2020

Kami sambut dengan semangat baru

Kami sambut dengan berjuta asa

Kami sambut dengan harapan dan haru

Kami sambut dengan beribu cita

Januari kami jalankan rencana

Merancang segala makna

Berkeliling negeri tercinta

Mengecup kening mereka

Februari kami masih bercengkrama

Menghadiri konser, pameran hingga pengajian

Berkawan kabar sumir dari negeri Panda

Sambil berkelit seribu penyangkalan

Maret..

Jam dinding seakan berhenti berdetak

Takut yang merasuki relung kalbu

Kasus pertama membungkam semua gegap gempita

Para penguasa yang tak lagi bersuara

Keegoisan manusia seakan menyuar

Pusat perbelanjaan yang sesak oleh lautan manusia

Berebut penutup mulut, hingga pengganjal perut

April ke Desember

Kami ingin berdiam, tapi kami harus melawan lapar

Kami berharap mereka memberikan kami sepiring nasi

Agar kami tetap berdiam diri

Namun mereka lebih memilih memburu rente

Berebut lahan, hingga proyek bantuan sosial

Di saat bersama, sayup-sayup, sahabat sejawat dipanggil

Tuhan lebih sayang mereka

Teruntuk ayah, ibu, guru, kakak, adik, kawan, sahabat

Yang kini telah mendahuli kami, semoga engkau menjadi syuhada

Izinkan kami berhenti berdebat

Izinkan kami lanjutkan perjuangan mereka

Hentikan segala prasangka, bersatu membangun bangsa

Bahwa segala telah telah tercatat

Teruntuk para pejuang yang tak lelah

Berbungkus pakaian tak tampak wajah

Kami hanya ingin mengucapkan terima kasih

2020

Kami tak kan pernah lupa

Bahwa kami bisa melewatinya

Walau berderai air mata

2020

Kami tak kan pernah lupa

Melewati ramadhan dengan sederhana

Berbagi bahkan kala kami putus asa

2020

Kami tak kan pernah lupa

Melewati semua ini bersama

Merelakan mereka yang mendahuli kita

2020

Kami tak kan pernah lupa

@rizkilesus, 31 Desember 2020

Di Tepi Laut Kaspia

Di Tepi Laut Kaspia, Aku duduk berkawan senja

Menyusur bebatuan, menikmati angin musim gugur

Di Tepi Laut Kaspia, Aku duduk menanti senja

Menikmati sepotong ayam krispi dari Indonesia

Menikmati semilir angin, membawa harapan

Di seberang sana, Kota Moskow Menanti

Di seberang sana, negeri-negeri Transaksonia

Di seberang sana, cerita dari negeri Parsi

DI sini, negeri dengan agama tertua

Sejauh mata memandang, laut nan membiru

Silih berganti para utusan

Air bah yang membanjiri bumi

Naksivan, Tempat Nabi Nuh dilahirkan

Air bah yang mendanau

Orang – orang meyakininya Kaspia

Yang kini berada di hadapanku

Yang sedang duduk menanti renjana

Tak pernah kuasangka aku akan berada menatapnya

Negeri api yang begitu memukau

Nagoro- Karabakh yang tak kunjung usai

Menanti damai suatu kelak

Di tepi Laut Kaspia

Aku kembali berdendang

Di tepi Laut Kaspia

Saksi bangkit dan runtuh peradaban

Di tepi Laut Kaspia

Suatu saat semoga kan kembali

@rizkilesus, September 2017, di Tepi Laut Kaspia, Azerbaijan

Izinkan Kami Mengadu

Memang, tumpah sudah air mata kami

Memang, habis sudah tak bersisa suara kami

Memang, kering sudah kantung mata kami

Memang, begitu menderita hati kami

Engkau bisa saja hilangkan nyawa anak-anak negeri

Engkau bisa saja membungkam mereka semua

Engkau bisa saja bisa saja menghilangkan para saksi

Engkau bisa saja membangun beribu cerita

Engkau bisa saja berkelit dengan segala ilusi

Engkau bisa saja menghilangkan asa mereka

Engkau bisa saja mengatur setiap bukti

Engkau yang kini memiliki kuasa

Engkau yang kini bisa melakukan sekehendakmu

Engkau yang sudah lupa akan nuramimu

Silakan bertanya kepada hati kecilmu

Apakah yang aku impikan?
Apakah yang aku tinggalkan?
Apakah yang aku lakukan?

