Beberapa hari ini saya berkesempatan nugas ngeliput di Ibu Kota RI, setelah sebelumnya kunjungan ke enam kota besar di macem-macem provinsi. Saat itu, saya sedang menaiki commuter line, ke arah Bogor. Saya membandingkan kota-kota yang saya kunjungi sebelumnya. Ternyata nggak berbeda jauh!. Kota-kota itu semakin ‘mendekati’ Jakarta.
“Sorry ini jam sibuk bung!”teriak seseorang di tepi pintu kereta, sambil menahan orang luar yang mau masuk. Kereta terlalu penuh. Memang, suasana di dalam commuter sangat padat sampai-sampai orang di luar saja nggak bisa masuk. Saya membayangkan bagaimana kalau dengan kereta ekonomi kalau di sini saja seperti ini? “Mengerikan!”
Ungkapan “Ini jam sibuk” membuat banyak orang bertanya-tanya apakah itu sibuk? Apa yang membuat ribuan orang berkumpul pada tempat sama jam yang sama? Jim Dwiyyer menggambarkan keadaan Newyork dalam, bukunya ‘Subway Loves 24 hours in the Life of The Newyork City Subyway’. Saya pikir, ungkapan orang yang berterak tadi masuk akal. Jakarta semakin mendekati Newyork!
Itulah sibuk!. Semua melaju. Russel Leigh dan Cheryl Harris menguatkan pendapat Dwiyyer dengan bukunya ‘NIGHT SHIFT NYC’. Mereka bilang seperti curhatan teman saya. Katanya “Saya sering kejebak macet di Jakarta tiap pagi, sama pulang ngantor malam, kadang-kadang macet total”
Belum lagi senin kemarin (5/6) saat saya ke Ciputat jam enam pagi saja sudah macet. Jam sibuk semakin maju. Setiap saat menjadi waktu yang sibuk!. “Busy” istilah YM (Yahoo Messenger)-nya. “Nggak mau di ganggu pokoknya!”. Ia menjadi cenderung individualis kata Bauman. Padahal Morgan Freeman dalam Filmnya bilang ‘Get busy living, get busy dying”. Bisa jadi ia benar.
Di Indonesa, ‘Busy’ menjadi kawannya Bising. Latin-nya festinare, maksudnya ‘actively or fully engaged, occipided. Crowded with characterized by activity.’ Singkatnya penuh agenda, full kegiatan!. Makanya “ business” ngambil akarnya dari busy. Kereta bisnis yang saya naiki ini, keretanya orang-orang ’sibuk.’
Banyak sekali yang dikerjakan. Dari bangun pagi, hingga pulang dan tidur semua ia kerjakan. Lama-lama busy sudah menjadi gaya hidup (lifestyles). Semua orang mencari kesibukan-nya masing-masing. Lagi-lagi Peter Berger bilang ini gara-gara zaman. Katanya zaman telah berubah. Apakah pernah membayangkan orang-orang zaman dulu ‘sibuk’ seperti sekarang?.
Sibuk sudah menjadi ‘makanan keseharian’. Istilahnya David Chaney ”Life styles”. Orang yang nggak ‘sibuk’, nggak modern. Nggak baik!. Kabarnya, Cina sudah ketularan virus ‘sibuk’. Belum lagi Jepang, dan negara-negara lain. Semua mencari kesibukan. Malah, ekstremnya kata para ahli sosiologi, orang-yang hidup di kota-kota itu, Busy-ness City, mendapat tingkat “stress” tertinggi!
“Grrrr” geram orang sebelah saya itu sambil melirik berkali-kali ke pergelangan tangan kirinya, ia terlihat frustasi. Saat itu bus melaju pagi buta sekali di jalan tol. Jalan tol macet!. Semua orang sibuk!. Lucu memang, jalan tol yang katanya bebas hambatan, malah benar-benar bebas menghambat!. “Stress” sudah menjadi budaya Kota Besar. Ia terus melaju 24 jam.
Belum lama beberapa konsultan “Happiness”, mengadakan survey kecil-kecilan. Semua sepakat , termasuk para trainer, motivator, dll bahwa kebahagiaan dan ketenangan (lawannya stress) datangnya dari dalam diri. “Uang dan ke’sibuk’kan nggak bisa membuat saya bertahan, mendingan saya kerja di Bandung lagi,” kata teman saya yang sempat beberapa bulan hidup di Kota ‘Busy-ness.’ Akhirnya ia keluar dari kantornya di Ibu Kota.
Tetap, Ia harus belajar ’berhenti’ dari siklus ke’sibuk’an itu. Ia harus menyediakan waktu untuk diri sendiri. “Ah sibuk” gak sempet!”. Pikirnya, semakin sibuk semakin sukses. Semakin berbunga-bunga, semakin ‘mulia’. Sampai-sampai ia berteriak “We are too busy to be happy.”
