Sekuler


Oleh: M Rizki Utama

Suatu hari dalam diskusi sore, ada yang nyeletuk, “ Bagaimana kalau kita adakan pendidikan agama untuk program pembinaan karakter”. Tiba-tiba sekelompok orang protes, “Nggak usah bawa agama kedalam pendidikan karakter”. Di tempat lain “Agama nggak usah ngurusin urusan politik”. “ Religion menjadi suatu hal yang ‘makruh’. Mungkin bisa jadi karena penganutnya, kata Cherryl Benard. Istilah Harvey cox dengan bukunya yang sangat fenomenal dengan terjual jutaan copy, The Secular City, namanya Sekularisasi.

Saeculum (this present age). Atau mundus, dunia dalam bahasa latin yaitu mundus dan saeculum, Katanya, saat menjelaskan panjang lebar makna dari sekuler itu sendiri. Artinya bisa jadi mundus atau ‘dunia’ saat ini, yang digunakan menerjemahkan bahasa Yunan aeon, yang berarti zaman.

Saceulum sendiri artinya Here, now. Sekarang dan disini. Jadi, inti dari sekuler itu ‘zaman ini’ dan di ‘tempat ini’. Kalau ada istilah Teologi sekuler, kira-kira Teologi yang berarti Theos dan logos. ‘ilmu tentang tuhan’,zat yang tak berawal dan tak berkahir. Ketika di gabungkan, menjadi kontradiksi, disaat yang sama ia here and now, tapi juga Theos. bagaimana kita mengimplementasikan Ketuhanan dengan kekinian?. Mundus (dunia) dan akhirat (after death), sekarang dengan kehidupan nanti.

Karena mengikuti zaman sekarang, waktu, tempat, maka Prof. Al Attas menjelaskan bahwa sekulerisasi adalah sekularisasionisme yang selalu terbuka, kebenaran itu open – ended yang merupakan ciri-ciri eurocentrism. Kebenaran itu mengikuti tempat dan waktu, Here and now (saeculum). Ini yang dibantah juga oleh Pope John XIII The Secular City Debate, juga teolog Kristen lainnya seperti E. L . Mascall. Jadi, kebenaran mengikuti manusia pada zamannya di tempat itu. Hal ini pernah kita dengar dari gurunya Karl Marx, Ludwig Feurbach bahwa manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi. Malah katanya “religion that worship man”. Jadi kebenaran itu mengikuti kehendak manusia.

Oleh karena itu, sekuler awalnya laris. Karena here and now, Tuhan susah masuk, karena Ia tidak here and now. Dipisahkanlah, ada wahyu dan akal, ada agama dan sains. Namanya dualisme, nggak bisa bersatu. Sekuler, now. Sekarang , karena hanya memperhatikan dunia dalam worldview Barat yang kasat mata-fisis. Artinya, moralitas subjektif – relativis hadir disana, tergantung tempat dan waktu. Kalau sekarang Judi dilegalkan, masyarakat mengamini, itulah yang disebut sekuler. Moralitas, yang merupakan esensi agama jadi terkikis. Istilahnya “schooled and yet uneducated” telah bersekolah tapi belum terdidik.

Istilah Renaissace dan Enlightment di Barat jadi sangat terkenal. Kungkungan agama tidak ada lagi. Katanya, supaya agama dan gereja tidak campur tangan dalam urusan keduniaan. Agama, hanya keimanan dan spiritual seperti yang diungkapkan Al Attas. Agama nggak boleh masuk ke ranah realitas objek. Jadi kebenaran sepenuhnya ditentukan akal pikiran manusia. Ada positivisme, empirisisme, santisme untuk patokan-nya. Yang namanya juga senada modern, yang artinya juga now,up to date sama dengan sekuler. Jadi, katanya, kalau mau modern harus sekuler.

Tapi, keangkuhan modernisme yang sekuler ini digugat oleh postmodern. Jadinya post –sekuler. Yang tadinya kebenaran subjektif oleh manusia, terkena arus postmodernisme , Jadinya kebenaran relatif, kalau kebenaran relatif, kebenaran jadi banyak, kalau kebenaran yang banyak, ujung-ujungnya tidak ada yang benar, karena bertentangan dengan law of no contradiction. Jika anda ada di bumi, nggak mungkin saat yang bersamaan anda ada di bulan. jadinya nggak ada lagi kebenaran. Nihilisme. Ujung-ujungnya disini ternyata.

Barat memang begitu, makanya August Comte , diamini juga Weber, Freud, belakangan Thomas Luckmann, berpendapat yang di kenal dengan ‘secularizationism’ atau secularization thesis’. Katanya, sekulerisasi dampak dari modernisasi. Yang dituntut adalah rasionalisasi dari mitologi, mistisisme, sihir, dan pedukunan, dan sebagainya.

