Sekali Saja, Sedetik Saja

Uyghur
Muslim in China ( pic. aljazeera)

Tuan dan Nyonya

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Kami hanya ingin menghaturkan berjuta terima kasih

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Kami hanya terharu, rupanya masih ada yang mengingat kami

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Kami pikir sudah tiada ketika jasad kami dimasukkan ke dalam kamp-kamp

t-e-r-i-m-a  k-a-s-i-h

Atas masih adanya yang merindu kami

Seorang Ozil yang mengusik nurani kalian

Kami pikir, kami sudah musuh seluruh dunia

 

Tuan dan Nyonya

Di dalam kamp ini, di dalam ruangan mungil ini, sejujurnya kami ingin menangis

Tapi, air mata kami sudah kering

Kami tak boleh menangis

Kami harus selalu tersenyum

Ini bukan kisah mereka yang selalu tersenyum karena ‘smile’ di negeri Wano

Ini adalah kisah kami, yang kalian bincangkan selama ini

 

Sekali saja…

Izinkan kami menangis, bersujud, sedetik saja… Continue reading “Sekali Saja, Sedetik Saja”

Aku, Salman, dan Pak Achmad Noe’man

pa noeman dan aku

“Drrr…drrr…drrr…”

Handphone jadul yang saya kelola sesekali bergetar. Sepenggal pesan dari nomor singkat yang tak asing masuk, dari Ir. Achmad Noe’man.

Pesan-pesan yang sangat membangun dari seorang pembaca, sekaligus saat itu Dewan Pembina Yayasan Sinergi Foundation  (SF), penerbit Tabloid Alhikmah, tempat saya menjadi belajar jadi jurnalis beberapa tahun lalu .

Pesan sederhana seperti,’ besar huruf perhatikan’ hingga usulan tema yang kerap kali masuk ke hotline. Perhatiannya kepada dakwah begitu besar, sampai-sampai saya sendiri diundang untung berbincang beberapa kali, salah satunya membincang tentang kaligrafi.

Di senjakala usia, bicaranya masih sangat jelas. Dengan wajah cerah dan penuh semangat, sesekali berbahasa Sunda, beliau menyampaikan keinginannya kepada kami, yang denganku usianya bertaut lebih dari 60 tahun.

Achmad Noeman
Ir. Achmad Noe’man sedang menunjukkan contoh kaligrafi yang beliau buat (foto: rizkilesus)

Bavi ingin ada rubrik Kaligrafi, tebak surat kaligrafi yang Bavi bikin,” kata Ir. Achmad Noe’man sambil membopong tumpukan buku yang bersampul depan kaligrafi yang beliau buat.

Bavi merupakan panggilan karib beliau.

“Kalau anak-anak dan yang sudah akrab dengan beliau biasa panggilnya itu bavi bukan bapak, dan ibu kita panggil endot. Sedekat itulah kami bergaul dengan mereka, akrab tidak hanya sebagai orang tua tapi juga layaknya seorang sahabat,” kenang putera ke-2 Ir. H. Achmad Noe’man, kang Nazar Noe’man di Bandung.

Ceritanya, anak bertama Ir. Achmad Noe’man, (alm) Irfan Noe’man yang justru tidak bisa mengeja huruf ‘P’. Irfan pun memanggil ayahnya dengan panggiln fafi (papi). “Karena biar keren, maka dijadikan bavi saja sekalian,”tambahnya. Maka, panggilan bavi menjadi panggilan akrab Ir. Achmad Noe’man.

Dan saat itu, Bavi dengan wajah cerah mengeluarkan rancangan kaligrafi-kaligrafi yang bergenre Kufi untuk diusulkan menjadi rubrik kaligrafi.

“Saya ingin pembaca Alhikmah menebak kaligrafi ini dan dapat hadiah,” kata sang maestro.