Tanya sekali saja kepada hati kecilmu

Ingat kembali pesan kalam saat masa kecilmu

Tapi sekali saja, tanya hati nuranimu

Tanya dia, ingat-ingat pesan orang tuamu dulu

Saat engkau merancang itu semua, selalu ada sang pencatat

Yang selalu menemanimu selalu

Yang siap sedia membuka rekaman hidupmu

Yang tak akan bisa dielakkan

Yang lebih tajam dari CCTV di siang bolong

Walau kini engkau ragu akan itu

Tapi, izinkan para pencatat itu menjadi jadi saksi

Izinkan tetesan bulir bening ini mengadu

Atas keadilan yang kami tak kami dapati

Selalu ada tempat untuk mengadu


Pada saat itulah, seluruh hijab tersingkap

@rizkilesus, puisi untuk mereka yang kini berjuang tengah mencari keadilan , 21122020

Hari Ini,

Hari ini, lagi-lagi kita mendengar kepergian mereka

Hari ini, lagi-lagi kita mendoakan mereka

Hari ini, lagi-lagi kita mengenangkan mereka

Sebulan dua, beberapa bulan lalu, kita masih bersua

Sebulan dua, beberapa bulan lalu, kita masih bercengkrama

Sebulan dua, beberapa bulan lalu, kita memupuk asa bersama

Tak pernah terbayangkan, wabah ini akan datang begitu cepat

Merindu mereka, mengangkat kenangan begitu berkelebat

Tak pernah terbayangkan, para guru hingga sahabat

Merindu mereka, melepas mereka menuntaskan amanat

Hari ini, kita masih bisa berjumpa

Hari ini, tak akan terulang, hari esok menanti kita

Hari ini, boleh jadi giliran kita

@rizkilesus 20/12/2012

#Day1: Ramadhan Terbaik di Tengah Pandemi

5-Alasan-yang-Menjadikan-Ramadhan-Istimewa-696x356

*Sebagian besar tulisan ini diramu dari kajian Dr. Yasir Qadhi yang berjudul : How This Ramadhan Will Be Our Best Ramadhan: The Benefits of Ramadan in Lockdown. Kajian lengkap bisa didengar di sini.

Hari pertama ramadhan tahun ini telah kita lalui dengan tak biasa. Begitu cepat ia menyapa, seakan-akan kita tak siap bersua dengannya, karena hari-hari sebelum hari ini, begitu riuh kita melupakan kedatangannya.

Manusiawi memang, kita yang selalu riuh dalam ketakutan, kepanikan, hingga kekalutan akan kondisi yang sedang melanda kita sekarang.

Kita yang akhirnya sebagian memilih berdiam diri di rumah dengan segala aktivitas mulai dari Work From Home, kadang bermalasan, menonton hingga menghabiskan beberapa serial dan men-scroll dinding media sosial,

Sebagian berjuang mengais rezeki di tengah pandemi demi keluarga, berpikir agar tetap ada sesuap nasi hari ini. Sebagian kembali ke kampung halaman dengan gundah gulana. Ketakutan, depresi, kekalutan kita sebagai manusia biasa.

Ketika bulan ini datang menyapa, kita tak benar-benar siap bertemu sang tamu agung. Bulan di mana pintu ampunan dibuka lebar, rahmatNya turun tiada henti, kasih sayangNya yang tak bertepi.

Tidak peduli begitu berlumur diri ini dengan segala khilaf. Yang  selalu terbuka untuk menerima kita kembali, mengakui segala alpa dalam diri. Yang begitu gembira ketika kita datang dengan segunung dosa sambil mengiba.

ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ

“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu” (Al Baqarah: 52)

 

Ketika pintu-pintu masjid dan rumah kini tertutup, di bulan ini, pintu ampunanNya selalu terbuka lebar. Yang gembira ketika kita, hambaNya kembali mengiba, mengetuk pintu ampunanNya dengan lembut

 

ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ

“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu” (Al Baqarah: 52)

Bulan ini begitu mulia, satu-satunya bulan yang namanya disebut langsung oleh sang Maha dalam firman sucinya: bulan Ramadhan, syahru ramadhan. Bulan ketika manusia paling mulia menerima wahyu pertama, dan diturunkannya al Qur’an pada malam-malam bulan ini.

