Kota

Senja yang cerah di kampus, seseorang membagikan brosur kuliah S2 di ruang seminar gedung Arsitektur bertuliskan “Rancang Kota”. Sejenak saya berpikir, apakah kota harus di rancang?. Ternyata, dalam bahasa Inggris, rancang kota artinya “Urban Design”. Kenapa tidak ‘city design’? . Kata dosen saya, dalam kuliah Arsitektur Kota, City sama Urban itu beda. Loh kok bisa? Artinya sama-sama kota.

Alkisah ada Deklarasi Urban Planning di Harvard tahun 60-an. Awal dari Urban disitu. Tapi, akarnya kita bisa lacak sampai ke Plato. Plato sudah ngomongin kota yang ideal. Katanya dalam ‘Critias’, ada sebuah peradaban maju, itu disebut ‘kota’. Makanya muridnya, Aristoteles bilang, kota yang maju ialah yang dipimpin elitis-elitis (arsitokrasi)
Nggak cuman Plato yang ngomongin kota. Jadi, city itu, kata dosen saya itu, lebih ke fisik bangunan (noun). Contohnya Newyork City, Jakarta City, Washington City, dll. Tapi kita nggak pernah denger Bandung Urban, Newyork Urban,dll.

Ternyata, urban yang asli bahasa latin itu maksudnya ‘gaya’nya (adjective). Ia merupakan pola hidup, gaya masyarakat, kebiasaan, bahkan kata Webber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” ia sudah menjadi budaya (culture).
“Kalau ngobrol jangan ngadep BB mulu dong,” kata sahabat saya kepada temannya. Itulah Urban. Ia sudah menjadi budaya. “Kalau akhir pekan kita ke mall yu,” kata eksekutif muda. Mall sudah menjadi tempat rekreasi, bukan sekadar belanja. Inilah kehidupan di kota (urban). Manusia sibuk dengan urusannya masing-masing. Malam minggu kerjaanya hanya nongkrong sambil ngopi di kafe. Semua terpaku ke layar. Laptop, TV, HP,dll.

Urban ( budaya perrkotaan) ini kita lihat di kota (city)-kota besar. Newyork, yang katanya hidup 24 jam, ia adalah kota sekaligus urban. Tapi bisa jadi ada kota yang nggak ‘ngurban’. Tiga tahun lalu saya sempat ke Manado, seminggu lebih. Ia kota, tapi tidak urban. Nggak ada mall menjamur, orang nongkrong-nongkrong, tiap weekend belanja ngabisin duitnya, apalagi nge’alay’ di pusat-pusat perbelanjaan.

“Ini gara-gara era modern” kata Owen, Prodhon, Saint Simon. Ternyata Urban itu gaya hidup modern. “Kota yang maju adalah kota yang modern”, kata Cicero. Revolusi Prancis mencanangkan magna carta. “egalite” istilahnya, persamaan. Semua harus sama!. Semua orang harus menikmati nikmatnya kaum borjuis. Semua menuju kota. Orang –orang dari berbagai desa ke kota (urbanisasi). Jadilah berkumpul dan membentuk budaya.

Yang tadinya desa, ter’urban’kan oleh masyarakat berubah menjadi kota. Ternyata benar kata ahli sosiologi dari Chicago itu Louis Wirth “relatively large, dense, and permanent settlement of socially heterogenous individuals”. Bahkan Arnold Tonynbee yang ahli Peradaban itu bilang bahwa kota itu tergantung individu-individu yang mengisi. Tiap kota bisa beda karakternya.

