Kebebasan

Oleh: M Rizki Utama

Semua orang bergembira, semua orang senang, semua bahagia. Setiap orang berbas bersuara apapun. “Terserah saya mau ngomong apa saja, itu bukan urusan anda!” Katanya. Zaman ini adalah zaman bebas berbicara apapun. “Ini hak kami berbicara, anda ngga usah ngurusin orang lain,” teriaknya sambil melarang orang lain berbicara kebenaran.

Untuk urusan kebenaran, nanti dulu. Semua itu sama saja. Tidak ada yang absolut. Semua relatif. (All is relative). “Itu kan menurut anda!”. ‘Semua relatif’ sudah menjadi doktrin dan dogma yang harus diimani. “Merasa benar itu hukumnya ‘haram’,” ungkapnya. Tidak ada yang absolut. Semua bisa –bisa saja. Lesbian bertakwa, Pezina berhati baik, semua bebas-bebas saja. Mendukung kesalahan sama dengan mendukung kebenaran, karena begitu menyenangkan semua pihak, kecuali pemegang teguh kebenaran.

Baik, buruk, semua sama!. Boleh disampaikan. Melarang menyampaikan yang buruk adalah ‘dosa besar’. Semua orang menyalahinya, katanya “Tidak menghargai kebebasan berpendapat”. Semua bebas berpendapat. Semua sama, tidak ada otoritas. Yang benar sama baiknya dengan yang salah. Eh ternyata salah, yang benar malahan jadi buruk.

Nyatanya, terjadi kontradiksi. Kalau bilang semua pendapat benar, berarti Ia harus mendukung pendapat yang bersebrangan. Tapi nyatanya, Ia menyalahkan. Bebas, tapi bebas yang sesuai pendapatnya saja. Kata Noam Chomsky “Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak anda sukai”. (If you’re in favor of freedom of speech, that means you’re in favor of freedom of speech precisely for views you despise)

Kalau berbicara atas nama moral, keadilan, norma masyarakat itu sah-sah saja.Tapi kalau bawa-bawa agama, dilarang. Menolak penampilan artis luar negeri atas dasar norma dan adat itu halal, tapi kalau menolak karena larangan Tuhan itu haram. Agama di haramkan oleh para penganut kebebasan ini. Bebas berbicara apa saja,asal jangan –jangan bawa agama. “Sorry, if you talk about religion, I’am quit! Because it’s about privat, not public”.

Barat memang seperti itu. Teriak bebas berbicara, tapi melarang Dr. Yusuf Qaradhawi (ulama Islam) berbicara di beberapa Negaranya. Termasuk melarang menghina negaranya. Ini artinya sebebas-bebasnya berbicara, dibatasi oleh aturan dan norma-norma yang ada. Tidak ada yang bebas mutlak. Tidak pernah terbayangkan, seorang menghina orang tuanya, atau seorang panglima tentara bebas merobohkan pangkalan dan membunuh anak buahnya.

Mengutip pernyataan Dr. Hamid Fahmy, “Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr. Ia menyatakan bahwa proteksi terhadap kebebasan berbicara yang paling ketat sekalipun tidak dapat melindungi seseorang yang bohong berteriak kebakaran dalam sebuah gedung bioskop dan mengakibatkan kepanikan. Dalam bahasa agama, orang bisa melindungi kebebasan bicara tapi tidak bisa melindungi kebebasanmenghina agama.

Juga kata H. S. Mill, tentunya kebebasan tersebut kebebasan yang bertanggung jawab yang diatur oleh hukum. Ini berarti sejak awal sudah ada kesadaran bahwa sebesar apapun hak kebebasan oranguntuk berbicara, ia akan dibatasi kebebasan orang lain. Kebebasan tidak boleh menghina, merendahkan, melecehkan, menyudutkan ras, agama dan kepercayaan lain juga tidak boleh merusak kehormatan atau melukai perasaan orang lain.”

Lucunya, menghina orang tua tidak boleh, tapi menghina Tuhan boleh. Menghina agama boleh bersuara. “Kita dengar dulu, dia ingin berbicara,” katanya. “Biarkan dia diskusi dong!”. Alkisah Muntazar al-Zaidi yang melempar George W Bush dengan sepatu ternyata di Penjara. Tapi yang bebas berbicara membenarkan yang salah itu bebas berkeliaran. Menghina presiden di tangkap, tapi menghina Tuhan didukung dengan dalih kebebasan. Bahkan ada yang sampai membunuh Tuhan. Membunuh manusia saja, dianggap kejahatan luar biasa, apalagi membunuh Tuhan?. Setiap orang berhak berbicara. Doktrin postmodern membuat jutaan orang taqlid.

Ternyata memang, kebenaran di Barat selalu berubah-ubah. Milton pernah membuat brosur yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, dan illegal. Tapi argumennya, itu adalah kebebasan berpendapat individu. Tambahnya, yang membentuk benar salah, khususunya standar kebenaran adalah gabungan pendapat individu. Setiap individu bebas menemukan kebenaran masing-masing. Masalahnya, standar kebenaran ditentukan mayoritas, tapi juga tergantung pada individu masing-masing. Kebenaran yang bersumber dari Tuhan jadi bias

Dilarang ada pemaksaan pendapat, semua benar, atas nama apapun, di manapun, atas nama individu atau institusi, termasuk atas nama kebenaran. Tidak boleh! Kebenaran sama benarnya dengan yang salah. Lho? Jadinya kalau semua benar, artinya tidak ada kebenaran!.

Tetapi ada pengecualian, khusus bagi pengusung ide kebebasan ini, mereka boleh melakukan pemaksaan kehendak, pendapat, juga pensitaan. Lihat saja, media-media , majalah, televisi, online, sah-sah saja untuk memaksakan pendapat. Kalau individu, dihabisi atas nama kebebasan. Kalau institusi harus dibubarkan, karena tidak sejalan dengan pemikirannya. Karena kebenaran itu absolute, yaitu kebebasan itu sendiri.