Dua kali Ramadhan dikaitkan dengan perintah shaum, dua kali pula ramadhan dikaitkan dengan al Qur’an. Dan kita telah melewati hari pertama ramadhan tahun ini dengan berbeda.

Bulan terbaik, yang sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kita memasuki ramadhan di tengah pandemi, di tengah ketakutan, di tengah kegelisahan, ketidakpastian, hingga kelaparan menyapa.

Di momen-momen kritis ini, kita bertemu dengan Ramadhan, bulan al Qur’an. Seakan-akan Dia menyapa kita, ketika 11 bulan lalu kita melupakan kalamNya, dengan segala kenikmataNya yang turun tak henti-hentiNya, kini saatnya kita kembali kepada diriNya dengan penuh harap dan optimisme.

 

***

Sedikit saja aku mendekat, Engkau akan datang lebih dekat

Kami datang sejengkal menghampiriMu, Engkau datang dengan sehasta

Kami datang merangkak, Engkau datang dengan berjalan

Kami datang berjalan, Engkau datang berlari

Engkau yang sesuai prasangka kami

Maka izinkan kami berharap

Masih ada optimisme

Bahwa kami akan melewati semua ini

Izinkan kami berbaik sangka kepadaMu

Sebagaimana Engkau sesuai prasangka HambaMu

Jadikan Ramadhan kali ini

Sebagai Ramadhan Terbaik Kami

 

***

Dulu, kita selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan kita, menghabiskan waktu yang di kantor, berbuka bersama terkadang di kantor, berbuka di kampus, berbuka di tempat kursus, berbuka di sekolah,  atau bahkan di jalanan dan pulang dengan keadaan letih. Kita merasa lelah, letih, terjebak dengan rutinitas kita, sehingga kita tiba dalam keadaan merasa capek dengan segala beban tak berkesudahan.

Kini, sebagian kita dengan mayoritas waktu kita di rumah, kelelahan dan keletihan yang membuat kita malas boleh jadi berkurang. Sehingga kita bisa memulai kembali mengeja makna kalam suciNya, yang mungkin selama ini kita alpa membukanya, ataupun membukanya tanpa membaca artinya, atau membaca artinya tanpa merenungkannya.

Dulu, kita menghabiskan berjam-jam di kendaraan, di atas motor berjubel di jalanan padat. Di atas mobil mengantar anak-anak kita, mengantarkan keluarga kita, mencari sejenak takjil di jalanan, hingga berjam-jam kita melewati Ramadhan di atas kendaraan dengan segala pikiran.

يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا۟ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Alquran ini mahjura (diasingkan) “. (QS. Al-Furqan 30)

Kini berjam-jam terwsebut, kita bisa gunakan sebagai extra time  untuk berinteraksi dengan al Qur’an. Sehingga kita bisa memulai kembali mengeja makna kalam suciNya, yang mungkin selama ini kita lupa membukanya, ataupun membukanya tanpa membaca artinya, atau membaca artinya tanpa merenungkannya.

يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا۟ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Alquran ini mahjura (diasingkan) “. (QS. Al-Furqan 30)

Dulu, kita tak kuasa menolak bagaimana undangan buka bersama dengan segala menu di berbagai restoran, kafe,  dan tempat makan. Kini, kita bisa menentukan masakan sehat sendiri di rumah, merancang makanan apa yang akan kita makan, yang dengan makanan sehat itu menjadi wasilah bagi Allah menjaga tubuh ini.

Dulu, setiap malam kita akan pergi ke masjid. Kita membawa kendaraan dan sibuk memarkirkannya. Berbincang, bercengkrama, mengobrol ke sana ke sini. Kini, kita “dipaksa” untuk berdiam di rumah, memperbanyak berbincang melalui kalamNya yang sudah kita lupakan selama ini.