Gaung Urban sudah terjadi di kota. Ia sudah ter ‘Barat’ kan, karena Urban itu betul dari Barat. “Modern itu asli peradaban Barat” kata Mies, Corbu, FLW, Gruppius, dan Barisan ‘moderner’. Semua orang bekerja. Ekonomi harus setara, kata Marx. Manusia-manusia urban berubah. Ia menjadi sebuah robot yang terus bekerja, sesuai filosifi modern, aktivitas masal!.
Bahkan Wirth (1938) bikin buku yang berjudu ‘Urbanism as a way of life’. Ia sudah menjadi ‘way of life’. Kota harus ngikut ke Barat. Kota yang nggak modern, nggak pantas disebut kota. ‘Ah Deso luh, masa kaga tau itu apa”, “Kepo luh”. Bicara kota, ternyata memang, nggak cuman bicara fisik. Buktinya ahli –ahli sepakat, bahwa kota adalah gaya hidup. Kata Webber, kota harus memenuhi kebutuhan ekonomi, fisik, gaya hidup,dst.

Di Indonesia, kota yang nggak Urban, belum jadi kota kaffah (sempurna). Sama, penduduk kota, yang ngga ikut arus modernisasi, itu minggir dulu. Lama-lama kota berubah. Jakarta yang tadinya ramah bagi pendatang, ia menjadi stress. Istilahnya Claude Levi Struss “pada saatmanusia tidak lagi mengenali batas dari kekuasaannya, maka dia cenderung untuk menghancurkan

Kota akan mencapai ambang batasnya dan bisa mati akibat arus urbanisasi. “Padahal kota adalah symbol peradaban”, geram Wirth dalam “The City as a Symbol of Civilization”. Untuk membentuk peradaban kata para ahlinya diperlukan orang-orang yang beradab. “Yang di rancang adalah pola pikir masyarakat” senada dengan teori pembentuk kota. Ninian Smart, Thomas F Wall, Prof. Arlparslan, dan para ahli peradaban sepakat, bahwa pembentuk peradaban adalah masyarkat yang tinggal di kota. Inidividu-individu yang akan mengarhkan kota ke depannya

Senja semakin muram, sepenggal lagi matahari akan terbenam. Beberapa saat kemudian sayup-sayup terdengar adzan di tengah kota. Tapi, nampak, orang tetap sibuk urusannya. Urbanisme telah menjadi way of life. Ia telah menjelma kepada setiap orang. Tidak ada lagi ejaan –ejaan membaca ayat suci setelah magrib disana. Semua sibuk mencari “kesenangan”, padahal di kampung sana, tawa anak kecil riang, disambut pelukan hangat ibunya, dan nuansa sejuk alam terbuka. Mereka senang setiap saat. Ah sudahlah, tapi setelah melihat brosur, jadi tertarik untuk merancang kota, merancang peradaban.

Kajian Kontekstual Skala Kota dalam Aspek Sosial,Budaya,ekonomi

Kajian Kontekstual dalam Skala Kota dengan Aspek Sosial,Budaya,ekonomi

Kajian terhadap kontekstual dalam Arsitektur rupanya sudah ada sejak era tahun 80an.Namun baru-baru ini,melihat arah perkembangan kota-kota besar yang semakin rumit dan juga tidak teratur,makan kebijan-kebijakan kota,seperti peraturan kota,dll mulai diarahkan agar membentuk tempat beraktivitas sesuai dengan konteks sekitarnya

Kontekstual dalam arsitektur dan kota pertama kali dilontarkan oleh kelompok arsitek perancang kota di
Universitas Cornell tahun 1970-an (Sumber lain menuliskan Stuart Cohan dan Steven Hurtt-lah yang mengaku memperkenalkannya untuk pertama kalinya di Cornell pertengahan tahun 1960-an) dimuat dalam buku Collage City yang ditulis Colin Rowe dan Fred Koetter di mana dicanangkan suatu teori baru perancangan kota. Kata “kontekstual” di dalam perancangan arsitektur dan kota telah banyak disalah-artikan dalam pengertian “regionalisme”, “jati diri”, “kepribadian”, bahkan menjadi pandangan kedaerahan yang sempit.