Semua sepakat. Yang menentang diteriaki ‘tirani minoritas’. Bagi para pengambil keuntungan, tukang bicara agama tanpa ilmu, tentunya, kebenaran tentang kebebasan ini sangat menggiurkan. Enak memang, bilang “itu kan budaya arab saja”. Bongkar sana sini prinsip agama. Merobohkan bangunan agama, Enak memang, bisa berteriak tentang keyakinan, tanpa khawatir mendapat pertentangan karena memegang teguh kebenaran. Memang nikmat, bersembunyi di balik kebebasan.

Lesbianisme dan Homo, atas nama kebebasan itu boleh dilakukan. Tidak perlu lagi malu, takut, malah bangga, berkeliling Negara mempromosikan. Hanya Tuhan yang absolute benar katanya, kalau Anda relatif. Awalnya hanya ottologi (wujud ) Tuhan. Dengan meyakinkan berteriak, ‘Hanya Tuhan saja yang berhak menghakimi’, sambil dirinya menghakimi Tuhan. Niatnya, hanya dalam ontologi. Tapi, karena nggak konsisten, Epistemologi di bawa-bawa.

Hadits yang dari nabi, dianggap relatif. Ayat-ayat Qur’an pun dianggap relatif, karena yang absolut hanya Tuhan. Padahal Tuhannya bilang, kebenaran itu dari Tuhan, bukan bilang kebenaran itu pada Tuhan. Artinya Kebenaran itu wujud dan eksis ada diberikan oleh Tuhan di tengah-tengah manusia.

Kata Thomas F Wall, dalam Thinking about Philosophica , “Kalau meyakini kebenran absolut dari Tuhan berarti bawhwa nilai-nilai moral yang mulapun berasal dari Tuhan”. Kalau ada yang bilang moral itu hasil kesepakatan manusia, tentu ia tidak percaya pada yang mutlak dan absolut. Anda benar saya benar semua yang berbicara benar artinya tidak yakin bahwa Tuhan itu mutlak dan absolut, kebenaran itu dari Tuhan.

Sekarang, Tuhan harus ngikut manusia. Ia tidak boleh menjadi tiran, namun sejatinya, para pengusung kebebasan yang sebenarnya menjadi tiran. Tuhan tidak boleh ikut campur, “Bagi yang tidak setuju, sudah diam saja dirumah,tidak perlu tidak perlu urusi urusan kami, cukup diam!” geramnya, sambil menyuruh diam kebenaran.

Kalau Tuhan melarang lesbi dan homo, tapi bagi mereka, Tuhan dilarang melarang orang yang ingin menyebarkan aturan yang Tuhan larang. Kalau kata Tuhan dilarang pornoaksi dan pornografi, maka Tuhan dilarang mengatur-atur tentang hal ini. Kalau Tuhan melarang zina, maka Tuhan dilarang melarang orang yang berzina, karena katanya ini urusan privats. “Sstt, Anda diam saja Tuhan!”. Ia tidak sadar, bahwa dengan dalih kebebasan, Ia telah menjadi ‘Tiran’ sejati. Mengerikan. Tirani Kebenaran!

Pendidikan

Oleh: M Rizki Utama

Alkisah, ada suatu teriakan yang menggemparkan, “Agama ya agama, organisasi ya organisasi”. Di sisi lain, “Sorry sir, this is education, not religion”. Jadi, pendidikan ga usah bawa-bawa agama. “Cukup di mesjid saja” katanya. Tapi lucu, dirinya sendiri nggak mau ke mesjid.

Inilah wajah para penyingkir agama tapi ngaku beragama. Why? Ternyata, kata Professor Hans Joachim Sander, Guru Besar systematic theology Universitas Salzburg, memang niatnya menindas agama, menyingkirkan agama. Nama alatnya sekulerisme, pluralisme, demokratisasi, dll.

Agama menjadi sesuatu yang harus dijauhi. “Haram” hukumnya beragama. Cukup disimpan di hati saja, ujarnya. Kok bisa seperti ini? Kata Dr. Hamid Fahmy, M. Phil, karena worldviewnya sekuler. Jadi, ungkapan dilarang bawa –bawa agama sendiri tidak objektif, karena alam pikirannya sudah ngikut Barat. Trauma akan agama ada di Barat. Memang, di Barat, agama bermasalah. (bisa lihat tulisan Tuhan, agama, dan manusia; Sekuler; Liberal). Karena Tuhannya juga bisa jadi bermasalah. Makanya, moralitas di Barat bermasalah juga. Semua ditentukan manusia, kata Feurbarch, Nietszhe, Hegel,dkk.

Objek Tuhan dipindah ke manusia. Thomas Lickona seorang pendidik karakter dari Cortland University, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika bilang, seharusnya moralitas menjadi penting untuk pendidkan, tapi nyatanya Amerika menjadi negara dengan tingkat seks bebas tertinggi, perampokan, kriminal. Ya, barat memang maju, tapi tanpa Agama. Makanya, Edward Said, dalam bukunya yang legendaris, Orientalisme, bilang “Timur adalah masyarakat dan bahkan spirit yang menakutkan Barat”.

Namun, kata Capra dalam bukunya The Turning Point, kebangkitan sains di Barat juga telah menggantikan jiwa manusia dengan akal pikirannya. Tubuh manusia dianggap tak lebih dari sebuah mesin yang sempurna diatur, dan bekerja dengan prinsip-prinsip hukum matematika. Makanya ada ilmu psikologi. Problematika dunia Barat bukan sekedar problem intelektual, melainkan lebih pada krisis emosional, atau lebih tepatnya krisis eksistensial. Ketika sains menjadi menjadi agama baru, maka timbullah spiritual phatology, krisis makna, dan masalah kejiwaan lainnya. Agama Kristen telah lama ditinggalkan oleh pengikutnya, sehingga Barat sangat bergantung kepada psikologi untuk memahami manusia dengan segala problematikanya.