Dulu, kita mungkin akan ke masjid, atau bermalasan di rumah. Kini kita kembali kembali menjadikan rumah kita tempat sujud, seperti sang Nabi yang hanya beberapa kali saja melakukan qiyam di Masjid. Merasakan spirit qiyam yang sesungguhnya, berdiri hanya berdua denganNya.

Rumah, menyimpan segala kerinduan dan keamanan. Menyimpan segala rahasia dan privasi sehingga kita bisa melakukan qiyam, tarawih, berdiri selama yang kita mau, membaca surat yang kita kehendaki, tanpa khawatir komentar orang lain.

Spirit qiyam inilah yang kita temukan dalam ramadhan tahun ini. Kita bisa bangun malam dengan suasana syahdu, tanpa menanti imam dengan suara merdu yang menghiasi media sosial. Hanya perlu kita berdua denganNya.

Momen yang sangat langka saat ramadhan, melakukan percakapan denganNya walau dengan terbata. Bukankah di masa sulit seperti ini, kita sedang membutuhkanNya lebih dari saat –saat biasa ketika kita dulu melupakanNya?

Pada momen ini, percakapan privat antara kita denganNya, lebih kita nikmati ketimbang berburu ‘imam tarawih’ dengan langgam syahdunya. Kita yang membutuhkan kesehatan, lindungan, rezeki, memohon dengan segala kerendahan hati, setiap malamnya di rumah masing-masing.

Dulu, kita sangat sibuk, jarang sekali duduk bersama keluarga dalam waktu lama. Kita akan sibuk ke masjid, sibuk bekerja, sibuk menghadiri buka puasa bersama, dan acara-acara lainnya.

Kini, kita bisa kembali duduk bersama anak istri, bersama ayah bunda, bersama kakak adik, bersama suami istri, bersama keluarga. Walaupun terpisah jarak, kita semua berdiam di rumah, selalu ada jeda untuk bersilaturahim via aplikasi, saling meningatkan, menyambung yang telah lama terputus.

Di momen-momen langka ini, kita bisa duduk bersama, mempelajari Ilmu-ilmu baru, memulai kembali membuka mushaf walau sudah lama kita tak membukanya. Kita bisa mengeja beberapa lembar pelajaran bersama, shalat beberapa rakaat bersama. Kesempatan ini yang akan berbekas beberapa dekade selanjutnya jika Allah izinkan kita melewati masa-masa ini.

Dulu, kita begitu menikmati beragam menu berbuka dan sahur, dengan segala keriuhannya. Kini, di tengah keterbatasan kita, kita kembali hidup “pas-pasan”, sederhana, memakan apa yang benar-benar kita butuhkan.

Dulu, kita menjadi ‘host’ buka bersama, saling menikmati santapan hanya berbagai kepada kerabat dekat dengan segala rupa menunya. Kini, kita ingn berbagi berbuka kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Yang telah kehilangan pekerjaan, mahasiswa yang tak bisa pulang kampung, para pekerja harian, entah itu saudara, tetangga ataupun orang yang tak kita kenal, atau bahkan diri kita sendiri.

Dulu, kita bisa berbagi kepada para pengungsi di luar, para penyintas perang, korban konflik, para orang-orang dhuafa di pelosok. Kini, kita melihat mereka semua seakan berada di dekat kita. Yang berbeda beberapa rumah dengan kita, beberapa gang dengan kita, atau bahkan itu adalah kita sendiri.

Sebuah kesempatan langka, ketika kita bisa merasakan nikmat berbagi di kala susah.

Dulu, kita mendengar tentang kabar orang-orang di Gaza, Rohingya, Uighur, orang-orang yang hidup di kamp-kamp pengungsian, yang dipenjara karena pertahankan keyakinan. Kini, boleh jadi hanya beberapa persen kita mengalaminya, diam di rumah, tak bisa kemana-mana, hidup dengan kesulitan yang mereka rasakan sehari-hari, mereguk sejumput empati.

Dan kita bersyukur atas kehidupan kita sebelum hari ini. Kita kembali menemukan makna syukur, bahwa begitu banyak nikmatNya yang tercurah, namun kita lupa untuk bersyukur selama ini.

Ramadhan kali ini benar-benar berbeda!

