Izinkan Kami Mengadu

Memang, tumpah sudah air mata kami

Memang, habis sudah tak bersisa suara kami

Memang, kering sudah kantung mata kami

Memang, begitu menderita hati kami

Engkau bisa saja hilangkan nyawa anak-anak negeri

Engkau bisa saja membungkam mereka semua

Engkau bisa saja bisa saja menghilangkan para saksi

Engkau bisa saja membangun beribu cerita

Engkau bisa saja berkelit dengan segala ilusi

Engkau bisa saja menghilangkan asa mereka

Engkau bisa saja mengatur setiap bukti

Engkau yang kini memiliki kuasa

Engkau yang kini bisa melakukan sekehendakmu

Engkau yang sudah lupa akan nuramimu

Silakan bertanya kepada hati kecilmu

Apakah yang aku impikan?
Apakah yang aku tinggalkan?
Apakah yang aku lakukan?

Tanya sekali saja kepada hati kecilmu

Ingat kembali pesan kalam saat masa kecilmu

Tapi sekali saja, tanya hati nuranimu

Tanya dia, ingat-ingat pesan orang tuamu dulu

Saat engkau merancang itu semua, selalu ada sang pencatat

Yang selalu menemanimu selalu

Yang siap sedia membuka rekaman hidupmu

Yang tak akan bisa dielakkan

Yang lebih tajam dari CCTV di siang bolong

Walau kini engkau ragu akan itu

Tapi, izinkan para pencatat itu menjadi jadi saksi

Izinkan tetesan bulir bening ini mengadu

Atas keadilan yang kami tak kami dapati

Selalu ada tempat untuk mengadu


Pada saat itulah, seluruh hijab tersingkap

@rizkilesus, puisi untuk mereka yang kini berjuang tengah mencari keadilan , 21122020

Sekali Saja, Sedetik Saja

Uyghur
Muslim in China ( pic. aljazeera)

Tuan dan Nyonya

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Kami hanya ingin menghaturkan berjuta terima kasih

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Kami hanya terharu, rupanya masih ada yang mengingat kami

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Kami pikir sudah tiada ketika jasad kami dimasukkan ke dalam kamp-kamp

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Atas masih adanya yang merindu kami

Seorang Ozil yang mengusik nurani kalian

Kami pikir, kami sudah musuh seluruh dunia

 

Tuan dan Nyonya

Di dalam kamp ini, di dalam ruangan mungil ini, sejujurnya kami ingin menangis

Tapi, air mata kami sudah kering

Kami tak boleh menangis

Kami harus selalu tersenyum

Ini bukan kisah mereka yang selalu tersenyum karena ‘smile’ di negeri Wano

Ini adalah kisah kami, yang kalian bincangkan selama ini

 

Sekali saja…

Izinkan kami menangis, bersujud, sedetik saja… Continue reading “Sekali Saja, Sedetik Saja”

Bukit Harapan

meriam bursa

Di atas bukit ini, aku menatap negeri para raja di hadapan laut biru

Di atas bukit ini, perjalanan sang waktu seakan terus menderu

Di atas bukit ini, temaram sendu menemani rintik salju

 

Cerobong asap yang mengepul

Titik cahaya dari bilik tirai yang terus bergumul

Tenimbun salju yang entah sedari tadi berkumpul

Atap rumah tua dan dinding-dinding yang terus timbul

 

“Dooooorrrr….”

Moncong meriam yang terus berdentum

Nanar mata hingga darah yang harum

Itulah Ibu Kota Romawi, Byzantium

Di atas bukit ini, usaha nyaris satu millennium

 

Yang sudah tercatat berabad silam, dari lisan sang Nabi

Di atas bukit ini, dengan kuduk mengigil, memeluk jaket kami sendiri

Menyusur jalanan tua kota tua dengan temaramnya

Mendaki kecil, menapaki perjalanan waktu yang seakan terhenti di sini

 

Kami tercekat

Terdiam sejenak

Kami berdiri di kota dengan berjuta kenangan

Kami berdiri di atas bukit dengan sejuta harapan

Kami berdiri menatap ribuan peninggalan peradaban

 

Aku pun beraharap

Aku ini kembali lagi ke sini, pada saatnya

Sambil berlama-lama menikmati sajian khasnya

Berjalan-jalan menikmati hijau masjidnya

Menuliskan sebait dua bait prosa untuknya

 

malam d bursa

@rizkilesus

Bursa, suatu Desember, menikmati salju pertama di Ibu Kota Pertama Turki Utsmani