Ia terus mencari kesenangan, kebahagiaan. Tiap akhir pekan, uang hasil ‘sibuk’nya digunakan untuk kongkow-kongkow di Café, Warung, Plaza, atau sekadar hangout di pusat-pusat kota. Menikmati hidup hanya di akhir pekan. Karena kalau hari –hari biasa ‘sibuk’ katanya.
Steve Bayley (1991) dalam ‘Taste: The Secret Meaning of Things’, mengemukakan “Cita rasa adalah sebuah agama baru dengan upacara-upacara yang di rayakan di pusat-pusat perbelanjaan dan meuseum, dua lembaga yang asal-usulnya terletak persis periode yang menyaksiskan ledakan konsumsi popular.” Periode apakah itu?
Inilah yang kata William Weber ‘Masyarakt modern’. Sibuk semua. Berdiri di dalam commuter line melaju bersama waktu pagi dan petang. Mengklakson, menginjak kopling, rem, mengklakson, sambil menggerutui ‘macet’. Featherstobe, nggak terlalu kaget, katanya “Ini karena perkembangan kapitalistik.”
“A lyric Poet in The Era of High Capitalism” tambah Benjamin—Pusat keramaian (Crowd) merupakan tontonan wajar, jika seseorang boleh menerapkan istilah terhadap kondisi sosial. Sebuah jalan, suatu kebarakaran besar, kecelakaan lalulintas, pertunjukan mengumpulkan orang. Mereka hadir dengan sendirinya sebagai kesamaan konkret, yakni dalam kepentingan-kepentingan pribadi (p.2)
Uang gajian di habiskan di pusat-pusat keramaian. Hasil sibuk seminggu harus di rapel dalam akhir pekan! Berking and Neckel tahun 1993 sampai –sampai membuat buku “Urban marathon’The staging of individualityas an urbant event.” Kehidupan yang serba sibuk menjadi hidup ini seperti marathon, selalu dikejar aktivitas, sampai-sampai waktu-waktu tertentu saja menikmati kebahagiaan.
Tiba-tiba orang-orang di gunung itu berkata “Kami tidak perlu menunggu akhir pekan!”. Setiap hari kami bisa menikmati udara segar, tanpa bunyi klakson. Orang-orang kota-pun nggak mau kalah berujar, kamipun setiap hari merasakan kenikmatan di sini, setelah sejenak kami ‘berhenti’ dari kesibukannya. Berhenti dari kesibukan malah semakin baik katanya.
Nyatanya M Shumaker yang pembalap itu, harus berhenti sejenak di pit-stop untuk persiapan dan perbaikan ke depan.”Kalau melaju terus, mesin bisa rusak!” kata tim Ferrari. “Less is More: Spirituality for Busy Lives” tulis Brian Drapper. ‘Spirituality for busy people’ sedang berkembang di Amerika. Di Buku lain “The Practiceof Every day Life”, di kisahkan hidup itu nggak sekadar fisik bung! Ia butuh permainan, cerita, spritualitas!.
Orang-orang Barat mulai mencari makna spiritualitas. Lash and Urry melanjutkan bukunya “The End of Organized Capitalism”. Ternyata orang kota itu, awalnya ia penasaran. Sesekali ia memenuhi panggilan Tuhan untuk berhenti dari ‘kesibukan’. Setelah itu iseng ia buka kembali kitab sucinya , dengan wajah merah dan malu-malu ia menemukan ayat dan membaca dengan pelan kalimat “Setiap saat Dia (Allah) dalam kesibukan”.
Buru-buru ia sucikan diri, dengan bangga ia menghadap Dzat yang Super sibuk. Senang sekali rasanya orang itu ketemuan sama yang ‘sibuk beneran’. Yang selalu sempat di temui, selalu siap di ingat. Ia malu, ternyata selama ini ia sok sibuk. “Baru ‘sibuk’ saja sudah nggak mau ketemu sama yang Super sibuk!”. sadarnya
‘Sibuk’nya sudah berubah menjadi sibuk. Kata De Certau, Michman, Moers, sekarang ia sudah bisa me-manage ke’sibuk’anya dengan hal-hal yang baik. Berdiri di commuter line ia isi sambil mengingat Tuhan-Nya. Bibirnya Nampak basah. Tidak ada lagi gerutu di sana.
Tidak ada lagi menunggu akhir pekan, tidak ada lagi menunggu malam, kebahagiaan ia rasakan setiap saat, setiap detik. Tidak adalagi uang nya ia habiskan sia-sia, tidak adalagi ‘stress’di sana. We are too busy to be happy.” Berubah, every time, every where, I’am busy in happy. Ya, sama-sama sibuk, tapi nilainya sangat berbeda. Orang seperti ini nggak perlu ditanya sibuk ngapain sekarang?