This is a different frame of mind. Do not approach this ramadhan as if it is going to be worst. We have the potential that this ramadhan is best ramadhan of our lives, the sweetest ramadhan that is ever experienced -Dr. Yasir Qadhi –

***

Kita memasuki ramadhan di tengah pandemi, di tengah ketakutan, di tengah kegelisahan, ketidakpastian, hingga kelaparan menyapa. Sebagaimana Maryam juga mengalami kepayahan, kesulitan, hingga keinginan untuk sesuap pangan.

Lalu, dengan rahmatNya, Allah berfirman kepada Maryam

وَهُزِّي إِلَيْكِ
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma”

Bisa saja Allah langsung menurunkan kurma itu sebagai mukjizat, tapi Allah meminta Maryam menggoyangkan pohon kurma tersebut dengan sedikit upaya di tengah kepayahanya ketika hendak melahirkan.

Kita memasuki ramadhan di tengah pandemi, di tengah ketakutan, di tengah kegelisahan, ketidakpastian, hingga kelaparan menyapa. Sebagaimana Musa yang sedang terdesak, terjepit, panik, takut, hingga tak ada tempat untuk berlari.

Lalu, dengan rahmatNya, Allah berfirman kepada Musa

اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ

“Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. 

Bisa saja Allah langsung membelah lautan, membuka jalan untuk Musa dan kaumnya, tetapi Allah meminta Musa untuk memukulkan tongkatnya dengan sedikit upaya di tengah kegelisahannya ketika berhadapan dengan balatentara Fir’aun.

Jika turunnya mukjizat saja, Nabi Musa diperintahakan untuk berusaha memukulkan tongkatnya, sehingga lautan terbelah, apalagi dalam kondisi kita sekarang!

Kini, di tengah keterdesakan kita, di tengah kesulitan kita, di tengah kegundahan kita, di tengah kelaparan kita, di tengah sakit kita, masih ada secercah harapan. Dengan “sedikit” usaha kita mendekat kepadaNya di Ramadhan ini, semoga pertolongaNya akan segera tiba.

Dengan sedikit kepedulian kita, dengan sedikit terbata-bata kita ketika membaca Qur’an, dengan sedikit sedekah kita, dengan sedikit upaya kita untuk mengenakan masker, dengan sedikit upaya kita tetap di rumah, dengan sedikit memperhatikan kerabat, dengan sedikit upaya kita, dengan sedikit niat kita untuk menujuNya, akan kembali kebaikan kepada diri kita. Marhaban ya Ramadhan!

@rizkilesus, 2 Ramadhan 1441 H

 

 

Teruntuk Kamu

IMG_1978

Teruntuk kamu yang kini jenuh berdiam di rumah

Kamu tidak sendiri

Teuntuk kamu yang kini berada di jalan berpeluh

Kamu tidak sendiri

Teruntuk kamu yang kini gundah dan resah

Kamu tidak sendiri

Teruntuk kamu yang kehilangan mata pencaharian

Kamu tidak sendiri

Teruntuk kamu yang lapar tak kuasa bersantap

Kamu tidak sendiri

Teruntuk kamu yang tak bisa menikmati shalat berjamaah

Kamu tidak sendiri

Untuk kamu yang tak bisa kembal ke kampung halaman

Kamu tidak sendiri

Teruntuk  kamu yang sudah lama tak bersua keluarga

Kamu tidak sendiri

Teruntuk kamu yang hanya bisa bersua dengan ponsel

Kamu tidak sendiri

Teruntuk kamu yang berjuang di garis depan

Kamu tidak sendiri

Teruntuk kamu yang akhirnya merasakan kehilangan

Kamu tidak sendiri

Kamu tak pernah sendirian

 

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna kebersamaan

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna sesuap nasi

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna mencintai pekerjaan

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna kesederhanaan

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna berbagi

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna shalat

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna keluarga

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna waktu luang

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna perjuangan

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna kekuatan

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna keberanian

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna sebuah doa

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna harapan

Teruntuk kamu yang menemukan kembali makna syukur

Kamu tidak pernah sendirian

@rizkilesus, catatan setelah satu bulan menjalani #dirumahsaja,  Sya’ban (April 2020) jelang Ramadhan 1441 H