Membersamai Palestina


2Ramadhan 1435 H, sepenggal 2014, Gaza kembali memanas setelah serangan Israel membunuh ribuan warga sipil termasuk anak-anak. Aksi solidaritas dan penggalangan dana kemanusiaan digelar di penjuru negeri.

Saat itu, saya diminta Bu Elidawati, owner Elzata Hijab bertemu untuk membincang persiapan keberangkatan kami untuk penyaluran bantuan kemanusiaan dari masyarakat Indonesia ke Gaza. Visa Mesir kami dikabarkan sudah keluar, dan surat rekomendasi memasuki gerbang Rafah (perbatasan Mesir – Gaza) sedang diproses bersama para relawan seperti BSMI, ACT, KNRP, Sinergi Foundation, dll.

Mengapa setiap ada berita memilukan ihwal Palestina rakyat Indonesia yang masih memiliki sedikit rasa kemanusiaannya bergolak hatinya? “Ada rasa yang sangat sulit diungkapkan, ini urusan hati,” kata Bu El, sapaan akrab Bu Elidawati saat itu sambil membahas program-program kemanusiaan apa yang bisa meringankan penderitaan rakyat Palestina, ikhtiar untuk membersamai Palestina.

Kebersamaan Indonesia dan Palestina memang sudah terjalin lama, jauh sebelum kini (Desember 2017) Indonesia memprotes pengakuan sepihak Presiden Amerika Donald Trump atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Bahkan, sebelum Indonesia merdeka, para pendiri negeri ini sudah membersamai Palestina. Dalam buku Perjuangan yang Dilupakan (2017), mengenangkan mereka dan Palestina, saya teringat akan cita-cita founding fathers kita dalam judul ‘Degup Cita Para Pendiri Bangsa untuk Palestina’, yang akan saya kutip beberapa kisahnya.

Dalam segala keterbatasan, para perintis bangsa ini, masih menyediakan ruang kemanusiaan dan perjuangan untuk Palestina. Hal ini diperkuat, kondisi Palestina saat itu, laiknya kondisi sekarang yang kita ketahui. Seperti diungkapkan diplomat ulung cum tokoh Bangsa H Agus Salim:

“Tidak sunyi berita pertempurannya tia-tiap hari. Sudah beribu orang menjadi korban, menjadi syahid mati terbunuh di dalam jihadnya atau kena bom udara atau tembak balasan Inggris. Beribu-ribu pula orangnya, orang tua, perempuan dan anak-anak berates-ratus janda dan yatim hidup sengsara di dalam negeri yang menderitakan bencana perang bertahun-tahun.” (100 Tahun Haji Agus Salim: 1984)

H Agus Salim menyatakan perlunya aksi bersama solidaritas anak negeri untuk Palestina, “Tapi sebaiknya harus pula umat Islam menyusun organisasi menyokong hak bangsa Arab an hak umat Islam di Palestina dan Bayt Al Maqdis, dan menolong kaum yang sengsara di negeri itu.”

Kemerdekaan Palestina, solusi itu sudah menjadi suara para pendiri bangsa ini. “Jika hal ini, yaitu kemerdekaan atau keamanan bangsa yang kecil-kecil tidak mendapat perlindungan dengan hak dan keadilan, niscayalah dunia menghadapi bencana, yang akhirnya membawa binasanya.” Tegas H. Agus Salim, masih dalam tulisannya di Pandji Islam.

Pada tahun 1938, Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengeluarkan seruan kepada ormas Islam, Partai Islam dan bangsa Indonesia untuk membantu rakyat Palestina memperjuangkan kemerdekaanya. “Agar umat Islam memberikan sokongan materiil dan moril kepada pejuang-pejuang Palestina dalam memerdekaana tanah air mereka.” seruan KH Ketua PBNU Machfudz Shiddik (Saifuddin Zuhri: 1974)

Dalam buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa ternyata tak hanya sampai mengecam, PBNU pun mengeluarkan maklumat agar rakyat Indonesia membaca doa qunut nazillah setiap shalat wajib. Akibat seruan ini, Ketua PBNU KH Machfudz Shiddiq dipanggil oleh  Hoofdparket karena doa qunut dianggap menghina golongan lain. NU diminta tak melanjutkan qunut nazillah.