Kontekstualisme yang sering juga disebut Urbanism lahir dari pemahaman dan pendapat bahwa gagalnya Arsitektur Modern. Berawal dari kurangnya pemahamantentang Urban konteks, mulainya desain dari dalam baru memperhatikan lingkungan sekitar, dan juga kutang dalam linkage dalam pembentukkan ruangdan tempat yang sebenarnya mempengaruhi arah pembangunan kota

Maka dari itu perlu diperhatikan kontekstual,karena pengaruhnya sangat besar terhadap desain bangunan dan juga sebaliknya.Wajah lingkungan sekitar, juga kondisi sekitar seperti social,biudaya,dan ekonomi mempengaruhi enclosure dan juga desain suatu bangunan dan tempat.Contohnya apa yang kita lihat pada kota-kota besar di Indonesia dimulai dengan sebuah proses perancangan Arsitektural. Proses perancangan kemudian dilihat sebagai strategi penyisipan dan penyelesaian (termasuk pembongkaran atau penggantian) pada tapak tertentu. Kontekstualis memusatkan perhatian pada bentuk fisik relatif terpenggal dari acuan citra arsitektur tertentu. Pendekatan tipologi seorang kontekstualis adalah pemahaman intuitif dari aneka ragam model organisasi geometri yang mungkin dapat dipakai dalam berbagai kombinasi untuk pemecahan persoalan tertentu.

Itu berbeda dengan seorang rasionalis yang memandang tipologi dan model hanya sebagai sumber bentuk fisik, di mana tipe dan bentuk dapat disusun tanpa acuan kepada arti dan aturan yang lama.
Beberapa contoh penerapan kontekstual di Indonesia di antaranya: beberapa kota di Jawa dengan struktur awal sederhana yakni sumbu linier utara-selatan dan perkembangan kemudian ada di sekitarnya. Proses terjadinya dimulai dari “karang” dan baru kemudian jalan. Perkembangan dipacu oleh keberadaan rumah-rumah bangsawan, sebagai pusat. Kawasan kota bercampur antara fungsi-fungsi kota, dan antara bagian desa dan bagian kota. Kawasan kota selalu bertransformasi ataupun berkembang secara sporadik. Kasus: Kawasan Malioboro. (Ardi Pardiman Parimin, 1989)

Kontekstualisme muncul di antara isme-isme dalam arsitektur dan perancangan kota. Stuart Cohan dan
Steven Hurtt, yang mengaku memperkenalkan kontekstualisme, menyatakan bahwa kontekstualis bermaksud memeluk spirit/jiwa bangunan-bangunan tua dengan lingkungannya yang bersejarah ke dalam rancangan baru; bukan bentuknya. Dengan demikian kontekstualisme dapat memberi tempat sekaligus membuka persoalan dengan aliran/paham lain seperti environmentalism, konservasionism, regionalism, postmodernism, dsb yang sedang berkembang.

Kontekstualisme oleh Wojciech Lesnikowski lebih disimpulkan sebagai minat dan tanggapan individu
ketimbang aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Ini berbeda dengan gerakan modern yang mewakiliseperangkat dogma, didaktik dan aturan-aturan yang universal dan jadilah hukum untuk standard praktek disain kalangan arsitek penganutnya.

Kalau di atas kontekstualisme dibaca sebagai metode, kontekstualisme dapat pula dianggap sebagai teknik disain untuk memberi jawaban atas kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, pragmatis menjadi bersifat plural dan fleksibel, serta bukan merupakan dogma rasional atau melulu berorientasi pada kaidah yang terlalu universal. Meskipun demikian harus diakui pada saat ini cukup banyak disain dengan dasar pemikiran kontekstual yang berakhir dengan kiat-kiat formal yang gersang karena dengan begitu saja mengangkat pengaruh bangunan bersejarah; bukan merupakan adaptasi sejarah yang dipikirkan masak-masak.