Continue reading “Aku, Salman, dan Pak Achmad Noe’man”

Bukit Harapan

meriam bursa

Di atas bukit ini, aku menatap negeri para raja di hadapan laut biru

Di atas bukit ini, perjalanan sang waktu seakan terus menderu

Di atas bukit ini, temaram sendu menemani rintik salju

 

Cerobong asap yang mengepul

Titik cahaya dari bilik tirai yang terus bergumul

Tenimbun salju yang entah sedari tadi berkumpul

Atap rumah tua dan dinding-dinding yang terus timbul

 

“Dooooorrrr….”

Moncong meriam yang terus berdentum

Nanar mata hingga darah yang harum

Itulah Ibu Kota Romawi, Byzantium

Di atas bukit ini, usaha nyaris satu millennium

 

Yang sudah tercatat berabad silam, dari lisan sang Nabi

Di atas bukit ini, dengan kuduk mengigil, memeluk jaket kami sendiri

Menyusur jalanan tua kota tua dengan temaramnya

Mendaki kecil, menapaki perjalanan waktu yang seakan terhenti di sini

 

Kami tercekat

Terdiam sejenak

Kami berdiri di kota dengan berjuta kenangan

Kami berdiri di atas bukit dengan sejuta harapan

Kami berdiri menatap ribuan peninggalan peradaban

 

Aku pun beraharap

Aku ini kembali lagi ke sini, pada saatnya

Sambil berlama-lama menikmati sajian khasnya

Berjalan-jalan menikmati hijau masjidnya

Menuliskan sebait dua bait prosa untuknya

 

malam d bursa

@rizkilesus

Bursa, suatu Desember, menikmati salju pertama di Ibu Kota Pertama Turki Utsmani

Di Tempat Itu

suasana kamar
Di tempat itu, kami pernah mengayuh sepeda, sekaligus mengayuh mimpi

Di tempat itu, kami pernah
melabukan raga, sekaligus melabuhkan asa

Di tempat itu, kami pernah tidur berbantal tumpukan buku, berselimut rindu

Di tempat itu, kami kembali menemukan arti cinta sekaligus duka secara bersamaan.

Seringai tawa yang kian nyaring

Semilir angin senja di temani sepiring ketan dan segelas susu

Segenggam rindu dan doa mereka yang terus terlafal nun jauh di kampung halaman

Suara nyaring yang kian redup hingga sunyinya

Wajah mereka yang melekat hingga sirnanya

Lelah
Letih
Jenuh
Jemu

Teruslah mendengar, hingga lelah itu lelah mengejarmu

Teruslah membaca, hingga letih itu jenuh mengejarmu

Teruslah menulis, hingga jenuh itu jenuh mengejarmu

Teruslah berbicara, hingga jemu itu jemu mengejarmu

Kejarlah mimpi, sebagaimana dahulu kita tak pernah takut untuk bermimpi

Bukankah ketika kita menginjakkan kaki di tempat itu, mereka menaruh harapan?

Mereka yang menaruh asa
Yang lama tak bersua
Yang dalam sunyinya malam teringat kita

Tempat itu, di dalam riuhnya, selalu menyimpan ruang sempit untuk hati ini

Untuk kembali memaknai kehidupan

Bahwa kita berada di sana bukanlah belaka kebetulan

Every cloud has silver a lining

@rizkilesus, 8 safar 1441

Dalam safar malam di atas kereta menuju Ibu Kota, ditemani lagu “tunggu aku di Jakarta”

Hiatus

Hello my readers, It has been a long time no see you, particularly my regular readers hehehe. I apologize to all of the readers of this blog (in my data is around 1000 readers a day regularly), because of my hiatus, meaning that a pause or gap in a sequence, series, or process.

This is a consequence of my activity in the last a year, demanding me to pause blogger-related activities. However, my ‘real’ and writing activities in some media such as magazine and website is used to be, starting from writing to editing.

I realized that the last time I wrote was about a year ago, in beneath of tends in Sembalun Bumbung, Lombok Island, in which I wrote carefully because the aftershock happened frequently. The two previous articles were to tell about circumstance in refugee area in Lombok.

Afterwards, I came back to my activity as a writer. In the last year, I also had ended (concluded or ‘closed’) my magazine which I involved for a while (approximately 5 years). “Madrasah Alhikmah”, the title of my last article to close Alhikmah Magazine forever (or arguably, someday one who want to awaken this again).