Mengutip peneliti INSIST, Dinar Dewi Kania, bahwa akhirnya psikologi berangsur-angsur mengadopsi filsafat materialisme dengan munculnya pemikiran Decartes, dan positivisme dari tradisi sains Cartesian-Newtonian yang mengubah secara radikal pokok kajian dan metode psikologi. Kemudian lahirlah aliran psikologi seperti behaviourisme dalam tradisi Watson dan Skinner, dan psikoanalisis yang berasal dari Freud. Sehingga pada awal abad ke 20, buku-buku teks psikologi telah kehilangan semua referensi tentang kesadaran emosi, dan kehendak (Graham, 2005 : 34).

Fenomena di atas tidaklah mengherankan, karena Barat memang memiliki kerancuan dalam mengkonsepsikan spiritualitas dan agama. Itu disebabkan pemikiran mereka yang dualistik, yaitu memisahkan antara dunia material dan spiritual. Sebagian besar ahli psikologi Barat memandang spiritualitas bersifat personal dan berada di ranah psikologis, sedangkan agama bersifat institusional dan berada di ranah sosiologis. Beberapa menyatakan bahwa agama diasosiasikan dengan konservatif (conservatism) dan spiritualitas dikaitkan dengan keterbukaan untuk berubah (openes to change) (Hood, 2009 : 9-10).

Makanya, semakin sekuler semakin rendah spiritualitasnya, kata Prof. David Thomas. Nampaknya Sir Mohammad Iqbal mengajarkan hal ini pada Barat. Karenanya, sekarang training spiritual menjamur di Barat. Pendidikan mulai mengarah ke arah spirituality. Kata Graham “Sebuah intitusi pendidikan di Amerika, yaitu Institut Esalen di Big Sur, California, pada awal pendiriannya di tahun 1966, mengundang eksponen dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari Kebudayaan Timur dan Barat, termasuk Yoga, meditasi, pengubah kondisi kesadaran, seni bela diri, tarian, pemuka agama, filsuf, artis, ilmuwan, dan psikolog untuk bertukar pandangan dalam seminar dan workshop serta program-program lainnya dalam rangka mewujudkan tujuan Institusi ini sebagai pusat pendidikan yang mencakup dimensi spiritual dan intelektual” (Dinar Dewi Kania, Pendidikan Spiritual-INSIST)

Pendidikan mulai diarahkan ke sana. Barat mungkin telat. Tapi nyatanya aneh, bau-bau “Jangan bawa-bawa agama mau diimpor ke Timur yang sejak awal diakui Barat memang memiliki spiritualitas. Karenanya, Iqbal menulis pesan untuk Barat berjudul Payam-i-masyriq (Pesan dari Timur). Pesan ini sebagai jawaban terhadap Goethe (1749-1832) yang bingung, mengapa Barat menjadi sangat materialistis. Ia berharap Timur dapat membawa nilai-nilai spiritual. Kata Iqbal “Moralitas dan agama itu penting , Bung! “ Katanya dalam Bang-i-Dara . “Peradaban yang hanya berdasarkan kapitalisme tidak akan berumur panjang”. Itu kurang asas moralnya, alias lack of wisdom.

Nggak puas, Iqbal menasihati Marx “Orang Barat kehilangan visi tentang surga, mereka berburu spirit dari Perut!” (Javid Namah). Setelah Marx, giliran Nietzsche (1884-1909). Ketika pikirannya buntu, ia menangis “whe is a man”. Sayangnya kata Dr. Hamid Fahmy Zakarsyi, M. Ed. M. Phil, mencari guru spiritual di Barat adalah sia-sia. Iqbal pun geregetan, ungkapnya “Kalau orang Barat itu (maksudnya Nietzsche) masih hidup hari ini, tentu akan kujelaskan tingkat kesadaran Ketunanan ini”.

Lebih lucu lagi di sini, orang berteriak, jangan bawa-bawa agama. Pendidikan yang baik harus sekuler! Padahal sekuler yang dari Barat sendiri mulai ditinggalkan. Para ahlinya bilang pendidikan terdiri dari dua aliran, yang pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kehidupan bermasyarakat.

Pendapat kedua lebih menekankan kepada peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. (B. Othanel Smith, William O. Stanley, dan J. Harlan Shores, Fundamentals of Curiculum Development, p. 548-551). Pertanyaanya, apakah masyarakat Barat bahagia dan mencapai intelektualitas dan kesimbangan jiwa, juga jiwa bermasyarakat? Nampaknya Barat masih harus berguru ke Timur.

Setidaknya, baik Barat maupun Timur sepakat, pendidikan bertujuan menciptakan manusia yang baik. Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is knowledge … to be good at something os a matter of knowledge”.

Tapi, kata Plato (428-348 SM), dalam Republic, tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Jadi, mencari kebenaran merupakan tujuan pendidikan. Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan moral. “Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).

Pertanyaanya, membentuk manusia yang baik menurut siapa? Dalam Islam, Prof. Al Attas menulis bahwa prinsip dasar dari filsafat pendidikan adalah meraih ridha Allah. Muhammad Abduh mengkritik hasil pendidikan yang pragmatis. Katanya “Pendidikan yang disampaikan sehingga murid bisa memperoleh pekerjaan sebagai tenaga admistrasi di sebuah departemen / perusahaan. Namun, hakikat bahwa jiwanya harus dibentuk dengan pendidikan dan dengan menanamkan nilai-nilai luhur sehingga ia menjadi manusia yang salih, yang dengannya ia bisa mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam institusi tersebut ( Fazlur Rahman, Islam and Modernity) Menurutnya, tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia.

Senada dengan Abduh, Prof Al- Attas menjelaskan tujuan tersebut adalah menciptakan manusia yang baik, Al Attas menulis “ Orang yang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadllan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakat ; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia yang beradab ( Risalah untuk Kaum Muslimin).

