NANCY, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya seorang professional. Padahal ia sudah 10 tahun menikah. Sebagai itu rumah tangga dengan 2 orang anak, Nancy begitu menikmati kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong sejahtera.
Tapi, Nancy ternyata telah “kerasukan” faham kesetaraan gender. Ia menjadi tidak nyaman berkeluarga. Mengurus rumah tangga tiba-tiba serasa seperti pembantu atau budak.
Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Berger The family now appears as an age-old evil. Heterosexual is rape, motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power (Keluarga sekarang Nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah perkosaan;peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan). Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap dirinya. Meski itu tidak secuilpun terbesit dalam pikiran suaminya.
Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat di dalam rumah tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak sejaya mantan suaminya. Rumah tangga dan anak-anak masih diurusnya sendiri dan nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya banyak masalah yang tidak mudah dihadapi. Di dalam benaknya terdetik penyesalan “ternyata sendiri itu tidak nyaman”. Tanpa suami hidupnya terasa pincang. Benarlah wisdom dari Nabi: “Sungguh miskin! Wanita tanpa laki-laki. Sungguh miskin! Laki-laki tanpa wanita”. Kalau saja Nancy pernah membaca hadith ini dia tentu akan mengumpat para feminis atau berfikir panjang untuk cerai. Asalkna dia tidak membaca hadith itu dengan hermeneutika.
Mimpi Nancy adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmo yang sarat kepentingan sesaat dan selalu berubah-rubah. Mimpi Nancy adalah misi postmo, yakni membangun persamaan total. Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi “persamaan adalah keadilan”. Artinya kerja menyetarakan adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyamaka-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relitvisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting-post postmodern.
Tapi penyamaan adalah utopia fatamorganis. Menjanjikan tapi tidak menjamin. Membela tapi utnuk menguasai. Sebab para pakar di Barat yang sadar mengkritik misi ini. Di tahun 1715-1747 Marquis De Vauvenargues sudah wanti-wanti “alam tidak mengenal kesamaan; hukum, yang berlaku adalah subordinasi dan ketergantungan”. Hampir seabad kemudian James Anthony Fuller, (m.1894) mengulang pesan Marquis “Man are made by nature unequal, it is vain, therefore to treat them as if they were equal”. Fakta sosial juga menunjukkan bahwa in-equality antara sesame laki-laki sekalipun bisa diterima. Apatah lagi laki-laki dan wanita. Fakta biologis menjelaskan struktur tubuh laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu Dr. Ratna Megawangi dengan tepat dan cerdas memberi judul bukunya “Membiarkan Berbeda”.
Jika demikian apa berarti tuntutan equality tidak universal? Memang! Sebab kebebasan dan persamaan adalah bagian dari America’s core culture (Fukuyama). Malahan, kata Roland Inglehart dan Pippa Norris kesetaraan gender, kebebasan seks, perceraian, aborsi, dan hak-hak gay adalah cirri khas Barat. Maka benturan Islam-Barat adalah Sexual clash of Civilization, tulisnya. Itulah, equality memang tidak universal.
Tapi mengapa kini tiba-tiba menjadi seperti universal? Sebab equality satu paket dengan Westernisasi, modernisasi dan globalisasi. Mulanya (abad 19 hingga awal abad 20) hanya sekedar menuntut kesamaan hak pilih, tapi kemudian (1960-an – 1980 an) persamaan bidang hukum dan budaya. Periode selanjutnya (1990 an) adalah evaluasi kegagalan gerakan pertama dan intensifikasi gerakan kedua.
Penyebarannya berbasis teori Foucault – “untuk menjajak pemikiran kuasai wacana!” caranya, semua bangsa dan bahkan agama didorong untuk bicara gender. Yang menolak berarti ndeso alias kampungan. Strategi dan aplikasinya menjadikan kesetaraan gender sebagai neraca pembangunan di PBB. Pembangunan diukur dari peran wanita didalamnya dalam bentuk GDI (Gender Development Index).
….Tapi benarkah peran wanita dapat menjadi neraca pembangunan? Ternyata tidak. Di Negara-negara seperti Jepang,Korea, Singapura, Amerika Serikat dsb telah ada equality dan equal opportunity dalam pendidikan dan pekerjaan. Tapi itu tidak juga mengangkat share income dalam keluarga….
Korelasi antara equality dan kemajuan pembangunan tidak terbukti. Prosentase anggota parlemen di AS misalnya hanya 10.3% di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%, sedangkan Indonesia 12.2%. meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapura dan Jepang dalam semua bidang, khususnya pembangunan ekonomi.
Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dsb total equality tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu rumah tangga masih banyak diminati. Di Jepang para wanita praktis tidak bekerja ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi tidak ada pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Negara.
….Lucunya, di negeri ini ulama, kyai dan cendekiawan Muslimnya tergiur untuk “mengimpor” faham kesetaraan ini. Mereka menjadi pongah lalu melabrak syariah. Fikih empat mazhab itu “dicaci” sebagai terlalu maskulin dan harus dirombak. Ayat-ayat gender ditafsir ulang demi equality. Yang muhkamat (pasti) dianggap mutasyabihat (ambigu)….
Akhirnya, lahirlah konsep fikih berwawasan gender, lesbianism dianggap fitrah dan perilaku homoseks dianggap amal saleh. Lucu! Bak shalawat dilantunkan secara rap atau R&B, atau bagaikan masjid dihiasi pohon natal.
Jika para pegiat feminisme, mendapat berbagai awards dari Barat tidak aneh. Semakin galak menista syariah semakin bertaburan awards-nya. Tapi ide penerima awards tidak berarti benar dan sebaliknya. Sebab dari penelitian Yayasan Ibu Harapan di 6 kota besar di Indonesia, gagasan fikih itu ditolak oleh 90% responden dari 500 muslimah. Ide persamaan hak waris pun ditolak 91% responden. Bahkan mayoritas (97.4%) tidak sepakah dengan ulah Aminah Wadud menjadi imam. Apalagi perilaku Irsyad Manji dan pendukungnya di negeri ini yang lesbi itu.
Masalahnya apakah tuntuan kesetaraan itu setingkat 50-50? Jika benar, apakah tuntutan hak juga perlu disamakan dengan pelaksanaan kewajiban, khususnya dalam agama? Padahal dalam Islam ada hak-hak (huquq) dan kewajiban (wajibat). Jika kesetaraan penuh tidak mungkin, apa saja yang harus disamakan?
Mungkin benar pepatah Latin kuno yang berbunyi Omme Smile claudicate itaque de singulis verbis age (semua persamaan itu pincang, oleh karena itu jelaskanlah secra rinci). Dan sungguh benar firman Allah bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita meski tidak harus beda surga [oleh : Direktur INSIST, Dr. Hamid Fahmy Zakarsy -Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Vol III No. 5 2010]