Antara Arafah dan Lombok, Catatan dari Bawah Tenda

Gemuruh takbir dan tahlil memecah kesunyian Lombok. Ahad malam itu,  seakan tak ada kalimat lain yang terlafal kecuali kalimat:

“Allahu akbar..allahu akbar..” “Laailaha ilallah..”

Dari bawah  tenda- tenda pengungsian itu, teriakan lafal sang Rahman begitu bergema. Malam itu bukan saatnya takbiran, atau talbiyah haji.

Malam itu, gempa besar berkekuatan 7 SR kembali melanda Lombok – khususnya Lombok Timur. Saat itu, saya sedang terlelap tidur di posko para relawan di dusun Jorong, Desa Sembalun  Bumbung, Kecamatan Sembalun Lombok Timur.

Posko kami ini agak unik, karena posko berada di sebuah rumah kayu milik warga yang masih bisa berdiri, dikelilingi rumah warga yang sudah hancur. Ada sekitar 9 relawan yang terlelap tidur, tiba-tiba harus merasakan kepanikan luar bisa.

Dudududududu..” gemuruh gempa sangat dahsyat. Rumah tampak goyang tak karuan ke kiri dan ke kanan. Orang-orang yang tidur beringsut ke luar. Tak pernah terbayangkan, bagaimana besarnya gempa 7 SR yang baru pertama kali saya rasakan.

Sebelumnya, saya merasakan gempa besar masih di hari yang sama, Ahad 19 Agustus sekitar jam 11 siangnya – tadi-. Gempa siang itu berskala 6.5 sempat merontokkan batu-batu kaki gunung Rinjani yang saya lihat dengan mata kepala sendiri.

Malamnya, saya masih ‘nekat’ tidur di posko, karena kebetulan magrib itu, rombongan relawan Sinergi Foundation dari Aceh dan Bandung baru saja datang. Tapi gempa malam itu sungguh berbeda dengan gempa siang tadi.

Gempa 7 SR ini benar-benar sulit diungkapkan. CEO Sinergi Foundation, Ibu Ima Rachmalia ketika berlari ke luar rumah, terhenti dan merebahkan badan ke tanah karena tak kuasa menahan getaran gempa yang begitu dahsyat.

WhatsApp Image 2018-08-24 at 14.25.36 (2)

Bersama ustaz Zakaria ( peci), dan warga Sembalun (foto: dok.pribadi)

Bangunan rusak di depan posko kami ambruk seketika. Saya dan beberapa ustaz juga relawan terengah-engah, menaiki sebuah pondasi batu kali di antara rumah-rumah yang terus bergoyang. Continue reading “Antara Arafah dan Lombok, Catatan dari Bawah Tenda”

Catatan Haji (3) : Suatu Senja di Arafah

IMG-20160912-WA0024
Penulis (kacamata) bersama ustaz Umar Makka, Ketua Rombongan jamaah haji undangan Indonesia

Catatan Haji (3) : Suatu Senja di Arafah

Tulisan ini merupakan tulisan berseri, lanjutan dari  tulisan sebelumnya : Khutbah Arafah yang Syahdu. Ketika beberapa sosok jurnalis seperti Haji Agus Salim, Buya Hamka, Rosihan Anwar, dll menerbitkan buku catatan harian, khususnya perjalanan haji di Tanah Suci, banyak kisah-kisah yang mereka tulis yang begitu menginspirasi.

Apalagi ditulis dengan tutur bahasa yang ringan dan tulisan yang mengalir, membuat setian insan rindu mengunjungi Baitullah. Rosihan Anwar misalnya, membukukan catatan perjalanan hajinya pada tahun 1957 yang ditulis di Pedoman dan Siasat dalam Mendapat Panggilan Nabi Ibrahim (1959).

Tulisan para jurnalis tentang perjalanan haji memberi nuansa tersendiri, seakan kita ikut terlibat di dalamnya. Di antara catatan-catatan yang begitu membekas yang ditulis ialah tentang Arafah. Rosihan Anwar menjadikan Arafah sebagai judul buku catatan perjalanan haji berikutnya, Naik di Arafat (1980).