Baik mencakup adab dalam pengertian yang menyeluruh meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya ( Aims and Objectife, Al attas). Pengakuan yang ditanam progressif dalam diri manusia- mengenai tempat sebenarnya dari segala sesuatu dalam susunan penciptaan, yang membimbing seseorang pada pengenalan dan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dalam tananan wujud dan eksistensi (Filsafat dan Praktik Pendikan Islam Al Attas, Prof. Wan Mohd Daud)

Makanya, Dr. Hamid Fahmy menyimpulkan “Memilih kebaikan dengan mengandalkan intelektual semata tanpa penyertaan Tuhan dapat membawa orang kepada kekeliruan yang menyesatkan.. sebab ada hal-hal yang jauh melebihi apa yang dapat kita telaah secara inderawi. Sesuatu yang jauh diluar jangkauan definisi kita tentang makna “baik” itu sendiri. Namun Tuhan menuntut untuk ditemukan dan seharusnya menjadi relasi terbesar dari spiritualitas kita. Agama tidak sebatas retorika tentang jati diri dan pemikiran. Agama adalah terkait masalah yang jauh melebihi daya nalar dan intelektual kita.”Jadi, jangan ragu bawa- bawa Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk aspek pendidikan. Wallahu a’lam.

Kebenaran

“Semua adalah relative” (all is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaries asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa Tuhan, dan sabda tanpa nabi. Ia menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya ia doktrin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bias berkompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran daripada persahabatan.

Tidak puas dengan sekedar membenci, posmodernis lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan pseudo-teologi. Agama diadu dengan ideology. Doktrin “teologi” pluralisme agama berada di atas agama-agama. “Global Theology” dan “Transendent Unity of Religion” mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global diciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One. Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.

Bukan hanya itu. “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar,” sebab kebenaran itu relative. “Jangan terlalu lantang berbicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan,” karena kebenaran adalah relatif. “Benar bagi Anda belum tentu benar bagi kami,” semua adalah relatif. Kalau Anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan Anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kalimat bijak Abraham Lincoln “No one has the right to choose to do what is wrong” tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith nabi Idhaa ra’aa min kum munkaran… dan seterusnya bukan hanya dikategorikan salah oleh kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal. Jadi merasa benar menjadi semacam “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram.”

Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati.” Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men-“dakwah”- kan ayat-ayat syetan Nietzsche, tokoh posmodernisme dan nihilisme. “Kalau Anda mengklaim sesuatu itu benar, orang lain juga berhak mengklaim itu salah.” Kalau Anda merasa agama Anda benar, orang lain berhak mengatakan agama Anda salah.

Para cendekiawan muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan masih terlalu luas kalau hanya untuk umat Islam,” kata mereka, seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.

Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Di Sana tidak ada kebenaran mutlak (There exists no Absolute Truth).” Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau Anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan Anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “di Sana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “di Sana tidak ada kebenaran mutlak.” Tapi ini self-contradictory yang absurd.

Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% penganut Kristen missionaries dan 27% penganut atheis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga negara dewasanya percaya pada kebenaran mutlak (seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin posmo pun berubah: “Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan Anda pada orang lain.” Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Nah, tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.

Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “yang absolut hanyalah Tuhan.” Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif (mumkin al-wujud). Namun ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi. Al-Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa manusia (Arab), Hadith yang disabdakan Nabi, ijtihad ulama dan sebagainya adalah relatif belaka. Tidak absolute. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman al-Haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada di sini, di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Jadi, yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak.

Thomas F Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem, menyatakan, percaya pada Tuhan yang mutlak, berarti percaya bahwa nilai-nilai moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan (hal 60). Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan manusia, …..tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firman-Nya yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah para hukama’, “al-Naas a’daa’ maa jahiluu,”manusia itu benci terhadap apa yang tak diketahuinya.

[seri Pemikiran Islam : Dr. Hamid Fahmy Zakarsy (Direktur INSIST)]

Bagian Mana dari Quran yang Mukjizat??

Kalau saya membuat buku lalu mengatakan bahwa buku tersebut sudah mengalahkan kemukjizatan al Qur’an apakah anda akan setuju? Setuju tidak setuju saya akan bertanya apa standar yang anda gunakan? Kita sudah mengetahui bahwa al Qur’an itu mukjizat. Buktinya tidak ada yang berhasil memenuhi tantangan al Qur’an untuk membuat yang semisalnya. Hanya saja pertanyaanya bagian mana sih yang membuat al Qur’an tidak berhasil ditiru.

Bagian ini adalah bagian terakhir sekaligus paling berat dari seri kitab suci. Berat karena saya tidak menjalani pendidikan agama Islam secara formal khususnya mengenai bahasa arab dan ulumul Qur’an. Selain itu, menulis bagian ini seperti mengkompres buku Mukjizat al Qur’an-nya Quraish Shihab, buku yang cukup komprehensif mengenai mukjizat al Qur’an, menjadi satu artikel saja.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai sisi-sisi kemukjizatan al Qur’an ada baiknya diketahui sebenarnya apa itu mukjizat. Sebab sering kali banyak kejadian luar biasa yang kita sebut sebagai mukjizat. Padahal tidak tepat. Mukjizat adalah sebuah istilah yang memiliki makna khusus. Muhammad Ali Ash Shabuni dalam At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, sebagaimana dikutip oleh Sigit Purnawan Jati pada makalah berjudul Kemukjizatan Al Qur’an, menyatakan bahwa sesuatu baru disebut mukjizat bila memenuhi 5 (lima) syarat berikut:

1. Mukjizat itu berupa sesuatu yang tidak akan mampu didatangkan kecuali oleh Allah SWT.
2. Mukjizat itu berupa sesuatu di luar kebiasaan dan menyalahi hukum alam.
3. Mukjizat itu muncul dari orang yang mengaku sebagai nabi.
4. Adanya tantangan kepada orang yang mengingkari pengakuan suatu kenabian untuk mendatangkan perkara yang semisal dengan mukjizat itu.
5. Tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan perkara semisal mukjizat itu

Secara umum mukjizat al Qur’an dibagi menjadi dua. Pertama sisi kebahasaan al Qur’an dan kedua sisi kandungan al Qur’an. Sisi kebahasaan al Qur’an disepakati oleh semua ulama sebagai mukjizat al Qur’an walau berbeda pada rinciannya. Sedangkan sisi kandungan al Qur’an masih menjadi perdebatan.