Dalam rancang kota, kontekstualisme memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya adalah kemampuannya secara potensial meredam lingkungan yang tidak tanggap atau liar. Kelemahannya adalah rancangan seolah-olah harus menerima keterikatan pada kondisi statis; bertentangan dengan produk-produk baru yang diinginkan yang lantas terpaksa dimanipulasi untuk menjaga selera keterkaitan. (Robi Sularto Sastrowardoyo, 1993)

Secara politik,daerah –daerah yang memperhatikan konteks akan terlihat perkembangannya.Bandungn sebuah kota besar yang dahulu dijadikan markas gubernur Hindia Belanda, maka terdapat bangunan-bangunan kenegaraan yang berada di Bandung, tata kota kota Bandung terlihat bahwa ada daerah militer yang terdapat diwilayah timur, wilayah perumahan rakyat di daerah selatan,atau kawasan perumahan elite di daerah utara (dago).Saat ini konteks dago sebagai wilayah permuahan sudah mulai bergeser. Menjamurnya FO dan juga sarana-sarana berbelanja menjadikan dago sebuah kawasan bisnis dan juga pusat perbelanjaan,Jika kita ilik fenomena ini maka berkembangnya dago menjadi sebuah wilayah komersial dikarenakan karena turis yang berasal kebanakan dari Jakarta yang sering mengunjungi Bandung sejak tol cipularang dibuka.Jadi, keadaan pada suatu tempat ternyata mempengaruhi keadaan pada tempat yang lain. Sehingga dalam taran ekonomi, social,budaya dapt menyatu dan bersinergi dan juga dapat berubah sewaktu-waktu

Arsitektur , dan Penciptaan Ruang dan Tempat

Arsitektur dan Penciptaan Ruang dan Tempat

Dalam sejarah kota-kota dunia, terlihat bahwa kota selalu berkembang,kota selalu berubah.Ruang-ruang dalam kota yang setiap zaman mengalamai perubahan menjadikan sebuah kota tersebut memiliki fungsi yang beragam,Ada banyak alas an mengapa ruang-ruang tersebut berubah fungsinya. Arsitektur merupakan sebuah ilmu yang beragam,mempelajari bagaimana manusia hidup dalam ruang-ruang tersebut, bagaimana sebuah ruang dapat ditempat manusia, bagaimana sebuah kehidupan terjadi dalam skala kecil membentuk skala besar seperti sebuah desa, dan menjadi kota, menjadi sebuah wilayah.

Dalam konteks urban, unsure ruang sangat penting sekali,, kita sebut saja Arsitektur kota , atau ruang-ruang dalam wilayah-wilayah kecil membentuk sebuah kesatuan dalam wilayah kota, Ruang-ruang inin membentuk tempat. Space to place. Arsitektur sendiri merupakan perwujudan ruang-ruang dan bentuk-bentuk kolektif.Untuk menciptakan paduan diantara keragaman kuncinya adalah bagaimana mengkaitkan (linkages) satu kegiatan dengan kegiatan lain, satu bagian kota dengan bagian kota lainnya, antara satu perubahan dengan perubahan lainnya, satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, atau antara satu yang belum/tidak berubah dengan perubahan yang akan dilakukan berikutnya. Di situ
diperlukan pemahaman akan adanya kaitan terbuka (open linkages)
Ruang dan Tepat dalam Skala Kota
Dalam skala kota membuat ruang, bentuk, tempat dan arsitektur juga dapat dilakukan dengan memperhatikan keadaan alam sekitar ,suasana,dan selarans dengan sekitar.
Dalam mewujudkan ruang, manusia perlu mengarahkan angin agar semilirnya menjadi menyejukkan, manusia perlu mengatur orientasi agar mendapatkan sinar matahari pagi yang hangat, manusia perlu menjauhkan tempat tertentu agar tidak terkena tampias air hujan, dan berbagai pengaturan lain agar budi dan daya yang dilakukan dapat berjalan tanpa terganggu secara ekstrim dengan kekuatan alam. Manusia menandai kekosongan dan kekuatan alam sebagi ’tempat’ baginya untuk berkehidupan, disitulah ruang diwujudkan.