Saya pun sudah memulia menulis catatan perjalanan haji tahun 2016. Ada yang sudah dimuat di Alhikmah juga beberapa media lainnya. Setelah khutbah Arafah yang disampaikan ustaz Chudori, kami melaksanakan shalat  zuhur dan ashar, dijamak dan qashar.

Suasanan shalat begitu berbeda dari sebelumnya. Khutbah Arafah ustaz Khudori begitu membekas: nasihat tentang Arafah dan intisari khutbah Nabi terus terngiang-ngiang, bahwa Arafah menjadi tempat yang amat sangat penting, bahkan kesempatan sangat langka bisa mengunjungi Arafah.

Kesempatan melaksanakan wukuf hanya terjadi satu tahun satu kali, dalam waktu yang sangat sempit, dan hanya di Arafah! Karenanya, kesempatan ini tentu dimanfaatkan oleh para jamaah haji sedunia.

Continue reading “Catatan Haji (3) : Suatu Senja di Arafah”

Catatan Haji (2) : Khutbah Arafah yang Syahdu

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya : Catatan Haji (1) : Arafah yang Syahdu, Arafah yang Dirindu

Terik masih menggantung di langit Arafah, tapi panasnya menyengat lautan pasir sepandang mata memandang. Sampai-sampai, saat para jamaah sudah menemukan tenda untuk shalat, orang-orang dengan cekatan menutup dan mempersempit celah-celah di antara pucuk tenda, di tutup oleh spanduk, dirapatkan dengan tali, atau apapun.

Musim panas baru saja usai, tapi jangan tanya panasnya sepeti apa Arab Saudi, apalagi jutaan orang menyemut di padang Arafah. Kali pertama saya menginjakkan kaki di Arafah, seakan tak percaya, bahwa saya benar-benar tiba di Arafah. Continue reading “Catatan Haji (2) : Khutbah Arafah yang Syahdu”

Catatan Haji (1) : Arafah yang Syahdu, Arafah yang Dirindu

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar….Lailaha Ilallahu Allahu Akbar…Allahu Akbar Walillahilhamdu…

“al-hajju ‘arafatun,” kata sang Nabi, bahwa Haji adalah Arafah.
Maka, kita mulai catatan perjalanan haji ini dari Arafah, sebagaimana perjalanan hidup manusia. Dari Arafah ini, pertemuan nan dirindu itu berawal. Dari Arafah, nasab kita tersambung padanya.

Mengapa? Karena, di Arafahlah Adam dan Hawa bersua. Dari Arafah, akhirnya cerita tentang kita bermula, dengan berjuta kisah dan makna. Di Arafah pula, sang kekasih Allah, Ibrahim, merenungi perjalanan hidupnya.

Dan di Arafahlah, sang Nabi menyampaikan khutbah haji pertama, sekaligus terakhirnya. Khutbah yang begitu menyentuh, yang gemanya terus diwariskan berabad-abad, hingga kini, dan masa yang akan datang.

”Ala Falyuballigh al-Syahidz Minkum al-Ghaib,” kata Rasulullah. Bahwa orang-orang yang hadir di hadapan sang Nabi hendaknya menyampaikan apa yang disampaikan Rasulullah ke orang-orang yang tidak hadir. Dan Arafah tetap menjadi tempat nan dirindu hingga akhir zaman!

Lautan manusia. Berjuta hamba bersimpuh di hadapan sang Maha. Menangis haru, dengan suasana sangat syahdu. Sebab, “Haji itu Arafah,” kata sang Nabi. Berkumpullah seluruh jamaah haji pada satu waktu, satu tempat, satu tujuan: menunaikan rukun Islam kelima!

Maka, izinkan saya menulis pengalaman berhaji pada tahun 1347 (2016), dimulai dari Arafah. Sebuah kenikmatan luar biasa, saat saya diberikan kesempatan untuk menunaikan rukun Islam ke-5 ini dalam usia yang bisa dibilang cukup muda, kira-kira seperempat abad, hehe. Continue reading “Catatan Haji (1) : Arafah yang Syahdu, Arafah yang Dirindu”