Sisi kebahasaan
Kemukjizatan sisi bahasa sudah dirasakan semenjak al Qur’an lahir. Bila ditilik dengan teliti inilah yang menyebabkan para sahabat masuk Islam. Rata-rata mereka masuk Islam setelah mendengarkan al Qur’an dibacakan. Kita bisa ingat kisah Umar bin Khatab yang mendengar surat Thaha yang dialunkan dari dalam rumah adiknya. Bahkan musuh Rasulullah sampai tiga malam berturut2 mengendap-endap untuk mendengarkan al Qur’an.

Walid bin Mughirah, seorang pentolan kaum musyrik Quraish saat itu, telah mengakui kemukjizatan ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya saya telah mengenal seluruh sya’ir, melagukan, menyanyikan, menyairkan, menggenggam dan membelenggunya (menguasainya). Tapi al Qur’an itu bukanlah sya’ir”. Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya saya telah melihat tukang sihir dan berbagai bentuk sihir mereka. Tapi al Qur’an itu bukanlah seperti apa-apa yang ada dibisik-bisikkan oleh lidah tukang sihir itu dan juga bukanlah seperti apa yang mereka komat-kamitkan, demi Allah, sesungguhnya perkataan Muhammad sungguh manis. Akarnya merupakan kesejukan yang melimpah meruah, sedangkan cabangnya adalah bebuahan yang rindang”.

Kemampuan saya untuk mengungkapkan sisi kebahasaan al Qur’an sangat terbatas sehingga saya tidak bisa mengemasnya dengan lebih baik. Hal ini punya yang menyebabkan penulisan bagian ini selalu tertunda. Namun sebagai pengetahuan sisi kebahasaan al Qur’an saya salin dari makalah Sigit Purnawan Jati yang meringkasnya dari kitab Kepribadian Islam Jilid I karya Taqiyuddin An Nabhani.

Pertama, pilihan lafazh-lafazh dan susunan kata (tarkib). Al Qur’an telah menggunakan lafazh-lafazh dan susunan kata yang amat unik. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang lembut. Makna yang kasar, diungkapkan dengan lafazh yang kasar, dan seterusnya. Ayat yang menggunakan lafazh lembut untuk mengungkapkan makna yang lembut, misalnya:
وَيُسْقَوْنَ فَيِهَا كَأْساً كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيْلاً، عَيْناً فِيْهَا تُسَمّى سَلْسَبِيْلاً

“Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil” (Al Insaan : 17 -18 )

Bandingkan dengan ayat yang menggunakan lafazh kasar untuk mengungkapkan makna kasar berikut :
اِنَّ جَهَنّمَ كَانَتْ مِرْصَاداً، لِّلطَاغِيْنَ مآباً

“Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (An Naba’ : 21 – 22)

Kedua, Irama kata (nagham) yang digunakan. Susunan huruf-huruf dan kata-kata dalam Al Qur’an tersusun dalam irama khas yang unik, tidak dapat dijumpai dalam pembicaraan manusia, baik dalam sya’ir maupun dalam kalimat yang bersajak (natsar). Sebagai contoh, perhatikanlah firman Allah SWT :
فَلآ اُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ، الجَوَرِ اْلكُنَّسِ، وَلَيْلِ اِذَا عَسْـعَس، وَالصّبْحِ اِذَا تَنَفَّس

“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. Dan demi subuh apabila fajarnya telah mulai menyingsing.” (At Takwiir : 15 – 18)

Ayat di atas menyebutkan huruf “sin” secara berulang-ulang, yang ternyata sangat sesuai dengan makna yang hendak diungkapkan, yaitu keheningan malam dan menyingsingnya fajar. Juga ayat Kursy, misalnya, yang di dalamnya terdapat pengulangan huruf “lam” sebanyak 23 kali, dimaksudkan untuk merangsang pendengaran, sehingga dapat lebih menggugah seseorang untuk menyimak makna ayat dengan penuh perhatian.

Ketiga, kemampuan pilihan lafazh dan susunan kata dalam melingkupi makna yang beraneka ragam dan menyeluruh. Al Qur’an telah memberikan makna yang panjang lebar/mendalam dengan menggunakan lafazh yang ringkas. Misalnya, firman Allah SWT :
وَلَكُمْ فِي القِصَاصِ حَيَوةٌ

“Dan di dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.” (TQS. Al Baqarah : 179)

Penggalan dari ayat 179 tersebut di atas, lafazhnya sedikit. Tetapi bila diuraikan, maknanya akan panjang lebar. Makna ayat tersebut ialah, apabila seseorang mengetahui bahwa kalau dia membunuh akan dibunuh, maka hal ini akan mencegahnya untuk melakukan pembunuhan. Jadi, dengan qishash itu, akan lenyaplah kejahatan saling membunuh di tengah masyarakat. Dan dengan tiadanya pembunuhan, berarti akan terjamin kehidupan bagi masyarakat.

Al Qur’an menantang manusia untuk membuat yang serupa setidaknya dengan ketiga aspek di atas secara bersamaan. Mungkin bisa jadi ada orang yang bisa memilih kata-kata yang tepat (secara fonetik) untuk suatu makna tetapi apakah setelah disusun akan memiliki irama yang unik? Bisa jadi susunan katanya membentuk irama yang menarik tetapi apakah pilihan bunyi kata sudah bisa mewakili maknanya. Belum lagi susunan kata tersebut tetap harus memperhatikan ketepatan makna dari nilai-nilai yang hendak disampaikan.

Ada sebuah kisah yang tepat dan menarik untuk menjelaskan hal ini. Pada suatu hari, Amr bin Ash, yang saat itu belum masuk Islam, datang ke Yamamah untuk berdagang. Disana ia bertemu dengan musailamah. Musailamah bertanya, “Apa lagi surat yang turun kepada temanmu di Makkah?” Amr menjawab, “Ada sebuah surat pendek tapi luar biasa, surat pendek itu memiliki makna yang amat dalam.”