“Kekuatan terpenting bagi sebuah ruang yang menjadi ’tempat’ bukanlah ditentukan oleh bentuk enclosure-nya, namun justru lebih ditentukan bagaimana kualitas ruang tersebut ditingkatkan. Enclosure justru hanya merupakan salah satu media yang dapat diselaraskan dengan peningkatan kualitas ruang. Sebuah ruang besar yang diberi batas bentuk, akan dapat dijadikan beberapa ’tempat’ dengan jenis peningkatan kualitas ’ruang’ yang berbeda. Sebuah ruang besar dapat dibatasi oleh bau masakan sebagai penanda keberadaan dapur dan ruang makan. Dapat dibatasi keredupan sebagai ruang tidur dan terangnya sinar sebagai ruang keluarga. Begitu berartinya kekuatan non-materi dalam mendukung eksistensi dari perwujudan ruang.” (Tjahja Tribinuka Dosen Jurusan Arsitektur ITS)

Kekuatan non materi dari ruang pada awalnya didapatkan dari kekuatan alam sekitar. Namun dengan perkembagan ilmu pengetahuan, saat ini dapat diwujudkan kekuatan alam itu dengan peralatan buatan manusia. Sebuah kekuatan suhu dapat diciptakan dengan air conditioner (AC), kekuatan tekanan udara dan angin dapat diciptakan dengan kipas listrik, kekuatan cahaya dpat diciptakan dari lampu, dan masih banyak lagi peralatan yang dapat menduplikasi kekuatan alam ini demi arsitektur. Penduplikasian kekuatan alam telah mencapai kemajuan dengan perkembangan teknologi sampai pada saat ini. Manusia telah mampu mewujudkan kondisi alam yang dapat memiliki keserupaan di lokasi alam semesta yang berbeda karakter. Namun demikian, kekuatan buatan ini ternyata membutuhkan lebih banyak kekuatan, berupa tenaga listrik untuk menghidupkannya, belum lagi dampak kerusakan lingkungan yang dapat muncul karena pembuangan dari mesin pencipta kondisi ini.

Secara bijak, duplikasi kekuatan alam dalam membentuk ruang menjadi sebuah ’tempat’ perlu dilakukan secara terintegrasi dalam konsep yang konsisten. Jika dalam sebuah gubahan arsitektur telah ditentukan satu titik ruang yang terfokus, maka selayaknya di ruang tersebut diwujudkan sebuah ’tempat’ dengan segenap potensi besarnya.Dalam ruang tersebut dibuat manusia menjadi beraktivitas. Ruang-ruang dalam kota yang membentuk tempat tadi, tidak terpisahkan satu sama lain,sehingga muncul kesatuan berdasarkan sejarah, lokasi, dan lain semacamnya yang dapat diintegrasikan menjadi sebuah konteks , kontekstual dengan lingkungan sekitar, alam sekitar, dan kondisi sekitar

Konsep Arsitektur Berkelanjutan “Sustainable Architecture”

Arsitektur terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya. Sudah banyak inovasi-inovasi bangunan yang dilakukan. Baik dalam hal material, cara membangun, maupun bentuk dari bangunan itu sendiri. Namun sayangnya banyak dari bangunan tersebut yang dibuat dengan tanpa memperhatikan aspek lingkungan untuk jangka panjang. Sehingga menjadi timbul masalah baru yang membawa dampak negatif kepada lingkungan itu sendiri.

Hal tersebut diperparah dengan kondisi iklim yang semakin memburuk dan dampaknya sudah sebagian dapat kita rasakan saat ini. Isu ini sudah berkembang menjadi isu global yang biasa kita dengar yaitu global warming.

Bila hal ini tidak dipikirkan bagaimana penyelesaiannya, entah apa yang akan terjadi pada bumi kita akibat perkembangan dalam bidang arsitektur khususnya. Oleh karena itu saat ini kita harus mulai bertindak! Arsitektur berkelanjutan atau yang biasa dikenal dengan Sustainable architecture lahir sebagai salah satu aksi yang harus kita lakukan untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.

Arsitektur berkelanjutan memiliki banyak pengertian Continue reading “Konsep Arsitektur Berkelanjutan “Sustainable Architecture””