Furthermore, in the last November 2018, I was no longer as a head of Digital Marketing ( responsible for providing contents, copywriting, design, poster, social media, and so fort) in a leading NGO in Indonesia, meaning that, as my intention to pursue Master degree, I decided to prepare, indeed, my preparation to attain my achievement.

Because of those, the ‘hiatus’ of this blog is inevitable. Therefore, the following activities afterwards were about learning, writing, reading, listening, speaking (all in English) to achieve the requested IELTS score.

Alhamdulillah, the bridge under the water, I had faced all of those, and nowadays, in this waiting time ( for scholarship, and so on), I have an opportunity again to write. I wish I could write as use to be, instead, as daily routine to write in this blog.

This blog, in this year, if I am not mistaken, is exactly 10 years old. In fact, I did not expect that my career, my life journey had spawned from this blog. I commenced writing whereby nowadays it can bring me even to travel around the world.

The extent to which I wrote in the initial years of this blog, you can see in so direct a manner in these provided articles. It was funny to see how the time changes me, how the experiences I gained changes me. It is often said that, the older you are, the wiser you should be.

I don’t know whether the time has altered me or not (let say that me just an immutable person). Surely, the given articles in this blog will exemplify that.

My 10 years experience in writing brings me to meet a new person everyday with various backgrounds, cultures, thoughts. This thousands of person, indeed, prompts me many things, one of which the writing style.

I got many input from those, regarding journalism, writing, reading, interaction, and so on. Thanks to all of you. I know, everyone has met me previously knew that I was very avoiding to interact each other by cyberspace, because it could be possible to reduce our quality time of our interaction in real life. However, meeting face-to-face lead us to gain a quality interaction, such as laughing together, discuss, and so on.

Indeed, don’t think that if we separate for a while in a far away, it means we cannot interact. Don’t we know that a person who prays secretly to their companions is the best relationship? Perhaps, we couldn’t meet physically, but we have a strong tie even to penetrate the sky because of our supplications.
I know, the advancement of technology today has changed many things, including how we behave each other.

In my opinion, there is always a place to interact directly without social media in the real life. Our dependency to technology excessively perhaps has altered us to the person without ‘ruh’ or spirit.

So that, Relish your life, write it and realize that every cloud has a silver lining. By this time, I will write again about hikmah, which I faced even in the simple things. I hope I could write frequently as usual previously. Welcome, welcome back to my self. Enjoy the dish of this blog.

@rizkilesus, 2019

 

Lebaran di Pengungsian

“Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar…”

Tetiba suara parau itu tercekat. Terhenti sejenak. “Allahu akbar…walillahilhamd..”

Kumandang takbir kali ini terasa berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya di dusun Jorong Sembalun Bumbung Lombok Timur. Idul Adha di pengungsian menyisakan ruang kesederhanaan yang hanya bisa diungkapkan lewat tangis yang membuncah.
Tangisan tak selalu bercerita kesedihan. Ia bisa menceritakan haru, bahagia, heran, seanng, atau malah rasa yang tak bisa digambarkan bahkan ketika air mata itu tumpah. Tangis memang menjadi sangat personal.

 

Sebetulnya, Hari Raya selalu menyimpan ruang kesederhaan dalam keriuhannya. Namun ketika kami berhari raya di pengungsian, segala kegemerlapan itu tetiba tak nampak.

Tak ada kunjungan ke rumah tetangga –karena rumah sudah hancur. Tak ada opor – karena baru saja kemarinnya gempa dahsyat kembali melanda. Tak ada takbiran ramai-ramai – hanya di masing-masing tenda ditemani dingin menggigit.

Dari balik terpal itu, kumandang takbir menyejukkan itu menyeruak mengisi malam.

Suasana itu memuncak ketika semburat pagi menyapa Sembalun Bumbung. Di lapangan itu, kumandang takbir serasa berbeda. Kepasrahan seakan menyapa, menikmati setiap momen dalam kesederhanaan.

IMG_0265

Continue reading “Lebaran di Pengungsian”