“Coba bacakan untukku”, tantang Musailamah. Lalu Amr bin Ash membacanya.
وَالْعَصْرِ , إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ , إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ .

Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. “

Musailamah terdiam sejenak lalu ia mengatakan, “Telah turun kepadaku surat seperti itu” (Saya akan tuliskan transliterasinya. Mohon maaf bila transliterasinya kurang baku.)

“Ya wabr, ya wabr, innama anta udzunani wa shadr, wasa’iruka hasrun nakr.”

Mendengar ayat tersebut spontan amr bin ash mengatakan “Wallah, innaka lakadzib! Demi Allah, kamu pasti berdusta!”

Mengapa Amr yang masih kafir bisa mengatakan itu? Karena isinya! Kurang lebih begini. “Hai kelinci, hai kelinci, sungguh tampak padamu dua telinga dan satu dada. Dan disekitar kamu terdapat dbanyak lubang bekas galian.”

Kita bisa melihat upaya Musailamah mengikuti irama dari al Qur’an mungkin ia berhasil tetapi ia gagal memilih makna yang hendak disampaikan.

Rasyad Khalifa, seorang peneliti numerologi al Qur’an, memberikan tambahan syarat yang menarik. Menurutnya tandingan Qur’an yang dibuat setiap katanya harus memenuhi perkalian angka 19 plus banyak syarat matematis lainnya. Hal ini karena al Qur’an disusun dengan redaksi yang diatur.

Sisi Kandungan
Sisi kandungan al Qur’an setidaknya tersebut meliputi kabar kisah-kisah orang terdahulu, ramalan akan peristiwa yang akan datang, dan isyarat sebagian hukum alam yang tidak diketahui oleh manusia di saat turunnya al Qur’an.

Pemberitaan masa lalu misalnya tentang berita tengelam dan terselamatkannya jasad firaun. Seperti yang tertera pada ayat berikut

“Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak mempercayai kamu berdua.” (QS.Yunus:92)

Menurut Prof Dr Maurice Bucaille setelah meneliti mumi firaun mustahil mengetahui firaun tenggelam kecuali dengan pengetahuan modern. Bila dibandingkan dengan taurat ataupun injil yang menceritakan kisah ini tidak ada cerita tentang penyelamatan jasad firaun. Lalu dari mana Muhammad bisa mengetahui bahwa jasad firaun itu selamat.

Lalu mengenai ramalan peristiwa yang akan datang. Contoh yang cukup sering ditampilkan adalah tentang kekalahan Persia atas Romawi. Surat ar rum menceritakan kekalahan Romawi atas Persia dan berita kemenangannya beberapa tahun yang berikutnya.

“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakiNya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.” (TQS Ar Ruum: 1-5)

Terbukti tujuh tahun setelah kekalahannya, Romawi berhasil mengalahkan Persia. Dan menariknya pada saat yang sama, sesuai ayat di atas, kaum muslimin memenangkan perang badar.

Mengenai isyarat hukum alam ada contoh yang menarik dari buku pelajaran agama SMA kelas 3 yang masih saya ingat. Contoh ini sangat luar biasa. Alasannya jika dibanding dengan isyarat ilmiah lain, biasanya pengetahuannya masih berupa hipotesis artinya bisa benar bisa salah. Sedangkan pengetahuan ini tidak mungkin dibantah lagi. Perhatikan ayat berikut!

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut (نَمْلَةٌ): ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari'” (TQS An Naml: 18)

Ayat di atas menceritakan tentang seekor semut yang memberikan komando pada semut yang lain. Pada ayat ini digunakan kata ganti perempuan (muannats) untuk seekor semut tadi yaitu namlatun. Padahal mustahil pengetahuan 14 abad yang lampau menjelaskan bahwa pemimpin semut adalah ratu bukan raja!

Berbeda dengan sisi kebahasaan, kemukjizatan beberapa kandungan al Qur’an baru ditemukan kemudian. Hal ini akhirnya menimbulkan perdebatan apakan kandungan al Qur’an adalah mukjizat. Menurut Muhammad Husain Abdullah dalam Studi Dasar Pemikiran Islam setidaknya ada dua alasan mengapa perkara-perkara ini ditolak sebagai mukjizat dari al Qur’an.

Pertama, mukjizat itu mesti menunjukkan kelemahan manusia. Artinya selama ada yang bisa membuat cerita yang sesuatu yang terjadi di masa lampau atau memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang atau menjelaskan sebagian hukum-hukum alam maka tentangan itu terpenuhi. Misalkan ada orang yang membuat sesuatu yang memuat ketiga hal ini yang belum terbukti saat ini. Ia bisa dengan simpel menyatakan bahwa belum terbukti tidak berarti salah.

Kedua, Kemukjizatan itu mesti ada di setiap surat dalam al Qur’an. Karena setiap surat dalam al Qur’an mengandung mukjizat. Al Qur’an menantang membuat satu surat saja artinya dalam satu surat harus ada kemukjizatannya. Sisi kandungan seperti cerita masa lampau tadi tidak ada pada setiap surat. Surat an nas misalnya tidak mengandung satupun dari ketiga hal tersebut.

Sebenarnya perkara-perkara yang dianggap sebagai mukjizat tersebut merupakan dalil atas ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Terlepas dari apakah sisi kandungan ini merupakan mukjizat atau bukan tetap patut kita renungkan sebagai bukti kebenaran al Qur’an.

والله أعلم

Apakah Muhammad mengarang Qur’an (part 1)

Kemungkinan ini adalah yang paling sering dituduhkan kepada al Qur’an. Tentu saja karena memang nabi Muhammad adalah orang yang menyampaikan al Qur’an. Namun bila kita memperhatikan isi al Qur’an ada beberapa hal yang membuat al Qur’an mustahil berasal dari Muhammad.