Ancaman dari Belanda pun mendapatkan respon dari pendiri NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar Nahdatul Ulama ke-14 yang mengatakan bahwa doa qunut adalah aksi solidaritas umat Islam di Nusantara dan perintah Rasulullah kepada umatnya ketika menghadapi bencana. (Saifuddin Zuhri: 2013)

Setelah Indonesia merdeka pun, para pendiri negeri ini terus memperjuangkan Palestina, bahkan dalam kondisi yang serupa, ketika gerilya mempertahankan Republik Indonesia. Dan sebaliknya, Palestina pun membersamai Indonesia dalam kesunyiannya.

Sepenggal September 1944, setelah  ‘pengakuan’ Jepang atas Indonesia, Mufti Besar Palestina Syaikh Amin Al Husaini mengucapkan selamat atas Indonesia yang disiarkan di pelbagai corong hingga mahasiswa Indonesia di Mesir terus menyebarkan berita ini (Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, M Zein Hassan : 1980 ).

Syaikh kharismatik asal Palestina ini mendesak negara – negara Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Sejarah kelak mencatat, sebelum Konferensi Negeri Bundar (KMB), mayoritas negara Arab mengakui kemerdekaan Indonesia.

Belum lagi kisah yang diluar nalar.  M Ali Taher, pengusaha dan pemimpin Palestina yang mengatakan,” Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia!”

3

Mungkin kita hanya bisa geleng-geleng kepala, bahkan ke Indonesia pun, mereka belum pernah. Tapi kisah ini benar-benar nyata. Kebersamaan ini terus berlanjut. Tahun 1947, NU kembali menyerukan qunut nazillah, yang berlangsung selama setahun penuh.

Qunut nazillah itu sebagai pernyataan protes dan semangat sependeritaan bangsa Indonesia terhadap bangsa Arab sejak PBB pada tahun 1947 meresmikan berdiirnya suatu Negara baru yang menamakan dirinya Israel.” Kata KH Saifuddin Zuhri yang saat itu berada di hutan berperang melawan Agresi Militer Belanda.

Bahkan, dalam kondisi sangat sulit, rakyat Indonesia selalu berdiri bersama Palestina.

“Meskipun rakyat Indonesia sedang berjuang habis-habisan menghadapi musuh-musuh dari luar dan musuh dari dalam yang sangat berat, namun mereka  ikut merasakan penderitaan saudara-saudaranya bangsa Arab yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan Palestina, sebagian tanah airnya, dari kau pendatang yang datang merampas tanah tumpah darahnya.”(Guruku Orang-orang Pesantren: 1974).

Suara-suara solidaritas terus mengalir, hingga pada tahun 1953-1955, dalam persiapan Konferensi Asia Afrika (KAA), Presiden Soekarno menentang keras jika Israel jika dilibatkan dalam konferensi yang bertemakan antikolonialisme tersebut. Pada Konferensi KAA tahun 1955, di Gedung Merdeka, Soekarno menegaskan kembali untuk memperjuangkan Negara-negara yang belum merdeka termasuk Palestina.

Keteguhan Soekarno berlanjut, dalam aksi-aksi solidaritas kemerdekaan Palestina seperti mengirimkan bantuan, hingga tahun 1962, Soekarno menolak keterlibatan Israel dalam Asian Games. “..Untuk Israel, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel” tegas Soekarno kepada wartawan.

Kita bersyukur, bapak-bapak pendiri bangsa ini mengajarkan arti kebersamaan. Membersamai Palestina di dalam lorong hutan, di tengah kehimpitan, dalam ruang sunyi dan sulit, bangsa ini selalu mengajarkan akan anti kolonialisme yang menggema, walau negeri ini baru seumur jagung.

Kini, berpuluh tahun sudah, izinkan kami tetap membersamaimu Palestina. Kami bersama Palestina! Saat negeri ini sudah merdeka, semoga kebersamaan ini terus terjalin, hingga suatu saat masa itu pasti terjadi, seperti doa dan harap KH Saifudin Zuhri:

“Bangsa Indonesia yang sedang mengalami ancaman mengenangkan tragedi Palestina. Bahwa jikalau Yahudi memperoleh kemenangan karena bayonet ditangannya, demikian pula halnya dengan Belanda, maka yakinlah suatu ketika bila bayonet telah menjadi tumpul karena datangnya keadilan dan pertolongann Allah, maka bayonet itu tak akan bisa berbicara lagi kemenangan berganti dengan kekalahan..Insya Allah.”

sumber foto : buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, M Zein Hasan

 

 

 

 

Leave a comment