Bisa jadi believing without belonging (beriman tanpa beramal) benar-benar kejadian, saat ini. Jadi, bisa jadi ada orang mengaku Kristen, tapi jarang ke gereja. Islam tapi malas shalat. Malah, kata Harvey cox, mau tidak mau orang harus mencintainya. Harus cinta sekulerisasi ini. Belum lagi dalam buku The Decline of Christendom in western Europe, Mc Leod bilang, sekulerisasi sudah terjadi sejak tiga abad kebelakang ini, artinya sudah sulit sekali di hilangkan bagi masyarakat yang katanya ingin modern.

Sekulerisasi akan menyeret kepada sekulerisme . Ideologi yang mengesampingkan Tuhan. Akarnya bisa dilacak. Kata Karen Amstrong di History of God karena adanya kebingungan di Barat tentang konsep Tuhan. Socrates jauh-jauh hari sudah mengingatkan “ Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya Tuhan haruslah seperti apa yang ada dalam pikirannya. Akhirnya pendapat Nietszhe bisa diamini bahwa tuhan hanyalah realitas subjektif yang ada pada pikiran manusia. Akhirnya Tuhan bisa dibunuh.

Makanya nggak usah heran kalau pernah dengar kata-kata “Agama nggak usah ngurusin publik”,” Nggak usah bawa-bawa agama!”, katanya. Memang benar, agama di Barat bermasalah, buktinya bisa dilihat pada definisi religion di Barat. Tuhan mau nggak mau harus ngikutin manusia, sesuai arahan Feurbach. Kata Hegel, Tuhan dilarang tiran. Ia tidak boleh terlibat dalam proses kreativitas manusia. Sartre menyatakan, “Kalau kita menerima manusia sebagai yang paling unggul, maka Tuhan tidak ada”. Tuhan yang tiran, dan subjektif ini yang meng’harus’kan dibunuh oleh Nietzche
Kini, di Indonesia, kemasukan ‘ilham’ seperti di Barat. Seperti enlighmet di era baru. Para pemikir di Indonesia merasa ‘tercerahkan’.

Tuhan tidak boleh lagi mengatur aspek kehidupan. Kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Agama dan politik harus dipisahkan. Benteng pemisah ini di bangun kokoh. Mengaku religious tapi nggak mau melaksanakan perintah Tuhan, percis menjadi ‘pengekor’ Barat, ‘religion without god’. Mengaku beriman, tapi ragu, apakah kebenaran bisa dicapai, argumennya, “Hanya Tuhan yang tahu kebenaran” yang maksudnya mengejek Tuhan, untuk apa ia menurunkan wahyu kalau tidak bisa dipahami dirinya sendiri, mungkin orang-orang seperti ini harus banyak belajar memahami Tuhan, biar nggak bingung.
Memang, pada realitanya agak sulit membedakan antara bukan sekuler, dan juga yang menjual agama dengan politik. Bisa jadi ada yang menggunakan agama sebagai ‘alat’ untuk mencapai kekuasaan. Agama dipolitikkan. “ Berpolitik di awal-awal boleh bohong”, katanya. Agama di taruh dibelakang dulu, nanti kalau sudah berkuasa akan kita terapkan agama”, katanya. Ia lupa, ia telah terkena virus sekuler, karena hanya berpikir here, now saja. “Susah kalau berpolitik itu benar, karena nggak bakal di coblos”, katanya. “Masyarakat senangnya ini, ayo kita dekati!”, sembari mengikuti selera masyarakat, bukan selera Tuhan.

Jadinya, gara-gara orang-orang seperti ini, agama menjadi momok. “Agama kok dipolitisasi”,kata orang-orang geram. Akibat oknum-oknum yang mempolitisasi agama ini. Seharusnya politik, yang di religious-kan. Bukan religious sebagai ‘dagangan’ dengan harga murah untuk mencapai kekuasaan. Makanya, orang jadi sekuler gara-gara orang macem ini, seperti di ungkapkan Philip Schaff, dalam History of The Christian Church bilang, gerakan Protestan merupakan reaksi dari sebagian kaum yang mempolitisasi agama untuk kepentingan kelompok, jadinya trauma dengan agama. Niatnya baik, menegakkan agama, tapi malah membuat orang jadi antipati (sekuler), kasihan betul orang-orang seperti ini. Tapi, menyalahgunakan agama bukan berarti agama itu menjadi berkurang nilainya karena harus dipisahkan dari masyarakat

Jadi, agama tidak diprediksi bakal lenyap gara-gara sekulerisasi. Namun gantinya, yang tadinya budaya beragama (religious culture) tiba-tiba menjadi mengimani agama (religious faith). “Agama cukup di imani, urusan saya dengan Tuhan”. Begitu katanya. Kalau dulu, melakukan sesuatu atas dasar agama, sekarang atas dasar bukan agama. Asal percaya Tuhan itu ada, “asal kita tunjukkan kita punya tujuan ke-Tuhanan”, berhenti sampai disitu teriaknya, sudah dianggap beragama. Katanya lagi, cukup menjadi baik, tanpa perlu beragama, cukup bervisi ke-Tuhanan saja, tanpa mempelajari agama. “Malu, kalau bawa-bawa agama” ungkapnya.