Gaya bahasa yang berbeda
Apabila kita membandingkan hadits-hadits dengan ayat-ayat al Qur’an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub), padahal keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi, keduanya berbeda dari segi gaya bahasanya. Seringkali Muhammad membacakan al Qur’an dan sesaat setelahnya menjelaskannya dengan hadits. Para sahabat akan dengan mudah membedakan mana yang al Qur’an dan mana yang hadits karena masing-masing memiliki gaya bahasanya tersendiri.

Memang bisa saja ada orang bersandiwara dengan menggunakan dua gaya bahasa yang berbeda dalam pembicaraannya, namun bila dilakukan dengan frekuensi yang tinggi pastilah akan banyak kemiripan di antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Sedangkan pada al Qur’an dan hadits tidak ditemukan hal yang demikian. Bahkan dengan gaya bahasa orang Arab kebanyakan pun al Qur’an tidak memiliki kemiripan.

Fase lengkapnya al Qur’an
Semenjak turun pertama kali sampai al Qur’an itu lengkap menghabiskan waktu sekitar dua puluh tiga tahun, waktu yang cukup lama untuk menyusun sebuah buku. Manusia pada umumnya mengalami perubahan mental. Kadang ada fase ia gembira atau sedih. Al Qur’an disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian. Tentunya kondisi ini akan mempengaruhi kualitas dari al Qur’an. Tetapi al Qur’an tidak berubah mengikuti kondisi muhammad. Kalaulah mengikuti kondisi muhammad pastilah di sana akan banyak terjadi pertentangan.

Susunan Al Qur’an tidak mengikuti urutan turunnya. Namun kita bisa merasakan dengan jelas al Qur’an merupakan ungkapan yang mengalir antara satu dengan ayat lainnya. Ayat-ayat tersebut saling berkait dalam satu kesatuan serta tersusun secara rapi dan harmonis seperti telah direncanakan susunannya seperti itu jauh sebelumnya.

Muhammad seorang yang buta huruf
Bila ditilik sejarah hidupnya Muhammad sama sekali tidak pernah sempat bersekolah. Sejak kecil telah ditinggal orang tuanya. Sempat menjadi penggembala kambing lalu ikut menjadi pedagang. Pekerjaan berdagang saat itu tidak memakan waktu singkat. Dari satu negeri ke negeri lain menggunakan unta bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan.

Di sisi lain, buta huruf bukanlah sesuatu yang aib saat itu. Hafalan menjadi kebanggaan. Seorang penyair yang ketahuan menuliskan syair-syairnya akan dicemooh lemah hafalan. Penghargaan mereka terhadap kekuatan hafalan terus berlanjut sehingga dijadikan kriteria dalam periwayatan hadits.

Bila dikaitkan dengan al Qur’an, al Qur’an telah membahas berbagai aspek, baik masalah agama, ekonomi, politik, sosial, budaya, peradilan, bahkan mengenai alam semesta. Hal ini menunjukkan pembuatnya menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Apakah Muhammad yang buta huruf dan tidak bersekolah memahami setiap perkara secara mendalam lalu dengan mudah mengkompilasikannya dalam al Qur’an.

Altruisme dan pengorbanan Muhammad
Ada banyak kisah yang menunjukkan kebaikan Muhammad yang tinggi. Pernah suatu ketika selendang beliau ditarik dari belakang. Lalu orang tersebut menyatakan ingin selendang tersebut. Lalu Muhammad memberikan selendang itu. Di lain waktu Muhammad juga pernah menjenguk seseorang yang sangat membencinya ketika orang tersebut sakit. Padahal teman-temannya sendiri belum ada yang menjenguknya.

Di sisi lain ada banyak kisah yang menunjukkan pengorbanan Muhammad terhadap agamanya. Muhammad adalah seorang pedagang kaya sebelum menjadi nabi. Setelah menjadi nabi kekayaannya habis untuk berdakwah. Ia pun harus menerima perlakuan buruk dari kaumnya. Bahkan pada masa pemboikotan Muhammad sampai memakan sendalnya yang terbuat dari kulit unta. Pada akhir hayatnya nabi Muhammad tidak mewariskan apapun kepada keluarganya.

Alangkah sulit membayangkan orang yang berbohong atas nama tuhan dengan membuat al Qur’an melakukan banyak kebaikan dan pengorbanan. Mengapa tidak mengaku saja bahwa al Qur’an itu buatannya sendiri jikalau ia memang orang baik-baik yang memperjuangkan kebaikan versinya sendiri.

Kritik terhadap Muhammad
Di dalam al Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengkritik ketidaktepatan tindakan Muhammad. Seperti pada ayat-ayat berikut:

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena Telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), Sedang ia takut kepada (Allah), Maka kamu mengabaikannya.” [TQS Abasa: 1-10]

Atau
“Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar Karena tebusan yang kamu ambil.” [TQS al Anfal: 67-68]

Atau
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. [TQS al Qiyamah: 16-19]

Jika memang Muhammad yang membuat al Qur’an tidaklah masuk akal bila ia mengkritik diri sendiri atas keputusan yang ia telah ambil lalu mengabadikannya dalam al Qur’an.

Hanya yang perlu diperhatikan bahwa yang dikritik al Qur’an adalah ketidaktepatan pemilihan sikap yang diambil oleh nabi Muhammad bukan kesalahan yang berhukum haram karena nabi Muhammad tidak pernah melakukan dosa (maksum). Apa salahnya berdakwah ke pembesar Quraisy? Bukankah beliau diperintahkan berdakwah kepada siapapun. Hanya saja ketika ada orang yang bersedia didakwahi tentunya tidak tepat apabila tidak mendahulukan orang yang bersedia. Perkara-perkara seperti itu disebut khilaful aula (menyelisihi yang terbaik)

Tertundanya jawaban
Kita seringkali menjumpai kondisi di mana Muhammad ditanyai sahabatnya mengenai satu perkara atau ada suatu peristiwa yang perlu dikomentari segera. Tetapi tidak semuanya langsung beliau jawab, ada pula yang ditunda.

