CEO Sinergi Foundation, Ibu Ima Rachmalia ketika berlari ke luar rumah, terhenti dan merebahkan badan ke tanah karena tak kuasa menahan getaran gempa yang begitu dahsyat.

WhatsApp Image 2018-08-24 at 14.25.36 (2)

Bersama ustaz Zakaria ( peci), dan warga Sembalun (foto: dok.pribadi)

Bangunan rusak di depan posko kami ambruk seketika. Saya dan beberapa ustaz juga relawan terengah-engah, menaiki sebuah pondasi batu kali di antara rumah-rumah yang terus bergoyang. Continue reading “Antara Arafah dan Lombok, Catatan dari Bawah Tenda”

Catatan Haji (3) : Suatu Senja di Arafah

IMG-20160912-WA0024
Penulis (kacamata) bersama ustaz Umar Makka, Ketua Rombongan jamaah haji undangan Indonesia

Catatan Haji (3) : Suatu Senja di Arafah

Tulisan ini merupakan tulisan berseri, lanjutan dari  tulisan sebelumnya : Khutbah Arafah yang Syahdu. Ketika beberapa sosok jurnalis seperti Haji Agus Salim, Buya Hamka, Rosihan Anwar, dll menerbitkan buku catatan harian, khususnya perjalanan haji di Tanah Suci, banyak kisah-kisah yang mereka tulis yang begitu menginspirasi.

Apalagi ditulis dengan tutur bahasa yang ringan dan tulisan yang mengalir, membuat setian insan rindu mengunjungi Baitullah. Rosihan Anwar misalnya, membukukan catatan perjalanan hajinya pada tahun 1957 yang ditulis di Pedoman dan Siasat dalam Mendapat Panggilan Nabi Ibrahim (1959).

Tulisan para jurnalis tentang perjalanan haji memberi nuansa tersendiri, seakan kita ikut terlibat di dalamnya. Di antara catatan-catatan yang begitu membekas yang ditulis ialah tentang Arafah. Rosihan Anwar menjadikan Arafah sebagai judul buku catatan perjalanan haji berikutnya, Naik di Arafat (1980).

Saya pun sudah memulia menulis catatan perjalanan haji tahun 2016. Ada yang sudah dimuat di Alhikmah juga beberapa media lainnya. Setelah khutbah Arafah yang disampaikan ustaz Chudori, kami melaksanakan shalat  zuhur dan ashar, dijamak dan qashar.

Suasanan shalat begitu berbeda dari sebelumnya. Khutbah Arafah ustaz Khudori begitu membekas: nasihat tentang Arafah dan intisari khutbah Nabi terus terngiang-ngiang, bahwa Arafah menjadi tempat yang amat sangat penting, bahkan kesempatan sangat langka bisa mengunjungi Arafah.

Kesempatan melaksanakan wukuf hanya terjadi satu tahun satu kali, dalam waktu yang sangat sempit, dan hanya di Arafah! Karenanya, kesempatan ini tentu dimanfaatkan oleh para jamaah haji sedunia.

Continue reading “Catatan Haji (3) : Suatu Senja di Arafah”

Diplomasi Kemanusiaan Indonesia : Kehadiran yang Begitu Bermakna

rohingyaAkhir Oktober 2017, saya diminta salah satu NGO di Indonesia, untuk meliput para pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar Bangladesh dan perbatasan Myanmar, sekaligus menjadi penerjemah bahasa Inggris untuk stakeholder setempat. Beberapa kawan-kawan para pegiat kemanusiaan yang saya kenal, juga sudah berada di sana beberapa waktu lalu.

Para NGO Indonesia sendiri secara resmi, menyalurkan bantuan ke Rakhine berkolaborasi bersama pemerintah dalam wadah yang bernama Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Indonesia, sejak zaman old sampai zaman now memang dikenal salah satu negara yang aktif terlibat dalam aksi-aksi diplomasi (kemanusiaan, politik, dll) ataupun pengiriman pasukan perdamaian.

Agaknya, salah satu penyebab kepedulian Indonesia, bisa dilacak dari akar sejarah yang panjang, semenjak Kolonialisme fisik mampir di negeri ini selama berabad-abad. Dalam buku Perjuangan yang Dilupakan (2017), dikisahkan bagaimana ketika Indonesia masih berumur seumur jagung, saat Indonesia masih sendiri, saat itu pula datanglah bantuan baik dari segi support, diplomasi, hingga akhirnya Indonesia diakui menjadi negara yang berdaulat.

Pertautan ini, kata Presiden Soekarno berawal dari persahabatan, persaudaraan, dan khususnya nilai-nilai agama yang kuat (Lihat Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia – Mesir. Ed. AM Fachir: 2010, hal. 49). Continue reading “Diplomasi Kemanusiaan Indonesia : Kehadiran yang Begitu Bermakna”