Tapi pemisahan agama dan hal lainnya tidak selamanya berhasil, di Amerika Peter Ludwig Berger dalam bukunya The Desecularization of the World, dengan gamblang ia menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, praktek keagamaan ternyata justru berkembang dan desekularisasi malah dominan baru-baru ini. Sebab itu, dalam bukunya yang lain, The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya, yaitu penyebaran paham pluralisme.

Benarkah jalan sekuler adalah pilihan cerdas dan solusi segala masalah. Atau malah menjadi humanis, atheis, menyelesaikan masalah? Ternyata tidak juga. Menyingkirkan agama dari publik malah bermasalah. Di Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa negara Eropa yang anti agama, pemerintahnya mulai mengurusi agama. Bahkan ngelarang-larang pakai Jilbab. Turki, yang katanya sekuler, juga mengurusi agama. Di Inggris pemerintah terpaksa membolehkan Muslim buka mahkamah syariah, bahkan mulai diterapkan sistem ekonominya. Kini di Amerika malah muncul idea de-privatization of religion, artinya agama tidak lagi bersifat privat. Harvey Cox, yang pernah menulis The Secular City akhirnya mengoreksi idenya itu.

Ia lalu menulis makalah berjudul Reconsidering Secularism. Barat kini seperti dalam kebingungan. Malah, Saintis yang katanya nggak bicara Tuhan pun ikut bicara. Hawking dengan buku-buknya, juga Richard Dawkin. Belum lagi di Indonesia, malah beberapa kelompok takut, kalau agama mulai masuk ke ranah publik, ini malah ngurusin agama, jadinya sekuler tapi ngurusin agama, benar-benar kontradiktif!

Ternyata teori lemahnya sekulerisasi didukung juga oleh para orientalis. Ada John L Esposito yang menulis “The Contemporary Islamic Revival”, ad ajuga Barbara F Stowasser, “The Islamic Impulse”. Malah kata Alexis de Tocqeville, dalam “Democracy in America “ bilang “I wondered how it could come about that by diminishing the apparent power of religion, one increased the real strength”

.
Dalam Islam, sudah jelas, dalam bukunya Islam dan Sekularisme , Prof. S.M.N. Al Attas menjelaskan bahwa sekulerisasi tidak sesuai dengan Islam yang sudah final dan otentik. Tidak ada lagi here and now. Sumber asli Islam adalah wahyu dari Tuhan, bukan budaya yang harus mengalir dalam arus historisme. Agama yang telah dewasa sejak turun, tidak perlu mengikuti proses pendewasaan atau perkembangan. Ibnu Taymiyyah, mengatakan akal yang jelas tidak akan bertentangan dengan wahyu yang shahih. Dalam worldview Islam, nggak ada pemisahan publik – privat, akal – wahyu, politik – agama.

“Kalau agama ngurusin publik, nanti nggak netral”, katanya. Lalu, Apakah netral berarti adil? Negara bukanlah value free, tapi value laden. Buktinya, pemerintah bisa ngatur-ngatur kita, sampai ranah privat. Bahkan pemerintahan sekuler tidak netral, karena muncul dari pandangan dunia yang juga sekuler, worldview sekuler yang asalnya dari Barat. Makanya kata Dr. Adian Husaini menjelaskan ketika ada yang minta agama masuk ke ranah publik, Kenapa dipersoalkan. Mengapa kita tidak mempersoalkan aturan Barat yang sudah ratusan tahun berlaku di Indonesia. Apakah itu adil dan fair? Katanya.

Bagi muslim, tidak ada dualisme publik dan privat. Seorang yang meminum khamr di kamar sendirian, sama haramnya dengan minum di tempat umum. Judi, sampai kiamat tetap haram, tapi karena sekuler, bisa saja di daerah tertentu jadi halal, karena masyarakatnya mendukung. Makanya, pemisahan publik dan privat ini menjadi rancu. Oleh karena itu, Dr. Hamid Fahmy Zakarsy menyimpulkan, dualisme Barat yang sekuler ini terlihat pada ungkapan Filsuf terbesar abad modern, Immanuel Kant “I felt the need to leave behind all the books I read in order to believe in God” – Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang saya baca agar saya percaya Tuhan”. Maka seorang muslim berkata “ Saya perlu meninggalkan buku kalau buku itu tidak menambah keimanan saya pada Tuhan”. Kalau Kant memilih logika either or, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan Ilmu (ekonomi,politik,sains,alam, dll) dengan Tuhan. Wallahu a’lam

Leave a comment