Bahkan pernah suatu ketika beliau ditegur oleh Allah dalam al Qur’an karena menjanjikan jawaban atas pertanyaan seorang sahabat keesokan harinya.

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini”. [TQS al Kahfi: 23-24]

Menurut sebuah riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada nabi Muhammad saw. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain, lalu beliau menyuruh mereka datang besok pagi kepadaya agar beliau ceritakan. Saat itu beliau tidak mengucapkan Insya Allah (artinya: jika Allah menghendaki). Tetapi sampai beberapa hari wahyu tidak pula datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi. Jika saja beliau yang membuat al Qur’an, untuk apa beliau menangguhkan jawabannya beberapa saat.

-Islam menjawab tuduhan
-notes fb Irfan habibie

Bagaimana Kita mengetahui Quran berasal dari Tuhan

Oleh : Irfan Habibie
Ini adalah pertanyaan penting kedua setelah pertanyaan apakah al Qur’an otentik. Pertanyaan apakah al Qur’an otentik baru menjawab apakah al Qur’an yang kita pegang sekarang sama dengan al Qur’an pada jaman nabi Muhammad. Kita tetap membutuhkan bukti al Qur’an berasal dari sang pencipta alam.

Ada dua cara membuktikan al Qur’an berasal dari sang pencipta. Pertama, melalui kemukjizatan al Qur’an. Kemukjizatan al Qur’an akan menunjukkan bahwa pembuatnya menguasai alam semesta sehingga tidak mungkin ada manusia yang membuatnya (insyaAllah dibahas pada artikel berikutnya). Kedua, melalui pembuktian rasional deduktif.

Pembahasan rasional deduktif ini dilakukan dengan mengumpulkan semua kemungkinan logis dari mana asal al Qur’an. Secara sederhana dengan mempertimbangkan sejarah, karena al Qur’an disampaikan oleh Muhammad maka kemungkinan yang logis adalah yang berkisar di seputar Muhammad. Kemungkinannya saya bagi menjadi tiga. Pertama, al Qur’an dibuat oleh Muhammad dengan idenya sendiri. Kedua, Muhammad “nyontek”. Dua kemungkinan ini berarti manusia yang membuatnya. Setidaknya dua kemungkinan ini juga yang dituduhkan para orientalis kepada al Qur’an. Ketiga, al Qur’an berasal dari sang pencipta sedangkan Muhammad hanya sekadar penyampai saja.

Walau terlihat logis, kemungkinan pertama dan kedua adalah kemungkinan yang sulit diterima bila dikaitkan dengan apa yang disampaikan dalam al Qur’an sendiri. Al Qur’an berkali-kali telah menantang siapapun yang meragukannya. Saat itu, tantangan ini khususnya ditujukan kepada musuh-musuh Muhammad.

Ataukah mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) membuat-buatnya”. Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar. [TQS Ath Thur 33-34]

Tantangan kemudian diturunkan menjadi sepuluh surat saja.

Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad Telah membuat-buat Al Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. [TQS Hud: 13]

Akhirnya tantangan tersebut diturunkan hingga satu surat saja.

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. [TQS Al Baqarah: 23]

Tantangan ini tidak sanggup mereka penuhi. Alih-alih membuat yang serupa mereka lebih memilih cara kekerasan kepada para pengikut Muhammad. Padahal cara paling jitu dalam menghentikan dakwah Muhammad adalah dengan membuat yang serupa dengan al Qur’an. Atau cukup dengan membuat satu surat terpendek saja yaitu al Kautsar yang hanya terdiri dari tiga ayat.

Bila memang al Qur’an ini buatan Muhammad atau ada karya manusia lainnya yang dicontek Muhammad maka seharusnya al Qur’an dapat ditiru dengan mudah. Kalau kita bandingkan dengan sebuah lagu misalnya ada sebuah lagu beraliran jazz. Maka seharusnya membuat yang serupa seharusnya mudah karena telah ada polanya. Bahkan tidak mustahil dapat dibuat sebuah karya beraliran jazz yang lebih indah. Kita bisa lihat juga saat ini ketika laris musik beraliran pop-melayu, ramai-ramailah lagu beraliran pop-melayu muncul.

Bila seluruh penentang Muhammad tidak bisa membuat yang serupa, pertanyaannya mengapa Muhammad mampu?

Al Qur’an juga telah menantang mereka yang ragu dengan tantangan yang lain, yaitu tantangan untuk mencari kontradiksi dalam al Qur’an. Karena seandainya al Qur’an ini buatan Muhammad, seorang manusia biasa, pasti akan banyak pertentangan dan kekurangan di dalamnya sebagaimana buatan manusia yang lain.

“Tidakkah mereka itu memikirkan Al-Qur’an? Seandainya Al Qur’an itu tidak dari Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (TQS an Nisa: 82)

Kekuatan al Qur’an yang tak dapat ditiru inilah yang menyebabkan Abu Dzar Al Ghifari, Umar bin Khatab, serta para sahabat lainnya masuk Islam. Kekuatan al Qur’an tersebut juga yang telah membuat para pembesar Quraisy musuh Muhammad harus sembunyi-sembunyi mendengarkannya sampai berulang kali.

Sherlock Holmes, dalam The Adventure of the Blanched Soldier, mengatakan “When you have eliminated all which is impossible, then whatever remains, however improbable, must be the truth.” (ketika engkau telah menghilangkan segala hal yang mustahil, maka apa pun yang tersisa, betapa pun sulit dipercaya, adalah kebenaran).

Setelah semua kemungkinan lainnya mustahil maka kita harus percaya, mau atau tidak, bahwa Allah lah yang membuat al Qur’an. Dan Dia lah tuhan yang esa, Pencipta alam semesta ini.

“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, Dengan bahasa Arab yang jelas.” [TQS. as Syu’ara: 192-197]

والله أعلم